"Terus kenapa nangis hah? Papah bikin salah lagi?" tanya Arion dengan wajah khawatir.

"Bukannn," Zia mengusap air matanya dengan lengan. "Papah kenapa nggak angka telfon? Tadi Zia udah call berkali-kali kannn, harusnya udah pulang."

"Ohh," Arion diam sejenak. "Hpnya di mobil, tadi papah mampir ke minimarket beliin chimory buat kamu." katanya sambil terkekeh.

Zia memandang papahnya dengan tatapan getir, makin terpukul karena melihat wajah sang papah. Bahkan papah tak mengeluh karena bajunya basah terkena hujan. "Pah, capek ya punya anak kayak Zia?"

"Hah?"

"Zia marah-marah terus, nyalahin papah kalo ada masalah, susah nurut, ngambekan, padahal papah lagi capek," lirih gadis itu.

Arion jadi terkekeh. "Heh apasih enggak..." katanya. Meski sedikit tersentuh dengan kalimat sang putri.

"Zia tau papah suka begadang karena nunggu lampu kamar Zia mati, papah suka dateng jauh-jauh dari kafe buat mastiin Zia udah sampe rumah, papah juga bangun pagi buat beliin makanan kita."

Arion jadi terdiam lama, tak tau putrinya memperhatikan. "Ya nggak papa kan tugas papah," katanya pelan.

"Tapi Zia belum bisa menuhin tugas sebagai anak, kenapa papah harus seberusaha ini?" tanya gadis itu dengan isak panjang.


Arion jadi tersenyum kecil dengan mata berkaca-kaca, menarik sang putri ke dalam pelukan. "Maafin papah ya nggak bisa kayak papah temen-temen kamu, papah juga lagi berusaha kasih yang terbaik buat kamu."

"Aaaa enggak...." Zia memeluk sang papah erat. "Udah cukup, papah lebih dari cukup buat Zia."

"Kamu pasti pengen punya papah kayak papahnya Luna, atau Ale." ucap Arion berusaha menahan tangis.

Zia menggeleng. "Nggak ada papah kayak papah Arion, cuma satu." katanya tak mau didebat.

Di belakang mereka rupanya ada sosok putra yang sedang berdiri dengan tatapan tenang, meski perasaannya ikut terharu dan ingin bergabung bersama mereka seperti saat kecil dulu.

Nathan menunduk, kemudian berbalik hendak pergi. Namun terurungkan saat mendengar panggilan sang papah membuatnya menoleh.

"Itu kenapa berdiri di sana??"

Nathan mengerjap. "Hm?"

"Sini," Papah merentangkan tangannya, meminta Nathan untuk mendekat.

"Enggak, Nathan—"

"Sini papah pengen peluk anak papah," katanya membuat Nathan tertegun.

Nathan melangkah mendekat, menyeringai kecil saat papah memeluknya dengan erat membuat dadanya jadi mencelos sakit. Rindu sekali momen seperti ini.

Ia menunduk melihat wajah mungil di sampingnya yang sedang memeluk papah dari samping dengan hidung merah. Membuat Nathan menahan senyum, menyentil dahi Zia pelan membuat gadis itu berhenti menangis.

"Pahhhh, Nathannya nakal," adu Zia makin menangis. Menjauhkan tangan Nathan dengan wajah sebal.

"Nath ah!"

"Enggak apasih." balas Nathan, sekali lagi menarik helaian rambut Zia dengan jahil.

"Aaaaaa papahhhhh."

"Lebay." cibir Nathan. Baru sadar adik kecilnya yang dulu suka menangis di depan kamar sekarang sudah dewasa, meski kekanak-kanakannya belum hilang.





Membuat Nathan semakin takut, bagaimana jika gadis ini tau soal kenyataan pahit itu.







🌥🌥🌥🌥🌥










Little Promise ( AS 3 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang