Bagian Tiga Belas

25.9K 2.9K 41
                                    

A Y N A

Udara sejuk yang menyeruak dari lubang-lubang angin di atas jendela membuatku enggan meninggalkan gelungan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhku.

Ditambah suara gemercik air hujan yang jatuh tepat dibawah jendela kamar bak derau putih yang sedang meninabobokanku agar tersesat lebih jauh ke alam mimpi. Terkadang indera pendengaranku menangkap bunyi-bunyian dari gemuruh hujan yang dibawa angin—membuai, menghantarkan perasaan damai karena tidurku sangat berkualitas tadi malam— bahkan aku tidak bermimpi apapun.

Aroma yang entah dibawa angin darimana menggoda dan mengaktifkan seluruh syaraf terutama indera penciumanku. Aroma kental dan menenangkan yang amat kukenali—harum kopi yang diseduh. Aku menghirupnya dalam-dalam.

Tunggu dulu—kopi???

Kedua mataku yang memejam langsung terbuka lebar dan mendapati diriku terbangun dalam ruangan dan suasana yang amat asing. Isi kepalaku yang belum seutuhnya bangun berusaha keras memproses informasi apapun yang bisa kutangkap pagi ini.

Hal terakhir yang kuingat adalah ekspresi sebal mas Kale yang terekam jelas saat aku menertawainya sampai puas tadi malam di balkon apartemen.

Kepanikan ku berubah lega saat kudapati seluruh pakaianku tidak ada yang berubah atau berkurang sedikitpun—masih pakaian yang sama seperti kemarin. Hanya jaga-jaga saja siapa tau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi tadi malam. Mengingat aku dan mas Kale dibawah pengaruh alkohol—hanya aku sebenarnya. Sampai detik terakhir bisa kupastikan mas Kale masih seratus persen sober kemudian memindahkanku dari kursi balkon ke ranjang di kamar ini. Gelenyar panas langsung merambati pipiku.

Ternyata kelegaanku tak bertahan lama. Kepanikan kembali menyergap saat sadar aku sama sekali belum mengabari Litani dimana aku menginap tadi malam. Buru-buru kuambil ponsel yang tergeletak di atas nakas dan mendapati lebih dari seratus pesan dan banyak lagi panggilan tak terjawab dari Litani. Sambil masih merutuki diriku sendiri, kuketik pesan balasan agar ia tidak panik saat sadar aku tidak pulang semalam.

Begitu pesan terkirim gawaiku langsung bergetar tanda panggilan masuk. Aku menghirup nafas dalam-dalam.

"Halo."

"Lo memang mau buat gue mati muda ya Ay!" Suara Litani langsung mendampratku begitu panggilan tersambung. Aku sampai harus menjauhkan ponsel dari telingaku.

"Tenang dulu Tan, inhale...exhale."

"Gimana gue mau tenang. Semalaman gue panik mikirin lo ada dimana. Dihubungi nggak bisa, dichat nggak dibalas. Buang aja deh HP lo Ay, nggak guna."

"Iya maaf, gue ngaku gue salah. Bukan sengaja nggak balas Tan, cuma memang posisinya gue lagi nggak pegang HP."

"Lo ngapain sih sampai nggak bisa pegang HP." Nada kesalnya masih kentara.

"Nanti gue jelasin ya. Setengah jam lagi gue balik."

"Sekarang lo dimana biar gue jemput aja."

"Eh nggak usah. Setengah jam lagi gue udah balik, janji."

"Lo dimana sih Ay?"

"Pokoknya nanti gue jelasin ya. Dah bye."

Tanpa menunggu omelan Litani yang bisa ber-episode, aku langsung menyudahi panggilan begitu saja kemudian beranjak dari tempat tidur.

Quarter Life CriShit [TAMAT]Where stories live. Discover now