Chapter 2 : Still want to play

129K 11.6K 2K
                                    

Wajah Maria dipenuhi oleh keringat dingin sementara bibirnya pucat pasi. Darah terus keluar dari betisnya yang terkena tembak. Tubuhnya di bopong oleh Polo dan Kurt memasuki sebuah ruangan gelap yang baru saja diterangi oleh lampu temaram. Maria di angkat ke ranjang dan ia terengah-engah saat melihat kondisi kakinya.

"Ambil pisaunya, kita harus segera mengeluarkan peluru sebelum lukanya infeksi." Perintah Polo pada Kurt yang langsung dituruti oleh laki-laki itu.

Maria tau konsekuensi menjadi pembunuh bayaran adalah nyawa. Dua kali berhasil dalam menjalankan misi, membuat Maria merasa pekerjaannya tidak semengerikan yang orang-orang pikir. Tapi malam ini, ia mulai menyadari bahwa tidak semua manusia mudah untuk di bunuh. Nyawanya kini berada pada posisi genting. Entah ia akan dibunuh oleh kliennya, atau ia akan mati di tangan targetnya yang murka. Apalagi pria itu tau nama aslinya. Tidak menutup kemungkinan dia juga mengenal sang ayah. Maria tak ingin melibatkan ayahnya dalam masalah ini.

"Ini akan sakit, tapi kau akan baik-baik saja. Untung dia tidak menembakmu di kepala." Kata Polo sambil menyumpalkan kain ke dalam mulut Maria.

Maria menggigit kuat-kuat kain tersebut untuk meredam rasa sakit dan jeritannya. Tangannya mulai mencengkram tepi ranjang saat Polo menyentuh luka tembaknya. Dengan ujung pisau pria itu mengoyak daging di sekitar luka tersebut. Jeritan Maria tenggelam dalam kain, keringatnya terus mengucur dan kakinya bergetar di bawah tangan Kurt. Ujung pisau terus masuk menembus ke dalam dagingnya hingga ia mulai kehabisan napasnya dan tak mampu lagi melolongkan teriakan. Pandangannya mulai gelap dan berputar-putar.

"Jangan sampai hilang kesadaran, Maria." Kurt memperingati."Kita tidak bisa membawamu ke rumah sakit sekarang."

Maria berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan kegelapan yang terus menariknya ke bawah. Kurt benar, ia tidak boleh pingsan. Pria dingin itu mungkin sedang mengejarnya ke seluruh rumah sakit yang ada di Madrid. Tempat ini adalah tempat paling aman.

"Maria! Kau bisa mendengarkan kami?" Suara Polo menggema dan terdengar begitu jauh. Maria dapat merasakan tubuhnya digoyangkan. Jangan bilang dia pingsan. Dia tidak boleh pingsan.

"Say something." Kurt menepuk-nepuk pipi Maria."Maria, don't close your eyes!"

Rasa sakitnya menjalar hingga ke otak. Bahkan Maria sudah tidak sanggup lagi memasukkan oksigen ke dalam paru-parunya saat Polo menekan area sekitar luka untuk menghentikan pendarahan.

"Ambil perbannya."

"Dia akan pingsan. Perutnya juga mulai membiru."

"Tulang rusuknya mungkin patah."

"Who the fuck is that asshole!"

"Kita tidak punya waktu untuk bicara soal ini sekarang. Pastikan Maria tidak pingsan."

"Lalu kapan waktu yang tepat? Saat brengsek itu berhasil menemukan kita disini?"

"Pertama-tama kita harus membuat Maria tetap sadar jadi simpan kemarahanmu sebelum itu terjadi."

"Ini bukan hanya tentang Maria. Tapi nyawa kita juga ikut terancam, Polo! Bagaimana kalau mereka menemukan identitas kita? Ini bukan misiku dan aku tidak ingin mati untuk misi orang lain."

"Diam."

"Aku tidak bisa berada disini lebih lama. Mereka pasti sedang mengejar kita."

"Pergilah, Kurt."

Samar-samar Maria dapat melihat Polo mencengkram kerah kemeja Kurt dengan geram. Kemudian pria itu kembali fokus pada luka Maria, membalutnya dengan perban. Sementara Kurt memilih untuk pergi dari sana dengan muka geram.

INTOXICATE DESIREWo Geschichten leben. Entdecke jetzt