3. SMA Angkasa

40.2K 6.3K 200
                                    

Hayuk vote + spam komen. Jadi silent reader? Bisulan! 🥰

Setelah mengikat dasinya, Liora menatap bayangannya dicermin penuh kepuasan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah mengikat dasinya, Liora menatap bayangannya dicermin penuh kepuasan. Sekarang dia mengenakan kemeja putih dipadukan dengan rompi krem dan rok selutut kotak-kotak berwarna merah-hijau.

 Sekarang dia mengenakan kemeja putih dipadukan dengan rompi krem dan rok selutut kotak-kotak berwarna merah-hijau

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Liora menyunggingkan tersenyum puas dan keluar kamar sambil menggendong tas di punggung.

Sejak SMP Liora selalu menyukai seragam SMA Angkasa, maka dari itu dia berharap bisa masuk sekolah yang terkenal ini.

Walaupun seragam hari senin, selasa dan jumat adalah seragam nasional yakni putih abu-abu dan pramuka, tetapi yang paling menarik adalah seragam sekolah SMA Angkasa yang digunakan ketika hari rabu dan kamis. Kebetulan hari ini hari rabu, jadi Liora bisa memakainya.

Menuruni tangga, Liora menatap sekeliling. Setelah pulang dari rumah sakit kemarin, ia tidak sempat melihat rumahnya sendiri. Biar bagaimana pun Liora hanya memiliki ingatan dua tahun lalu, jadi kemungkinan besar ada perubahan setelahnya.

Benar saja, di dinding ruang keluarga terdapat banyak bingkai foto keluarga dan didominasi fotonya dan ada beberapa lukisan mahal yang dipajang di ruang tamu. Bagi Liora, tidak terlalu banyak perubahan jadi dia semakin nyaman.

Setelah berkeliling selama beberapa menit, Liora duduk di depan meja makan dan menyantap roti selai stroberi kesukaannya. Venia keluar dari dapur lalu meletakkan susu rasa stroberi. Melihat Liora yang tengah menggerogoti roti, Venia termenung sejemang.

“Kamu baru pulih loh Ra. Gak mau di rumah dulu?” tanya Venia sambil menyisir rambut halus anaknya.

Liora mengangguk. “Rara bosen Mah. Kalo di sekolah kan ada Devia sama Sherin.”

Venia sontak berdecak tidak puas, “Devia sama Sherin bisa kok main ke sini. Kamu jangan memaksakan diri.”

“Ih Mama, jangan terlalu manjain Rara. Rara udah kelas XII, loh.” Ada kebanggaan dalam nadanya.

Mau tak mau mata Venia melembut mendengar ucapan putrinya. Dia mengelus kepala Liora penuh kasih sayang. “Entar berangkatnya dianter sopir ya, Ra.”

Liora mengangguk patuh. Mengingat sesuatu tatkala sedang meneguk susu hangat, dia segera menoleh menatap Venia yang berdiri di samping, sedang mengamatinya. “Mama masih simpen buku pelajaran sebelumnya gak?”

Melihat bekas susu yang mengotori pinggiran bibir Liora, Venia mengulurkan tangan membersihkannya. “Ada di gudang. Nanti Mama simpen di kamarmu.”

Senyuman Liora mengembang. Dia berdiri dan menggendong tasnya di belakang punggung dengan semangat. Sebelum berangkat, tak lupa dia menyalim Venia.

“Rara berangkat dulu Mah. Jangan kangen ya. Muah.” katanya lalu mengecup pipi Venia dan berlari meninggalkan wanita itu.

Dalam perjalanannya ke sekolah, jantung Liora berdetak dua kali lebih cepat. Berulang kali dia mengembuskan napas dan menatap jendela dengan pikiran melayang.

Bagaimana suasana SMA Angkasa? Apakah teman sekelasnya baik-baik? Liora jadi tidak sabar memasuki sekolah.

Tadi malam dia tidak bisa tidur dan memutuskan membuka buku pelajaran. Sekarang dia tiba-tiba sudah berada di akhir tahun SMA, ada banyak sekali materi yang tidak dia mengerti.

Berdasarkan informasi yang diterimanya dari Devia dan Sherin, mereka bertiga sekelas di jurusan IPS yakni XII-IPS 1. Sayangnya mereka bertiga berbeda ekstrakurikuler. Liora memasuki bidang musik, Devia memasuki cheerleader, sedangkan Sherin masuk karate.

Berbicara mengenai Sherin, Liora tidak bisa menahan kagum. Sahabatnya itu ternyata juara 1 dalam pertandingan nasional karate. Pantas saja Rezi memilih pergi dan tidak lagi melawan tatkala Sherin datang ke bangsalnya.

Tadi malam juga Liora menanyakan roster dan tugas. Syukurnya tidak ada tugas untuk hari ini, jadi dia bisa bersantai.

“Non Rara, kita sudah sampai.” kata sopir yang Liora kenali bernama Pak Teo.

Dengan riang Liora menjawab, “Makasih Pak Teo.”

Liora baru menyadari bahwa Pak Teo mengantarnya sampai di depan bangunan sekolah. Mengamati sekitar, Liora tidak tahan untuk menghela napas. Jarak antara bangunan sekolah dengan gerbang bahkan sangat jauh seperti panjang lapangan sepak bola. Seperti dirinya, ada beberapa mobil yang mengatar sampai depan gedung.

Mengenai SMA Angkasa, Liora tahu sedikit tentang salah satu peraturannya. Siswa atau siswi yang belajar di sekolah ini tidak diizinkan membawa mobil sendiri dan hanya diizinkan membawa kendaraan bermotor.

Alasan yang beredar adalah untuk menghindari kesenjangan di antara pelajar. Jadi bagi sebagian orang akan diantar seperti Liora, sebagiannya lagi membawa motor, dan sisanya berjalan kaki.

Tatapan Liora terpaku pada sebuah motor ninja merah yang melaju gagah ke parkiran. Gadis yang numpang di belakangnya turun terlebih dahulu diikuti laki-laki yang mengendarainya. Tatkala laki-laki itu melepaskan helmnya, Senyuman Liora mengembang.

Tanpa sadar Liora hendak memanggil,
“RE—” namun segera terhenti tatkala mengingat bahwa Rezi tidak menyukainya lagi. Mengerucutkan bibir, Liora langsung memasuki bangunan sekolah.

Beberapa orang tidak bisa menahan pandangan mereka saat Liora lewat. Sesekali Liora mengarahkan senyuman pada mereka, yang dibalas senyuman kikuk. Mau tak mau Liora menundukkan kepala karena tidak tahan menjadi pusat perhatian.

Tatkala melihat plakat bertuliskan “XII-IPS 1” di salah satu pintu ruang kelas, Liora bernapas lega. Langkah Liora terhenti di ambang pintu, dia mengedarkan pandangan dengan bingung. Dia lupa bertanya pada Devia dan Sherin di mana bangkunya berada.

Berdiri di ambang pintu membuatnya kembali menjadi pusat perhatian sebagian teman kelasnya yang sudah datang. Di tengah keraguannya tentang bertanya pada teman sekelasnya atau tidak, tiba-tiba terdengar pekikan meleking dari belakang diikuti pelukan yang membuat Liora maju beberapa langkah karena kehilangan keseimbangan.

“Raraaaa...”

Liora menatap sang pelaku kesal. “Devia! Entar kalo gue jatuh gimana?”

Mengenai penyebutan gue-lo, ini diajarkan Devia dan Sherin. Kedua gadis itu tidak tahan mendengarnya menyebut namanya sendiri. Setelah banyak berinteraksi selama lima hari belakangan, Liora perlahan terbiasa.

Devia cengengesan. “Ihh seneng banget sahabat gue masuk kembali. Lo pasti gak tau bangku lo, kan?”

Mata Liora berbinar penuh harap, Devia memang penyelamatnya. Dia segera ditarik Devia dan berakhir di baris ke empat dan paling pojok. Bangkunya dekat dengan jendela yang menampilkan lapangan basket luas.

Jantung Liora berdesir aneh. Entah kenapa dia masih tidak menyangka sekarang bersekolah di SMA Angkasa!

TBC

ARCHERON ✓Where stories live. Discover now