Prioritas : 9

1.5K 140 3
                                    

Sesuai dengan apa yang di katakan oleh Gibran tadi. Kini Lio dan Gibran sudah ada di ruangan kerja milik Gibran. Lio masih diam sejak sepuluh menit yang lalu, laki-laki itu tidak berani mengeluarkan suaranya sama sekali, ia hanya menunduk.

Gibran menghela nafas lelah. Ia memang sengaja pulang sore karena ingin memberikan anaknya pengertian, tidak, lebih tepatnya Gibran ingin membuat Lio sadar dan mengerti dengan kerasnya dunia malam dan pergaulan yang salah.

"Lio."

Lio dengan perlahan menonggak, menatap papahnya yang duduk tepat di depannya dengan mata cokelat yang menyorot tajam.

"Sejak kapan kalian berteman?"

Gibran memulai sesi introgasi, tapi tenang saja kali ini ia sama sekali tidak menggunakan nada tinggi.

"Kelas sepuluh."

"Dari kelas sepuluh sudah sering keluar malam?"

Gibran menggeleng sekali, "Engga."

Tangan Gibran tidak bisa diam, terus memainkan pulpennya. Dengan cara ini Gibran berusaha mengontrol emosi agar tidak meletup di depan sang anak. Kalian tau bukan, emosinya seorang Gibran seperti apa.

"Temanmu begitu semua?"

"Engga. Hanya Aruna yang suka keluar malam."

Pria yang masih memakai setelan kantor itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, melipat kedua tangannya di depan dada, "Lalu, kenapa kamu sampai serela itu dan senurut itu sama dia? Suka? Sayang? Mau kamu jadiin istri? Iya?"

Lio menelan silivanya susah payah. Sial sekali, mengapa tenggorokannya terasa kering dan sakit.

"Bukan itu alasannya, Pah."

"Lalu apa? Apa yang bikin kamu sampai seperti itu sama Aruna. Aruna gadis yang sering Lia ceritakan bukan, gadis manja yang semua keinginannya harus terwujud tidak perduli jika kamu sedang ada di dalam jurang. Papah betul?"

Lio diam saja. Semua yang papahnya katakan memang membuat dirinya sakit dan sedikit tertampar, tapi papahnya tidak tau ada apa di balik semua ini.

"Lio punya pacar, Pah."

Tubuh Gibran menegak, ia menatap anaknya serius dengan tangan yang di tumpuh di atas meja.

"Kamu punya pacar?" tanyanya pura-pura lupa dengan Abila yang baru saja di kenalkan oleh Lia.

Lio mengangguk.

"Siapa gadis yang mau sama cowo dingin dan selalu mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri? Kasih tau Papah siapa gadis hebat itu?"

"Abila."

Gibran beranjak dari kursi kebesarannya, berpindah tempat menjadi menatap cendela yang langsung menghadap pada taman belakang rumahnya.

"Abila? Siapa dia?"

"Gadis yang tadi menyalimi Papah dan Mamah."

Gibran berbalik memandang anaknya, "Wow. Gadis itu, dia memang santun berbanding dengan temanmu."

"Pah! Jangan bandingin Abila dengan Aruna!" suara Lio mengeras.

Entah kenapa Gibran merasa tertantang mendengar suara teriakan Lio, bukan marah.

"Kenapa? Kamu ga suka?"

"Bukan gitu, Pah. Papah ga tau kenapa Lio lakuin semua itu, Papah ga tau alasan Lio selalu memprioritaskan Aruna."

Gibran manggut-manggut, "Papah memang ga tau, tapi kalo Papah mau dalam waktu tiga puluh menit pun Papah dapat jawabannya."

Lio menghela sukar, ia mengusap wajahnya kasar, sudah tidak mengerti lagi dengan apa yang akan terjadi, dirinya seakan pasrah.

Prioritas [Selesai]Where stories live. Discover now