Prioritas : 47

1.3K 106 14
                                    

Koridor kelas di pukul setengah tujuh masih sangat sepi. Setiap kelas pun hanya di isi dua bahkan tidak sama sekali. Kebiasaan anak SMA Panca Buana tidak pernah berubah sampai saat ini. Siswa siswinya masih terus meneruskan kegiatan yang di laksanakan oleh kakak kelas mereka yaitu masuk telat ketika semester baru. Contohnya sekarang.

Di semester dua kali ini siswa siswinya di tuntut untuk belajar lebih giat dan memastikan jika nilai mereka harus lebih tinggi dari semester sebelumnya.

Namun, murid Panca Buana memanfaatkan hari ini sebagai hari bermalas-malasan mereka.

Contoh pertama adalah Lia dan Okta yang kini sedang duduk di lapangan indoor sekolah. Duduk di pinggir lapangan menikmati keheningan lapangan tersebut karena hanya ada mereka saja di sini, benar-benar mereka berdua.

Okta meluruskan kedua kakinya, memejamkan mata dan menghela secara bersamaan. Entah mengapa perasaanya jadi tidak tenang ketika Lia mengatakan jika Abila tidak seburuk yang dirinya kira.

"Lo masih mau diam aja, Ya? Ga mau ngasih tau gue apa yang lo maksud tadi,"

Lia yang ada di sebelah Okta menoleh, meluruskan pandangannya kembali pada tribun lawan yang kosong. Lapangan indoor SMA Panca Buana tidak terlalu besar jadi mereka tidak terlalu takut apabila ada pemadaman listrik lagipun ada fentilasi ruangan yang cukup.

"Yang mana? Gue ga tau."

Okta membuka matanya. Ia tidak menatap Lia, pandangannya lurus kedepan.

"Ga usah pura-pura lupa. Kalo emang ga mau ngasih tau, yaudah diam aja. Tutupin semua sampai gue salah paham dan berlanjut ke dendam."

Diam-diam tarikan nafas Lia ambil. Ia ikut meluruskan kakinya seperti apa yang di lakukan Okta.

"Bisa, ga, anggap aja omongan gue tadi itu angin lewat?"

Okta menatap Lia, "Angin lewat? Untuk masalah pertemanan kita lo bilang angin lewat?" Okta berdecih. "Hidup ga sebercanda itu, Ya."

"Gue tau, Ta. Tapi rasanya belum pas aja buat gue bilang ini. Waktunya belum tepat."

"Waktu terus jalan, Ya. Mau sampai kapan lo sembunyiin kebenaran dan buat gue seakan jadi manusia paling bego di sini?"

Lia mengusap wajahnya kasar. Bagaimana ini, apa ia harus mengatakan yang sejujurnya jika Abila melakukannya karena ingin melindungi mereka? Atau diam bertindak seolah tidak tau?

Okta menoleh pada Lia karena gadis itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.

"Lia! Jawab! Apa yang lo maksud kalo Abila ga seburuk yang gue kira, ada apa, Ya!?"

"Lia! Lo diam gini tambah buat gue ngerasa bersalah! Please..."

Lia mengehampaskan tangannyayang semula ada di kening, "Ok-ok! Abila kaya gini karena mau lindungin kita, gue dan lo. Puas!?"

Okta terdiam, matanya mengerjab berulang kali memastikan jika ia masih di dunia sadar.

"Maksud lo?"

"Aruna dalangnya. Dia ancam Abila-

"Aruna ngapain Abila?"

Suara itu. Itu suara Ghani.

Kedua gadis itu menoleh, ada Farhan dan Ghani yang ada di depan pintu lapangan. Dua laki-laki itu mendekat sambil membawa jersi basketnya.

"Ada apa? Apa yang kita berdua ga tau?" Ghani duduk di depan Lia sedangkan Farhan di depan Okta. Keduanya sama-sama penasaran karena mereka sempat menguping pembicaraan dua gadis itu.

Kembali menghela nafasnya. Jika sudah seperti ini Lia harus apa? Sebaiknya memang di ceritakan semua.

Mata Lia berjalan, menatap tiga orang di sekitarnya yang terlihat begitu antusias.

Prioritas [Selesai]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora