Bagian Empat puluh

20.6K 2.3K 81
                                    

A Y N A •

"Udah bangun, Ay?"

Suara Lalita terdengar dari atas ranjangnya. Mataku mengerjab, seraya mengangguk.
Aku sedang terduduk di atas sofa dengan kaki yang menjuntai ke lantai. "Udah bangun dari tadi?"

"Emm lumayan."

"Kenapa nggak bangunin gue?"

"Gue lihat lo capek banget."

Mulutku menguap, lalu bangkit dan berjalan menuju ranjang Lalita. Memang benar, badanku rasanya sakit semua karena belasan jam di atas udara dan belum istirahat sejak mendarat. Mungkin itu sebabnya aku sampai tertidur di sofa saat mengecek timeline Twitter dua jam lalu.

"Kapan balik dari Dublin, Ay?" Lanjutnya.

Kududukkan diriku di tepi ranjangnya. "Emm tadi pagi, terus langsung kesini."

"Jadi lo belum pulang kerumah? Dari airport langsung kemari gitu?" Litani yang sedang bersandar di bantal memelotokan matanya.

"Yaps."

"Astaga, bener-bener ya lo. Sekarang pulang deh, udah malam banget ini."

"Cerewet banget nih ibu-ibu anak satu." Kucibit pipi Lalita gemas. Membuat matanya semakin melotot saja. "Iya..iya, sebentar lagi gue pulang." Lanjutku lagi, takut melihat bola mata Lalita yang seakan siap menggelinding keluar.

"Good." Katanya sambil mengangguk.

"Litani mana?"

"Keluar sebentar katanya."

"Orangtua lo?"

"Masih di Solo, penerbangan nya baru besok pagi kata Litani."

Kali ini aku yang mengangguk. Beberapa saat setelahnya tidak ada yang bersuara.

"Lit?"

"Hmm?"

"Lo tau kan kalau gue akan selalu ada disini kapanpun lo butuh?"

Sebelah alisnya bergerak. "I know."

Kugenggam telapak tangannya. "Terus kenapa lo nggak pernah cerita semua masalah lo sama gue? Apa gue nggak cukup bisa lo percaya?"

"Lo ngomong apa sih Ay." Pandangannya tertunduk, sangat berbeda dengan kalimatnya yang berusaha terdengar tajam.

"Gue merasa nggak berguna sebagai sahabat Lit. Gue siap menyalahkan diri gue sendiri karena nggak ada disamping lo saat lo butuh."

"Ay, no. Nggak begitu. Don't blame your self for a mistake you didn't do." Saat Lalita mengangkat wajahnya dan menatapku, tampak bola matanya sudah berkaca-kaca.

"Of course it's my fault, Lit. Seandainya gue lebih peka sama keadaan lo. Seandainya gue lebih sadar bahwa bekas lebam di lengan lo waktu itu terasa janggal. Seandainya gue nggak begitu aja percaya bahwa kehidupan rumahtangga lo baik-baik aja cuma karena lihat feed Instagram lo yang kelihatan bahagia. Terlalu banyak seandainya yang gue sesali, and i'm realized that i can't change the past. Dan gue menyesal karena lo harus melewati ini semua sendirian."

Air matanya mulai mengalir perlahan. "Ay, gue nggak bisa ceritain ini semua sama lo karena gue tau lo sendiri juga lagi banyak masalah, dan rasanya terlalu egois kalau gue cerita cuma nambah-nambahin beban pikiran buat lo Ay. Selain itu gue juga malu kalau harus menceritakan masalah rumahtangga gue yang cacat ini sama lo atau keluarga gue." Lalita terisak.

Kupeluk sahabatku itu. "Kita semua sedih karena lo harus mengalami ini, Lit. Please, jangan anggap gue orang lain."

Ia masih terisak. "I want a divorce from him, Ay. Gue nggak sanggup lagi menerima semua perlakuan Daniel."

Quarter Life CriShit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang