11 - Mission

Beginne am Anfang
                                    

"Gue serius, Ra." Cowok itu menatap gue lekat, seolah tengah meyakinkan. Tapi, tunggu ....

"Ra? Ra saha?"

"Saha tuh apa?"

"Maksud gue, siapa?"

"Lo, lah."

"Nggak ada yang manggil gue, Ra. Panggil gue Ae titik, nggak boleh beda sendiri."

"Iya deh, Ae titik."

Gue mendengkus. "Titiknya nggak usah dibawa juga kali."

"Lo sadar nggak kita udah out of topic?" Ramon menatap gue malas. Benar juga ya, topik awal tentang selingkuh kenapa bisa jungkir balik ngomongin panggilan gue.

"Sorry. Jadi lo punya bukti apa kalau bunda lo selingkuh?" Sebelum memutuskan untuk mengikuti Ramon dalam misi, tentu gue harus tahu dulu akar permasalahannya. Meski gue sendiri sangsi Ramon bakal memberi pilihan untuk menolak. Dia sepertinya amat ngotot nyuruh gue ikut misi ini.

"Bunda gue sering ketemuan sama pria lain," jawab Ramon yang membuat gue mengerutkan kening.

Rasanya bukti itu saja tidak cukup, terlalu luas maknanya dan ambigu. Boleh jadi pria yang ditemui bunda Ramon itu teman, kolega atau klien. Dengan alasan tidak spesifik, bukti satu ini gue tolak mentah-mentah.

"Gue lihat ponsel bunda dan di sana ada chat dari pria asing. Isi chatnya itu jelas merujuk ke arah lain, bukan sekedar tentang pekerjaan." Ramon menyebut bukti lain.

Gue menggaruk pelipis, lalu meraih gelas minuman dan menyedot isinya. Sebelum gue sampai rupanya Ramon sudah menyiapkan minuman. Bagus lah, setidaknya dia tahu caranya memperlakukan gue. Di sini dia yang lagi butuh gue, walau kenyataannya gue yang punya hutang.

Bukti kedua yang disebut Ramon cukup masuk akal, tapi tentu saja masih ada yang kurang. Ramon hanya mengatakan chat dari seorang pria asing, dia tidak mengatakan bagaimana respon bundanya. Kalau bunda Ramon ternyata merespon ujaran si pria, maka terbukti bunda Ramon selingkuh. Tetapi jika bunda Ramon tidak menanggapi chat pria asing itu, maka lain lagi ceritanya. Gue mendadak kagum dengan kemampuan analisis diri sendiri. Sumpah, gue merasa seperti punya kekuatan dan kemampuan baru. Selama ini orang-orang rumah selalu menganggap gue bodoh sampai terbawa alam bawah sadar. Dan gue secara alami seolah mengakui hal itu hingga sering kesusahan memahami satu hal.

"Y-yaa bunda gue merespon, lah. Itu sebabnya bunda selalu ketemu sama pria itu."

Kenapa Ramon terlihat gugup? Ah, gue sedikit mengerti, topik soal perselingkuhan orang tua memang cukup sensitif. Apalagi ketika diceritakan pada orang yang belum lama dikenal.

"Gini loh, Mon, lo positive thinking aja. Siapa tau bunda lo ketemu sama pria itu buat ngasih penegasan, bahwa dia nggak mau diganggu dan nyuruh pria itu buat berhenti. Kalau gini kan jadi lain ceritanya, bukan bunda lo yang selingkuh, tapi pria itu nya aja yang genit."

Untuk beberapa saat Ramon terdiam, mencerna kalimat gue. Jujur, gue masih bertanya-tanya kenapa di awal dia menyebut bundanya berselingkuh? Padahal ada banyak kemungkinan-kemungkinan. Wah, Ramon ternyata anak durhaka, seenak jidat menuduh bunda sendiri. Ck ck.

Selagi Ramon berpikir gue kembali menyeruput minuman sampai habis dan membuat bunyi khas sedotan. Lelaki itu agaknya terganggu dengan suara sedotan gue, dia menoleh dan berdehem singkat. Gue dengan nggak ikhlas melepaskan sedotan dari mulut, berhenti menyedot gelas minuman yang kosong.

"Hm, ya sudah, misi kita selain awasi bunda gue juga harus membuktikan kalau bunda gue nggak selingkuh," kata Ramon.

"Tapi kalau kenyataannya bunda lo yang selingkuh?"

Ramon memutar bola matanya. "Lo tuh plin-plan banget ya, tadi siapa yang nyuruh positive thinking, bilang bunda gue nggak selingkuh, huh?"

"Ih, kan gue cuma bilang 'kalau' alias misalnya. Galak banget sih." Rasanya ingin melempar gelas kosong ini ke muka Ramon. "By the way, ini udah kan bahas soal misinya? Gue udah boleh pergi, kan?"

Sebagai jawaban, cowok itu menggeleng santai tanpa menatap gue. "Sayangnya belum, pembahasan kita belum selesai."

"Apa lagi, sih?" Gue mulai bosan sebetulnya, pengin pulang buat rebahan di kasur lalu tidur siang sepuasnya.

"Kita harus menentukan kapan saja mengawasi bunda gue."

"Kita?" Oke, gue memang salah fokus, tapi ada satu hal yang harus dipastikan.

"Iya, kita. Why?" Ramon menaikkan sebelah alisnya, menatap bingung namun sesaat kemudian malah menyeringai.

"Lo baru aja kasih gue hak buat bebas berpendapat, kan?"

Seringaian Ramon menghilang seketika, lelaki itu menghela napas panjang. "Sure, lo boleh berpendapat dan bicara apapun toh gue bukan pemaksa. Karena itu tadi gue bilang 'kita' artinya gue dan lo harus sama-sama sepakat. Jangan hanya salah satu dari kita saja. Gue nggak akan maksa lo dan sebaliknya."

Sontak gue memajukan kursi hingga tubuh gue membentur meja. Benda-benda di atas meja bergetar nyaris jatuh. Ramon melotot seolah memperingatkan gue buat tenang, tapi tentu saja tidak digubris. Gue baru saja melihat kesempatan emas di depan mata. "Jadi gue boleh dong nolak misi ini?"

"Pengecualian untuk satu itu."

"Loh, tadi lo bilang gue boleh berpendapat dan bicara apapun?"

"Kecuali yang itu, Ra. Gue hanya minta pendapat lo soal kapan kita bisa mengawasi bunda atau apapun terkait misi."

Gue mencebik, menyebalkan. "Selasa sama kamis gue ekskul. Sabtu dan minggu gue ada di dojo."

Ramon terlihat berpikir. "Oke, hari senin, rabu, jumat, kita awasi bunda gue mulai dari pulang sekolah sampai malam. Biasanya bunda pulang ke rumah jam delapan."

"Kalau misalnya bunda lo ketemu sama pria asing itu pas hari selasa sama kamis gimana?"

Ramon tiba-tiba tersenyum lebar, beberapa perempuan yang duduk di dekat meja kami memekik heboh, memuja senyuman indah Ramon yang bagi gue malah mirip joker. "Jadi, lo mau kita setiap hari awasi bunda gue? Gue sih, nggak masalah, malah seneng bisa terus sama lo."

"Dih, ogah ya. Gue juga punya kehidupan sendiri kali."

Ya ampun, ternyata Ramon pintar sekali bermain kata dan bersilat lidah.

•••

Nah, gimana nih? Ada krisar? Ayo komen

Thanks for reading, vote and comment
Don't forget to share this story:)

Follow 👇👇
Wp: Reirin_
Ig: reirin2018

You Are Brave [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt