00 - Prolog

1.6K 96 22
                                    

Hallo, selamat datang di cerita ini. Ayo kenalan sama saya, tapi nanti ya di akhir chapter. Siapa tau ada yang nggak sabar pengin baca ceritanya hehe ....

So, happy reading^^

•••

|Aeera Alsava|

"Kamu tuh belajar nggak, sih? Kenapa nilai kamu jelek semua? Dan apa ini ... peringkat kamu astaga ... bikin malu Bunda aja."

"Lihat adik kamu, dari dulu dia selalu jadi peringkat pertama. Prestasinya juga gemilang. Sertifikat, piala dan medali di rumah ini semuanya punya dia. Adik kamu cerdas. Tidak seperti kamu yang bodoh. Ayah tanya kamu mau jadi apa besar nanti, hah?"

Kalimat itu terus terngiang di kepala gue, terputar berulang-ulang seperti kaset rusak. Gue gagal paham mengapa orang tua begitu menuntut anaknya memiliki nilai sempurna di rapot. Lebih dari itu, kenapa pula mereka senang sekali membandingkan. Dalam kasus gue, adik gue lah yang menjadi pembanding.

Seperti kata ayah, adik gue cerdas. Tahun ini dia masuk SMA sedangkan gue naik ke kelas sebelas. Beruntungnya dia nggak satu sekolah sama gue. Cewek cerdas kayak dia tentu saja lolos ke SMA terbaik bertaraf internasional.

Dan seperti kata ayah, gue cuma anak bodoh. Bodoh. Bodoh.

Gue menggeram ketika mengingat bentakan kemarahan serta kata-kata yang lebih parah dari itu terlontar siang tadi. Tepat setelah pulang dari sekolah. Sejak dulu hari pembagian rapot selalu menjadi teror bagi gue.

Gue butuh pelampiasan. Sekarang, tangan gue semakin aktif mengegas motor ninja hitam hingga kecepatannya kian meningkat. Gue berkendara ugal-ugalan di jalanan tengah malam yang lengang. Angin malam menampar wajah dan badan tanpa ampun sementara rambut panjang gue berkibar. Gue nggak pake helm dan sarung tangan. Sama sekali nggak berpikir kemungkinan bertemu polisi. Boro-boro. Memikirkan besok masih bernapas tanpa kecelakaan saja, enggak.

BRAK!!

Entah karena otak gue sedang memikirkan kecelakaan atau karena apa, peristiwa nahas itu terjadi. Cepat sekali kejadiannya. Gue baru saja membelokkan motor dan ternyata di sana ada enam moge lain. Tanpa bisa dicegah, motor gue menabrak kendaraan itu hingga menimbulkan efek domino. Enam moge yang tadinya parkir berdekatan langsung roboh saling menindih.

Tapi, yang paling menyedihkan tentu saja gue. Ibarat pepatah, keadaan gue saat ini adalah sudah galau, jatuh, tertimpa motor, kejedot trotoar pula. Untuk sejenak, gue menunduk sambil memegang kepala. Syukurlah, kayaknya nggak ada darah. Kata Naswa, gue ini keras kepala. Ternyata benar, saking kerasnya kepala gue ini nggak bocor setelah menghantam bahu jalan. Padahal kalau di sinetron ada adegan jatuh nabrak batu, pasti jidat si tokohnya udah berlumuran darah, lalu si tokoh bakal hilang ingatan akibat kecelakaan itu.

Lagi-lagi gue mengucap syukur karena hidup di dunia nyata bukan di dunia sinetron. Meski dunia nyata pun dramanya nggak kalah ruwet dari sinetron. Setidaknya habis kejedot batu gue masih inget nama gue adalah Aeera Alsava Mahendra. Gue juga inget tadi siang habis dimarahin habis-habisan karena rangking gue memalukan. Dan, gue juga nggak lupa baru aja menjalankan motor gila-gilaan sampai jatuh.

"Woy, siapa lo?"

Demi mendengar suara itu, gue menoleh sambil meringis pelan. Mata gue mengerjap berkali-kali. Bentar-bentar, kok mendadak banyak orang kembar ya? Coba gue itung, satu, dua, ... kayaknya lebih dari lima pasang lelaki kembar. Dan tunggu, kok di atas kepala gue ada burung gagak muter-muter, ketawa pula! Ini apaan sih?

"Woyy, denger kagak sih?!"

Gue menggeleng sembari memejam. Waktu buka mata, orang-orang kembar serta burung-burung gagak itu sudah menghilang. Yang ada hanya lima orang lelaki dengan muka garang dan seorang lelaki yang agak babak belur. Gue bisa menebak apa yang terjadi di sini.

"Beneran budek ya lo! Punya masalah apa, sih, lo sampe nabrak motor. Awas aja kalau ada yang rusak!"

Gue berdecih. "Bantuin gue dulu, kali. Sakit nih ketimpa motor, marah-marah aja lo kayak emak-emak."

Wajah lima cowok garang itu memerah, menahan marah. Gue melihat tanda bahaya ketika mereka maju serempak ke arah gue. Dilihat dari ekspresi sepertinya mereka bukan ingin membantu gue, barangkali mereka marah karena gue telah menjatuhkan motor mereka. Namun, sebelum lima cowok garang itu sampai di depan gue, si cowok yang agak babak belur itu mendadak melakukan serangan tendangan dan pukulan, cukup untuk mengalihkan atensi.

"Buruan selesaikan ini, gue muak liat muka kalian," kata cowok yang agak babak belur itu.

Tanpa ba-bi-bu, adegan pengeroyokan itu terjadi. Gue merasa terabaikan sekarang. Apa mereka nggak mau nolongin cewek galau yang kakinya ketimpa motor ini?

Gue menarik napas panjang, karena gue ini cewek mandiri maka gue akan menyelamatkan kaki gue sendiri. Setelah perjuangan mengangkat motor sampai membebaskan kaki, akhirnya gue bisa berdiri tegak walau dengan meringis. Kaki gue sakit dan bisa gue rasakan ada cairan di dalam sepatu ankle boot hitam dengan hak tiga centi yang gue kenakan.

Adegan perkelahian cowok-cowok itu belum usai. Malam ini otak gue lagi galau plus konslet. Karena itu tanpa pikir panjang, gue mengikat rambut panjang gue dengan ikat rambut yang ada di pergelangan tangan. Lantas gue segera masuk ke dalam lingkaran pertarungan. Jalanan ini amat sepi dan jauh dari keramaian, gue sangsi bakal ada manusia yang lewat. Kalau makhluk halus sih bisa jadi ada.

Lima cowok sangar dan cowok babak belur itu kaget akibat kemunculan gue. Namun tidak lama sebab gue sudah menyerang. Perkelahian kembali dimulai. Lima lawan dua, nggak adil sama sekali.

"Lo punya masalah apa, heh? Jangan ikut campur," ujar lawan gue.

Sebagai balasan gue menendang perut cowok itu. Sepatu ankle boot hitam dengan hak tiga senti menghantam telak. Cowok itu terdorong mundur.

"Aww wadaww."

Tapi yang berteriak justru gue alih-alih cowok itu. Kaki gue berdenyut perih. Gawat, gue nggak kuat. Kenapa sakit ini datang di saat yang krusial, sih. Dua cowok garang mulai mendekat lagi pada gue. Sedangkan tiga orang sisanya masih melawan si cowok babak belur.

"Kenapa lo? Sakit, hum?"

Sial. Gue nggak suka ekspresi mereka yang seperti mencemooh itu. Pukulan dan tendangan mereka melayang, gue bersiap menangkis ketika tiba-tiba seseorang berdiri di depan gue, menjadi tameng. Lah, itu si cowok babak belur. Gue menengok ke samping dan tiga cowok yang menjadi lawan sebelumnya sudah terkapar di jalan. Nggak menunggu lama sampai dua cowok ini pun menyusul tumbang. Si cowok babak belur ini kuat juga, tapi kenapa mukanya sampai lebam-lebam begitu?

"Jadi, di sini siapa yang menolong siapa?" Si cowok babak belur berbalik badan menghadap gue. Setelah diamati, ternyata dia memiliki paras yang menarik ekhem ... ganteng.

"Eh? Bentar, lo nggak ngira gue lagi nolong lo, kan?"

"Bukannya gitu ya? Tapi malah jadi gue yang nolong lo."

"Enggak tuh, kebetulan gue lagi galau dan butuh samsak."

"Oh gitu. Ya sudah, sampai jumpa lagi." Perasaan gue aja atau emang cowok ini bicaranya semi-formal ya?

"Sorry to say, tapi gue rasa nggak akan ada 'sampai jumpa lagi'."

"Really? I think it's not the last."

•••

Hai hai, panggil saya Rei atau Rin ya. Salam kenal👋

Gimana prolog nya? Yuk, komen pendapat kalian di sini:)

Kisah ini berjudul You Are Brave, cerita ke dua dari Square Series. Cerita pertama berjudul You Are Strong, masih on going, silahkan cek profil saya jika kamu kepo. Square Series menceritakan tentang broken home dan broken family. Sisi romansa ala remaja ada kok ada, hanya posisinya saya jadikan bonus. Konflik utama tetap tentang family. Begitulah ....

Ini pertama kalinya saya ikut writing challenge, loh, beneran deh gugup nggak karuan😂😪 dari semalam heboh sendiri wkwkwk

So yeah, jangan lupa vote dan komen ya. See you:)

Salam hangat,

Reirin

Wp : Reirin_
Ig : reirin2018

You Are Brave [END]Where stories live. Discover now