Prioritas : 6

1.6K 142 0
                                    

Suasana pagi di kediaman rumah Lio dan Lia nampak tenang dan nyaman. Pukul enam pagi tapi rumah ini sudah di isi oleh beberapa orang yang mulai membersihkan sudut demi sudut rumah ini agar selalu bersih dan terhindar dari penyakit.

Maklum saja, pemilik rumahnya adalah seorang dokter dan suaminya pun tidak suka kotor jadi lah semua harus bersih.

Tasya sudah sibuk dengan nasi, telur dan bahan dapur lainnya yang akan segera jadi. Sarapan kali ini Tasya membuat nasi goreng dengan telur mata sapi yang menjadi paket komplitnya.

Memang, jika urusan dapur Tasya yang akan mengurus, ia hanya membiarkan para asisten rumah tangganya membantu dalam hal menyiapkan bahan masakan saja tidak untuk ikut dalam memasak. Ini sebenernya perjanjian yang Tasya dan Gibran buat sejak awal mereka menikah, Gibran tidak melarang jika istrinya bekerja tapi Gibran memberikan batas waktu yaitu sampai di pukul lima Tasya harus sudah pulang dan menyiapkan segalanya untuk makan malam.

Sedangkan Gibran sendiri menjadwalkan diri jika ia harus pulang tepat pukul setegah tujuh malam. Keduanya tidak mau anak-anaknya berfikir jika mereka tidak di sayang, tidak di kasih perhatian atau hal negatif lainnya. Gibran selaku kepala rumah tangga bersih keras membuat sebuah peraturan ini meski awalnya Tasya tentu menolaknya.

Tidak lama Gibran datang, duduk di kursi yang biasa ia duduki. Pria itu mengambil sebuah koran yang ada di depannya, mambaca sekilas lalu di taruh di sisi meja. Pria berpakaian rapih itu memperhatikan dapur dimana ada istrinya yang sedang menyiapkan secangkir kopi untuknya.

Makanannya sudah siap di meja, tapi Lio dan Lia belum juga turun.

"Anak-anak mana?"

"Bentar lagi juga turun." jawab Tasya berjalan mendekat pada Gibran dengan membawa secangkir kopi.

"Makasih." Tasya hanya mengangguk. Lantas ia duduk di kursi samping Gibran.

"Kenapa?" Gibran bertanya.

Tasya menatap suaminya ragu. Ia mengulum bibirnya, "Aku... ah, ga jadi deh."

Gibran gereget! Apaan sih. Sejak kapan Tasya jadi wanita pemalu, biasanya juga asal ngomong dan selalu malu-maluin.

"Kenapa?" ulang Gibran.

"Jesika ajak kita liburan ke bali. Aku mau minta izin buat ikut mere-

"Ga. Udah berkeluarga seharusnya kemana-mana sama keluarga."

Tasya menunduk. Sudah di duga.

"Ok, ga jadi."

"Nanti aja kalo aku ada waktu luang kita pergi." Gibran memperhatikan Tasya yang langsung menonggak setelah tadi sempat menunduk lesu.

Mata Tasya berbinar, ini adalah perkataan yang jarang sekali di ucapkan oleh Gibran yang bernotabe seorang CEO yang selalu bekerja tidak kenal lelah.

"Kita berdua?"

Gibran mengangguk. Ia kembali mengambil cangkir kopinya, menyesap kopi buatan istrinya yang di terima baik oleh lidahnya.

"Iya, berdua."

Mulut Tasya terbuka lebar tidak percaya, apakah ini sungguhannya?

"Serius? Terus anak-anak gimana?"

Gibran tersenyum, "Tinggal, biar mereka liburan sendiri."

"Liburan keluar kota?" Gibran menggeleng dengan wajah menyebalkan, "Temen-temennya suruh nginep di sini."

Tasya mendengus, ia membuang wajahnya kesal. Dasar orang tua ketat mendidik, anaknya liburan aja selalu ga di izinin. Padahal setiap anak butuh melepaskan bebannya yang selama ini di simpan sendiri, tapi Gibran sebagai orang tua malah memiliki pemikiran berbeda dengannya.

Prioritas [Selesai]Where stories live. Discover now