"Kita dipilih perusahaan ini karena mereka masih baru, jadi negoisasi biayanya lebih gampang diatur. Lumayan loh, nambah pengalaman kamu kan."

"Di sana aku harus ngapain dong? Kalo nggak ngerti gimana??" tanya Zia panik. "Ga, serius nggak ada pengalaman."

"Ya berarti ini percobaan pertama. Udah santai aja, kamu catet di word aja pembahasan kita buat laporan ke Bu Amar."

Zia mengangguk, menyentuh jantungnya yang berdesir gugup. "Semoga lancar ya."

Verga melirik Zia sambil tertawa kecil, lalu merogoh saku celananya dan memberikan sebungkus permen. "Nih biar nggak nervous."

Zia tersenyum lebar. "Aaa thank you."

Mereka masuk ke dalam ruangan yang diarahkan oleh salah satu staf. Zia merapikan jasnya setelah Verga ke dalam. Sudah ada beberapa orang yang sedang menunggu kedatangan mereka.

Langkah Zia jadi terhenti, menyerngit untuk sesaat. "Gibran?" panggilnya melihat cowok itu berada di salah satu tempat duduk.

Gibran menoleh sambil melebarkan mata. "Lah, Zi."

"Kebetulan banget," Zia tersenyum kecil. Lalu menoleh ke meja paling depan dimana sosok Nathan duduk tanpa ekrpesi membuat senyum Zia memudar.


Apa lagi ini...


"Duduk, Zi." Gibran mempersilahkan. Melirik Nathan sambil menggedikan bahu, tidak tau Zia akan datang kemari.

"Jadi ini tim promosi dari Ratena?" sapa Nathan sambil berdiri. Menatap Zia yang sedang mengeluarkan macbooknya.

"Saya Verga, ketua tim." sapanya berjabat tangan dengan Nathan. Lalu menoleh pada Zia yang sedang menunduk, menyenggol lengan cewek itu.

Zia jadi mendongak sambil mengerjap. "Ohh," Ia kemudian berdiri dengan cepat membuat mouse di sampingnya jatuh di lantai. Otomatis beberapa orang mengalihkan perhatiannya.

"Rileks," Verga mengusap bahu Zia membuat Gibran menaikan alis. Nathan hanya menatapnya sesaat dan tetap berdiri tegap.

"Zia, tim administrasi." Cewek itu mengulurkan tangannya sehingga Nathan balas menjabat.

Mereka saling menatap. Mungkin ini pertama kalinya Zia merasakan sentuhan Nathan setelah sekian lama, aura dingin cowok itu seakan menyalur ke kulitnya. Memancarkan sesuatu yang membuat perasaannya tidak tenang.

Jadi ia buru-buru menarik tangannya, namun tersentak saat Nathan menahan genggaman mereka membuatnya terpaku. Bahkan tak bisa memahami tatapan apa yang ditujukan pria itu padanya.

"Bisa dimulai?" tanya Gibran cukup menginturepsi mereka. Jadi Zia menarik tangannya duluan dan kembali duduk.

Nathan memasukan kedua tangannya di saku celana. "Baik, karena tim spanduk sudah hadir jadi saya mulai kesepakatannya."

Sepanjang rapat Zia yang gugup makin tak fokus, tapi ia berusaha untuk profesional karena Mba Tika sudah memasrahkan tugas ini padanya.

Dia selalu gagal fokus dengan Nathan. Bagaimana pria itu menjelaskan dengan tenang, kadang sesekali diam untuk berfikir, atau caranya mendengarkan orang yang bicara.


Membuatnya sadar, orang di depannya ini sudah bukan Nathan murid sma yang ia kenal dulu. Nathan yang tingkahnya konyol, sering tertawa, kekanak-kanakan dan--

"Zi??"

Lamunan Zia terbuyar, ia terperangah sambil menatap Verga yang sudah berdiri. "Malah ngelamun, ayo."

"Oh udah??" Zia melongo bingung. Menatap kursi Nathan yang sudah kosong, membuatnya menghela napas berat.

"Udah, ayo keluar. Kayaknya bakal deal," ucap Verga sambil tersenyum lebar. "Aku kabarin Mba Tika dulu."

Little Promise ( AS 3 )Where stories live. Discover now