Chapter 44 : Hope

91.8K 11.9K 8.3K
                                    

Musim telah berganti, hari-hari pun terus berlalu. Juli, Agustus, September, Oktober, dan sekarang November. Dedaunan berguguran membentuk tumpukan berwarna kuning kecoklatan di tanah. Angin berhembus pelan membelai wajah wanita berbibir pucat yang sedang duduk di kursi— menghadap ke hamparan pepohonan dan rerumputan kering.

Mata abu-abunya meredup dengan pandangan kosong, bagai raga tanpa jiwa. Setiap detik terasa seperti jarum yang membentuk simpul rasa sakit. Tubuhnya hanya tinggal tulang yang dibalut oleh kulit pucat. Kemudian ingatannya kembali pada hari itu— saat matanya terpejam dan kegelapan menariknya ke bawah, ia pikir akan terbangun di tempat yang indah seperti yang pernah pria itu katakan. Ia pikir tidak akan ada lagi rasa sakit. Namun nyatanya disini lebih sakit— berkali-kali lipat lebih sakit. Bahkan saat matanya tertutup pun hanya dia yang selalu hadir ke dalam mimpi buruknya. Air matanya terus mengalir seolah memang harus seperti itu. Setiap malam ia akan berteriak di dalam tidurnya dan terbangun dengan mata yang basah.

Karena tanpa dia— setiap hembusan napas terasa seperti bara api yang membakar nadi.

Tidak ada yang lebih sakit dari kehilangan.

"Hei aku membuat muffin." Gemma— wanita paruh baya yang tinggal di sebelah rumahnya berkata sambil berjalan dengan wajah sumringah seperti biasa."Udaranya mulai dingin, ya? Musim salju disini bisa mencapai -2 derajat celcius. Tapi aku selalu tidak sabar."

Gemma berjalan masuk ke dalam rumah sambil menyiapkan teh hangat setelah meletakkan sepiring muffin di atas meja.

"Uhm sepertinya kita mulai bisa menanam strawberry dalam minggu ini. Ah! Hanseil kemarin baru saja memberikanku buah labu dan kupikir akan mengolahnya jadi cake labu untuk ulang tahun Mrs. Rowena minggu depan. Dia selalu cerewet jika kita kita memberikan kejutan di hari itu. Padahal umurnya sudah lima puluh. Apalah arti ulang tahun." Gemma tertawa pelan.

Tatapan Maria masih sama— kosong dan tak tertarik dengan pembicaraan Gemma. Ia lebih senang bermain dengan pikirannya sambil terus mengingat masa-masa indahnya yang sudah hilang tapi tak sedikitpun pudar dari benaknya. Harapan selalu muncul setiap kali ada pria yang lewat di depan matanya— berharap bahwa itu adalah pria yang selalu ia tunggu selama lima bulan belakangan.

Harapan selalu menyakitkan— ia sudah tau dengan jelas bahwa pria itu tak akan datang. Namun tak satu hari pun ia lewatkan tanpa duduk di depan pintu menunggunya.

"Astaga, hapus air matamu, sayangku." Gemma berjongkok sambil mengusap air mata yang jatuh dari mata sendu Maria."Mau kupanggilkan Zachary?"

Zachary adalah dokter di desa itu. Pria paruh baya tersebutlah yang sudah merawat Maria dari depresinya selama tiga bulan terakhir.

"Makanlah, kau akan lebih baik setelah memasukkan sesuatu ke dalam perutmu." Gemma menyodorkan sebuah muffin tapi dengan tangan yang lemah Maria menolaknya.

Gemma menghela napas dan mengusap kembali air mata yang lagi-lagi jatuh dari bola mata wanita muda itu— kemudian mengusap rambut Maria yang berantakan.

Gemma kembali ingat pada suatu malam di bulan Juli. Hari itu, kedatangan Maria sempat menghebohkan desa Mürren terutama tetangga-tetangga sekitar. Tidak ada yang tau siapa yang sudah membawa Maria ke dalam rumah tersebut. Dulunya rumah yang dihuni Maria adalah rumah kosong milik seorang karyawan swasta yang kini sudah pindah dari desa. Tapi seminggu sebelum kedatangan Maria, beberapa orang terlihat membersihkan rumah tersebut— katanya akan ada penghuni yang baru.

Rumah Gemma terletak tepat di sebelah rumah itu. Maria terlihat seperti orang aneh yang tiba-tiba muncul disana— tidak mau bicara sepatah katapun saat orang-orang menyapanya dan lebih banyak mengurung diri. Oh dia bahkan tak pernah keluar dari rumah itu selama satu bulan pertama. Setiap malam wanita itu hanya akan duduk di depan kaca, memandang kosong pada gelapnya malam. Lalu ia menghilang untuk tidur. Besok paginya seperti itu lagi. Dia sanggup duduk seorang diri selama berjam-jam seolah sedang menunggu seseorang. Lewat jendela kamarnya Gemma juga pernah melihat wanita itu berjalan ke dalam hutan dengan sebuah ransel dan boneka beruang putih di tangannya.

INTOXICATE DESIREWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu