Prioritas : 35

1.4K 110 21
                                    

Pukul tiga dini hari kediaman rumah Tasya dan Gibran di buat heboh dengan ketidak adaan Lio di kamarnya. Seluruh asisten rumah tangga yang ada di sini ikut bangun untuk membantu mencari keberadaan Lio namun hasilnya nihil, Lio tidak ada di rumah.

Seorang pria yang berusia di atas Gibran datang dengan masih menggunakan sarungnya, menghadap pada tuannya yang terlihat begitu marah.

"Maaf, Pak. Mobil di garasi hanya ada milik Bapak, Ibu dan Neng Lia, mobil Den Lio tidak ada."

Menjelasan pak Jono membuat darah Gibran naik. Tangannya terkepal dengan kuat, matanya memerah. Gibran berlari ke sisi tempok, memecahkan vas-vas bunga dan beberapa pajangan mahal milik Tasya.

Tasya melotot. Harga vas dan pajangan itu tidak main-main dan Gibran memecahkannya begitu saja.

"Mas! Tenang!" Tasya mendekatkan diri pada suaminya, berusaha membuat amarah Gibran meredup.

Lia yang melihat itu berulang kali menghela nafas. Lio pasti sedang bersama gadis itu, fikirnya.

Lia melirik beberapa asisten rumah tangganya dan dua pria dewasa. Memperhatikan wajah-wajah mereka yang terlihat begitu mengantuk dan itu membuat Lia jadi tidak tega.

"Maaf sebelumnya udah bangunin kalian, Bibi dan yang lainnya boleh kembali tidur tapi untuk Pak satpam jangan tidur, ya."

Mereka mengangguk. Memutar kembali tubuh mereka tapi kembali terhenti ketika mendengar suara pecahan kaca. Lia menoleh, ternyata sekarang Tasya yang memecahkan kaca meja.

"UDAH AKU BILANG TENANG! YA, TENANG! BUKAN KAMU DOANG YANG KHAWATIR, AKU JUGA, MAS!" teriak Tasya di depan Gibran.

Gibran tidak bersuara, dadanya turun naik tidak beraturan, tangannya pun masih terkepal kuat.

"SEKARANG MANA, ANAK ITU DI MANA!?" Gibran bertanya dengan teriakan tak kalah keras.

Tasya membuang wajahnya, nampak lelah menghadapi Gibran yang selalu seperti ini jika sedang emosi. Walau tidak terlalu sering berselisih tapi sifat Gibran yang satu ini selalu di gunakan ketika sedang marah.

Lia kembali menyuru para pekerja rumahnya membubarkan diri menggunakan gerakan mata.

"Aku ga tau!!"

"CARI! SURUH STEVEN CARI ANAK ITU! TASYA!"

Frustasi. Tasya mengusap wajahnya kasar. Lio mencari gara-gara dan membuat jiwa iblis Gibran datang. Jujur saja, Tasya cukup kewalahan jika sudah seperti ini, kadang salah satu jalan adalah pergi kerumah orang tuanya untuk sekedar menenangkan diri.

Lia, gadis itu yang sudah dua kali melihat kedua orang tuanya berselisih tidak begitu kaget, tapi rasa takut tetap ada.

Lia berdehem. Membuat kedua orang tuanya menoleh lalu diam karena mereka berdua tidak tau masih ada Lia di dekat mereka.

"Kalian boleh ribut, boleh ancurin semua barang dan boleh saling berteriak. Tapi untuk saat ini Lia mohon untuk pending perdebatan kalian. Lio lebih penting dari pada perdebatan kalian."

Lia berucap dengan tenang, matanya bahkan berani menatap kedua orang tuanya dengan pandangan tajam. Gibran membuang wajah sedangkan Tasya memilih duduk di single sofa.

"Maaf, maaf Lia ikut campur urusan kalian tapi sekali lagi, bisa ga saat situasi kaya gini jangan berantem. Lia bukan sayang barang-barang mahal kalian, toh semua barang di rumah ini milik kalian, di beli pake uang kalian." Lia mengambil nafasnya. Mau setenang apapun Lia tetap seorang gadis yang di takdirkan lebih lemah dari pada laki-laki.

"Pa, kenapa Papa dan Mama ga telpon anak buah kalian yang kalian utus untuk jaga Lio? Kenapa milih mecahin barang dan teriak-teriak ga jelas?"

Tasya dan Gibran kompak menoleh dan menatap Lia.

Prioritas [Selesai]Where stories live. Discover now