12. Pencuri mangga

Mulai dari awal
                                    

Nafika mendaratkan bokongnya di lantai. Duduk bersimpuh menatap langit biru.
"Langit biru banget. Lagi bahagia ya?"

"Bodoh. Mana bisa langit bahagia." Seseorang yang baru saja masuk menertawakan omongan aneh yang baru dia dengar.

Nafika menoleh, sedikit terkejut. Wajahnya berubah kesal. "Mau apa lo kesini, Reo Bodoh?"

"Ha? Gua bodoh? Yang bodoh itu lo. Mana ada langit bisa bahagia." Kebetulan yang tidak menyenangkan. Nafika bolos bersamaan dengan berandalan alias Reo.

"Ya makanya gue bilang lo bodoh! Langit itu bisa bahagia. Waktu dia cerah sebiru laut dia bahagia. Dan waktu dia mendung atau hujan, dia sedih." Nafika menjawab sinis.

Reo tertawa kecil. Duduk membelakangi punggung Nafika. "Bagaimana ceritanya, saat lo kepanasan lo bahagia? Bagaimana bisa saat lo kedinginan lo bahagia? Langit cerah itu panas. Langit gelap itu dingin. Dimana letak bahagianya?"

Nafika tertegun. Menatap kembali langit cerah. Apa benar setiap cuaca dan setiap waktu langit menderita?

Tuk!

Reo memukul pelan kepala Nafika. Berdiri memegang pembatas. "Jangan dipikirkan, gua cuma bercanda."

"Terus? Gimana kalau saat senja? Langit tetap menderita?" Nafika ikut berdiri, melangkah mendekat.

Reo berdecih, kembali menjitak kepala Nafika. "Bodoh. Udah gua bilang gua cuma bercanda."

"Tapi itu benar juga, Reo. Siang langit kepanasan, dia tidak punya tempat berteduh. Malam dia kedinginan, tidak punya tempat untuk menghangatkan. Tapi senja, suasana pas-"

"Lo ini benar-benar bodoh." Reo tertawa kecil. Memandangi wajah cewek yang ada di sampingnya. Lebih tepatnya meremehkan.

"Jangan natap gue gitu!" Nafika menginjak kencang kaki kiri Reo.

"Sakit bego! Jadi cewek feminim dikit napa?!" dengus Reo kesal. Sibuk meringis memegangi kaki.

Nafika memalingkan wajah tak suka. Bersedekap dada. "Salah sendiri natap gue gitu!"

"Ya namanya gua ada mata." Reo mengeram kesal. Hari ini adalah hari bolos terburuk. Akan dia catat dalam buku harian.

Nafika menoleh, mengibaskan tangannya mengejek. "Ah! Gue tau, lo terpesona liat kecantikan gue 'kan? Yeah gue tau, gue memang cantik. Kebangetan malah."

"Jijik!" Reo bergidik geli. Entah dari mana rasa percaya diri itu.

"Eeh? Ngaku aja, engga usah malu-malu gitu," goda Nafika, menyeringai lebar.

"Malu-malu mata lo satu!"

Nafika melotot. "Enak aja! Mata lo tuh satu! Engga liat lo mata gue dua terpasang cantik gini."

"Oh? Itu mata? Gua kira pantat sapi."

"REO SIALAN!!!" Nafika melepas sepatu, bersiap mengeksekusi Reo.

Sebelum nyawanya tidak bisa diselamatkan Reo segera pergi. Berlari secepat kilat. Aura pembunuh berantai menyeruak dari cewek itu.

"TOLONG!" Reo berteriak kencang setengah mati. Berlari secepat kilat menuruni tangga. Mengabaikan para murid yang berpapasan dengannya atau yang ada di dalam kelas. Keselamatannya nomor satu.

Nafika dengan satu kaki tanpa alas berlari mengejar Reo. Menatap nyalang target. Ini bukan hal sulit, dia dulu bahkan pernah mengejar Rega hingga rumahnya.

"Tunggu ajal lo, Reo Bodoh!!!" Nafika memekik kencang. Murid-murid yang kelasnya kosong bahkan keluar penasaran atas apa yang terjadi. Membuka mulut tak percaya.

Dear Nafika badbaby sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang