"Nggak usah makan biar kelaperan," celetuk Dilla. "Dia bukan temen kita lagi ngapain dipeduliin."

"Jangan gitu," Nathan berdecak dan merangkul cewek itu. "Gue pesen jangan sampe jadian sama Ale." katanya.

"Dih ngatur." Dilla mendorong tubuh Nathan menjauh. Tidak akan pernah memaafkan cowok itu karena pergi dengan cara seperti ini.

"Bran," Nathan menghampiri cowok itu. "Jangan gini lah anjir, mau pisah juga."

"Gue ikut lo," ucap Gibran dengan tenang. "Gue bisa pindah sekarang."

Nathan terkekeh. "Ninggal Luna?"

Gibran berdecak. "Ajak lah," katanya.

"Bego," Nathan menoyor kepala Gibran. Lalu memaksanya memeluk cowok itu. "Lo tetep sahabat gue, kita bakal sering ketemu. Nggak usah ngambek seolah-olah pisah selamanya."

"Lo orang teregois yang pernah gue temuiin Nath," ucap Gibran tapi akhirnya membalas pelukan Nathan. "PS di rumah lo bakal gue rusak."

"Rusak aja," kata Nathan santai. "Sepatu hadiah lo gue sobek-sobek." balasnya membuat Gibran mengumpat.

Nathan giliran menoleh pada Ale dan Ical yang sedang duduk mojok di dekat pot tanaman besar, mereka terus menekuk wajahnya sejak mengantar Nathan ke bandara. Jelas mengamuk-ngamuk di telfon dan mengatai Nathan dengan seluruh isi kebun binatang.

"Jangan bikin gue makin sedih lah tai," Nathan mengusap kedua matanya. "Lo harusnya seneng kan gue pergi."

Ale tetap tak mau menjawab, malah menangis sambil menyembunyikan kepalanya di punggung Ical. "Cal, bunuh sahabat halal nggak sih?"

"Dia bukan sahabat kita." balas Ical jelas kecewa atas perginya Nathan secara tiba-tiba. "Nggak ada sahabat yang pergi tiba-tiba tanpa ngasih tau."

"Yang nemenin gue rebahan di uks siapa? Yang nraktir gue gorengan di warung Mba Ayu siapa? Yang malakin jajanan adek kelas siapa?" lirih Ale sambil menangis. Benar-benar sesedih itu. "Lo mau ninggalin kita kayak gini??"

"Lo di sana nggak bisa bisa diem-diem cabut di pelajaran Pak Aji Nath, terus pura-pura salah masuk kamar mandi cewek, nggak bisa manjat pager lagi biar pulang duluan, nggak bisa punya dua temen bego," lanjut Ical.

Air mata Nathan jadi menetes banyak. "Nggak bisa main ps bareng lagi." tambahnya membuat mereka makin menangis.

"Jahat lu anjir," Ale menutup kedua matanya dengan lengan. "Tai lah tai."

"Sini lah bego," Nathan menarik mereka ke dalam pelukan. Walaupun enek sama mereka tetep nggak ada yang bisa gantiin posisi Ale dan Ical.

"Jangan punya temen di sana terus lupaiin kita." lirih Ical.

"Lo kalo bosen di sana call gue aja, langsung gue jemput." balas Ale membuat Nathan tertawa sambil mengusap air matanya.

"Gue masih ngerasa ini nggak nyata anjir." lirih Ical.

"NATHANNNN."



Mereka menoleh. Langsung membubarkan diri. "Dah lah perusak suasana," dengus Ale memandang Luna yang berlari sambil menangis.

"Dia di kelas ngejelekin gue terus kan?" tanya Nathan sinis.

"Biasalah pencitraan." balas Ical.

"Nath," Luna langsung memeluk Nathan dengan erat. "Ayo balik, gue nggak bakal bentak lo lagi, nggak bakal ganggu lo pas tidur, nggak bakal sewotan, nggak bakal cepuiin lo ke Pak Aji."

Nathan jadi terkekeh. "Telat ah lo."

Luna melepas pelukannya sambil menangis. Menabok pipi Nathan geram sendiri. "Nath jangan gitu lah goblok,"

"Baru aja janji udah diingkarin." dengus Ale.

"Ditabok anjir gue," Nathan mengelus pipinya.

"Nath gue selama ini jahat sama lo tuh bukan beneran benci asli, lo sahabat terbaik gue. Lo percaya kan, Nath??"

Nathan mendengus geli. Menoleh pada Gibran yang menghampiri mereka. "Kayaknya cewek lo mulai terus terang dia lebih suka gue dari pada lo."

"Enggak lah bego," Luna merangkul Gibran. "Caper deh lo."

"Yeee tai," Nathan berancang-ancang memukul kepala Luna tapi Gibran menahannya membuat ia mendengus.

Nathan kemudian termenung, memperhatikan ke pintu masuk sejak tadi membuat mereka tau betul apa yang sedang dipikirkan cowok itu.

"Lo yakin ambil keputusan ini?" tanya Dilla.

"Masih ada waktu Nath buat batalin." sahut Nayya dibalas anggukan oleh yang lain.

"Yok lah Nath, balik langsung ke cilok Mang Udin. Lo minta apa aja Ical yang bayarin dah," ucap Ale.

"Anj," Ical tersenyum sabar.

Nathan terkekeh. "Gue punya masa depan juga, nggak bisa selalu bergantung sama mereka," ucapnya membuat mereka terdiam. "Ngerti kan maksud gue??"

"Perhatian perhatian, para penumpang pesawat udara..."

Nathan mengangkat kepala mendengar pemberitauhan keberangkatan pesawatnya, lalu menghela napas berat sambil memandang sahabatnya yang makin bersedih. "Guys,"

"Take care." Nayya memeluk Nathan untuk perpisahan terakhir. Diikuti Dilla dan Luna yang sejak tadi masih menangis.

"Bran, kalo mau nangis jangan ditahan lah sakit." celetuk Ale.

Gibran jadi mengumpat, menghapus air matanya dan memeluk Nathan sekali lagi. "Jangan lupa sama gue," katanya. "Gue tunggu lo sukses."

"Thanks." Nathan tersenyum sambil menepuk bahu Gibran.

"ENTIN GUEE," Ical dan Ale melompat lagi untuk berebut memeluk Nathan. "Nath, gue ikut nggak papa duduk di kolong."

"Bego," Nathan tertawa kecil, lalu melepas pelukan mereka. "Dah udah gue harus masuk."

Tak ada yang tau jauh dari sana Zia berdiri dengan air mata yang mengalir deras. Ingin sekali berlari dan memeluk Nathan seerat mungkin. Mengatakan jika dia bohong, jika dia tidak selingkuh, jika dia diancam.


Tapi Zia hanya bisa memandang dari kejauhan. Meratapi kepergian Nathannya.

Tidak akan ada lagi suasana kelas ramai karena Nathan dihukum, atau melihat murid pelor di kursi paling pojok, yang kabur-kaburan karena mau disuntik, yang jadi pakar cinta sahabat-sahabatnya.

Mungkin kisah mereka akan berakhir seperti ini, dengan cara saling membenci dan menjauh tanpa kalimat perpisahan.





Zia : take care

Zia : gue mau lo mulai kehidupan yang baru dengan lebih baik
read








THE END




SEASON 2 of Little Promise has been confirmed. On May 14, 2021. ❤️⛅️






Alega Series 4  (I'm an ordinary) tommorow at 3 pm! Stay tune ❤️

Little Promise ( AS 3 )Where stories live. Discover now