Chapter 18 : Get the hell out

86K 10.7K 2.4K
                                    

Maria melihat kemeja putih dan celana hitam yang sebelumnya tidak ada kini tersampir di kursi, menandakan bahwa Winter sudah pulang. Namun pria itu tidak ada di kamar maupun kamar mandi sehingga Maria pun segera beranjak dari kasur, berjalan turun ke lantai satu sembari mengikat rambutnya ke atas.

Selepas melakukan fitting baju bersama Lavender dan Fleur, Maria menghabiskan waktunya di kamar untuk mendengarkan airpod yang terhubung pada alat penyadap di ruangan Winter. Masih sama seperti sebelumnya, tidak banyak informasi yang ia dapatkan. Winter dan beberapa orang sibuk membicarakan pembangunan proyek terbaru. Lagipula ini tidak seru lagi, pria itu pasti sudah lebih hati-hati karena ia tau ada alat penyadap disana. Hingga Maria tak menyadari dirinya tertidur.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat ia berjalan ke halaman belakang nan luas. Dengan tanaman di kiri kanan serta rumput hijau cerah yang tumbuh membentang bak permadani. Maria yakin halaman itu— selain digunakan untuk bersantai, juga digunakan sebagai lapangan golf karena ia melihat beberapa tongkat golf dan bendera segitiga kecil disana.

Dan Maria akhirnya menemukan sosok yang sedang duduk menyesap teh dari cangkir berwarna merah di kursi bersama dengan Jaxon. Pasti suaminya itu baru saja selesai main golf.

Saat Maria berjalan mendekat, Jaxon berhenti bicara lalu beranjak pergi dari sana. Ia hanya memberikan senyum tipisnya sebagai sapaan untuk Maria. Pria itu membereskan tongkat dan bola golf lalu masuk ke dalam rumah.

"Kapan kau pulang?" Tanya Maria pada Winter.

"Satu jam yang lalu."

Winter meletakkan cangkir di atas meja lalu mengulurkan tangannya pada Maria, meminta wanita itu untuk datang ke pangkuannya. Maria pun menuruti. Duduk di pangkuan Winter sambil memandangi wajah suaminya itu.

"Kau pakai obatmu tadi pagi, hm?" Winter mendongak sedikit untuk memandangi wajah sang istri, lebih tepatnya memeriksa luka di pelipis yang mulai mengering.

Maria mengangguk. Matanya kini mengarah ke meja, melihat ponsel, kunci mobil dan koran di atasnya. Ia sedang berpikir cara memasukkan alat penyadap ke dalam ponsel Winter. Sejak pria itu menyadap ponselnya, Maria sudah tidak leluasa lagi berbicara dengan Polo atau siapa saja.

"Bagaimana gaunnya? Kau suka?" Tanya Winter sambil meraih ponsel dari meja lalu memasukkan benda itu ke saku celananya.

"Ya," Maria mengedikkan bahu."Aku pilih yang berlengan panjang." Kemudian Maria mengernyitkan dahinya."Tapi memang semua gaun yang di bawa Lavender berlengan panjang."

Winter mengambil cangkir dan menyesap teh hangatnya lagi tanpa merespon dengan kata-kata. Sebelah tangannya berada di paha Maria dengan tatapan jauh ke depan, menikmati sore.

"Apa kau yang memintanya?"

"Hm."

"Kenapa? Aku tidak berpikir kau peduli soal gaun apa yang akan aku pakai."

"Kau harus pakai pakaian tertutup sampai bekas lukamu menghilang. Aku tidak ingin dianggap suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga."

"Memang begitu kenyataannya."

"Kurasa aku tidak perlu mengingatkan siapa disini yang sangat terobsesi membunuh suaminya."

"Tapi kau satu-satunya suami yang tidak segan-segan melemparkan pisau kepada istrimu lalu membuat istrimu kecelakaan dengan sengaja. Perlu kuingatkan itu?"

Winter dapat melihat ekspresi penuh kemenangan di wajah istrinya yang begitu dekat dengan wajahnya. Kemudian ia tersenyum tipis.

"Itu adalah jenis luka paling kecil yang pernah kuberikan pada orang sepertimu, Maria." Winter berkata sambil menyandarkan punggungnya ke kursi."You should thank me for that."

INTOXICATE DESIREWhere stories live. Discover now