Pruoritas : 36

1.3K 107 22
                                    

Melupakan sejenak tentang Abila yang perlahan mulai membuat pertemanannya hancur. Kini di rumah Tasya dan Gibran sedang di adakan sidang dadakan yang di gelar di ruangan pribadi milik Tasya yang terletak di lantai tiga.

Lia yang semula keberatan di paksa untuk mengikuti sidang ini karena ini perintah Gibran. Ingat, perintah Gibran adalah sebuah kewajiban.

Ke empat orang yang ada masih diam terlebih Gibran yang rasanya benar-benar ingin menguliti anaknya. Sepulang dari rumah Aruna kedua anaknya langsung Gibran suruh untuk masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Tidak banyak yang di ucapkan oleh Gibran, bapak dua anak itu hanya mengunakan satu kata saja 'Naik'.

Atmosfer di rungan ini benar-benar padat. Lio terus mengulum bibirnya sesekali mengigit kulit bagian dalam karena gugup. Ia tau kesalahannya namun hatinya terus mengelak.

"Pa, Ma-

"Ga ada yang izinin kamu bicara." ujar Gibran menohok.

Lio semakin menundukan wajahnya membuat Lia merasa kasihan dengan kembarannya itu, karena ini kali pertama Lio membuat kesalahan yang amat fatal.

Tasya menegakan tubuhnya, memposisikan pandangan tepat pada Lio.

"Adelio, duduk yang benar. Jadi laki-laki itu harus nerima konsekuensi dari apa yang kamu lakukan."

Lio menegakan posisi duduknya, matanya mulai berani menatap mama dan papanya secara bergatian.

"Ma, maaf. Lio ga sengaja."

Prengk!

Gelas kopi di depannya di lempar begitu kencang ke arah pintu. Tasya dan Lia terkejut dengan reaksi reflek yang di keluarkan oleh Gibran. Sedangkan Lio hanya memejamkan matanya.

"Ga sengaja? Otak kamu taruh di mana, Lio! Mana ada perbuatan seperti itu tidak di sengaja! Logika!" Gibran memalingakan wajahnya berusaha menahan amarahnya.

"Pa-

"Papa ga akan pukul kamu, kunciin di kamar atau hal kekenakan lainnya. Papa cuma mau kamu tanggung jawab atas apa yang kamu perbuat." putus Gibran. Lio tidak mengangguk atau menggeleng, laki-laki itu mematung.

"Kita tunggu satu sampai dua bulan ke depan, kalo gadis itu ke sini dengan anak di kandungannya berarti kamu sudah siap untuk menjadi seorang Ayah. Hari itu juga kalian akan Papa nikahkan!"

"Pa! Aku ga berbuat apa-apa, Pa. Aruna yang nyodorin diri dan aku-aku-

"Lo apa, Yo? Kalo prinsip lo kuat lo bisa tahan. Tapi ini, lo malah keenakan." potong Lia.

"Sumpah, ya, Yo. Gue jijik sama lo, gue ga nyangka kalo kembaran gue, Abang gue yang selalu gue junjung dan gue hargain ternyata ga punya pendirian."

Seakan membiarkan Lia buka suara, Tasya dan Gibran memilih diam membiarkan anak-anak mereka melakukan apa yang seharusnya di lakukan.

Tasya yang duduk di samping Gibran terus memperhatikan keduanya.

"Lo tega ngelakuin hal itu ke cewe yang bukan istri lo! Lo ga mikir apa ga punya otak sih, Yo? Lo punya adek cewe, coba kalo gue yang di posisi Aruna, lo bakal apa? LO BAKAL APA?!"

Lio menoleh pada Lia. Mata mereka yang berbeda warna saling bertabrakan. Lio mencoba mendekati Lia namun Lia terus menghindar.

"Tapi dia yang mulai duluan, Ya. Lo ga boleh ngehakimin gue! Gue korban!"

Lia tertawa sumbang, "Sekarang gini, mana ada kuncing nolak ikan. Oh, apa jangan-jangan selama ini lo main belakang sama Aruna, Yo? Dan saat lo udah resmi putus lo ambil kesempatan ini buat ngelakuin hal yang menjijikan itu?"

Prioritas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang