Extra Part

578 31 26
                                    

Pov Alaska Khoerul Fahri

Sudah satu bulan kekasihku pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi. Bayangan wajahnya masih selalu kulihat dan impikan. Terkadang, aku sendiri merasa menyesal karena mengajak gadisku pergi malam itu. Seandainya saja aku bisa mengetahui masa depan, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Tuhan, berikan tempat yang indah serta istimewa untuk istriku di alam sana! Aku akan menanti hari itu, hari di mana aku pun ikut terpanggil menemui istriku.

Rumah yang semula selalu ramai dengan ocehan Aina. Kini, menjadi sepi dan sunyi dari segalanya. Semua menjadi berubah drastis. Miss Julie mengajakku pergi ke London hari ini. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan kenangan bersama Aina, tetapi jika aku terus menerus memikirkannya mungkin luka ini malah akan semakin memburuk.

"Tuan, Miss Julie menunggumu di ruang keluarga," ucap Joe si teman yang paling setia.

"Kau pergi saja! Aku akan segera menyusul ke sana," jawabku tanpa menoleh padanya.

Setelah Joe meninggalkan diriku sendiri. Kaki ini terasa bergetar hebat, kutatap album foto diriku bersama Aina. Gadis itu terlihat cantik dengan gaun pengantinya, tak berhenti tangan ini menyentuh wajahnya meskipun hanya dalam bentuk foto. Bila teringat kali pertama bertemu dengan Aina, pasti bibir ini tersenyum sendirinya.

"Aku akan selalu merindukanmu, Gadis Kecil. Jangan khawatir! Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan tempatmu," ujarku sembari memasukkan album foto tersebut pada koper. Aku melangkah keluar menuruni tangga, di bawah sana telah ada Miss Julie, Joe, dan Ayah menanti. Sama sepertiku, tidak ada pelangi untuk hari-hari setelah mentari hilang dari bumi hati.

"Kau nikmati saja masa liburan ini, tenangkan pikiranmu, Nak." Ayah memelukku. Air mata lelaki panutanku itu terjatuh pada pundakku. Tangannya yang sudah tidak sekuat dulu mengelus punggung anaknya yang kehilangan semangat hidup ini.

"Tentu, Ayah. Kau baik-baik di sini, jika ada sesuatu yang membebani dirimu. Kabari saja aku," ucapku dengan perlahan melepaskan pelukan.

"Tenang saja, Nak. Di sini aku tidak sendirian," jawab Ayah.

"Apa kita bisa pergi sekarang, hmn?" tanya Miss Julie yang sudah sangat siap dengan segala sesuatunya. Aku ingin sekali memanggilnya Nenek, tetapi wanita tua itu hanya memberikan tempatnya pada Aina. Argh! Pikiranku kembali menumbuhkan rasa sakit pada hati.

"Pergi, lah." Setelah Ayah mengizinkan. Aku, Miss Julie, dan Joe segera memasuki mobil untuk berangkat ke bandara. Jalan raya yang masih sama, pohon-pohon yang tetap hijau. Kulihat anak-anak SMA berlalu-lalang mengingatkanku pada dirinya. Apalagi saat kutatap seorang gadis yang berambut kepang, dia seperti bayangan Aina Calista Salsabila.

"Tuan merindukannya?" Pertanyaan Joe mengalihkan pandanganku dari gadis-gadis SMA itu.

"Ya, aku masih belum bisa mengikhlaskan kepergiannya. Mungkin ... selamanya akan terus begitu," jawabku.

"Kau memiliki kepribadian seperti ayahmu, Alaska. Sama-sama tidak dapat melupakan cinta pertama," ucap Miss Julie terkekeh.

"Benar sekali, tetapi lebih tepatnya sifat ini turun darimu, Miss." Aku tahu betul betapa cintanya wanita tua itu pada Almarhum Kakek. Dia tersenyum saat mendengar jawabanku. Ya, itu karena dia menyadarinya.

"Aku berpikir, kenapa keluarga kita selalu ditinggal pergi oleh orang yang tersayang? Ibumu meninggalkan ayahmu, kakekmu meninggalkanku, dan sekarang ... Aina pergi seperti ibumu," papar Miss Julie yang membuat kening ini mengerut. Perkataannya benar, apa ini ujian dari Tuhan? Tetapi mengapa seperti ini? Aku tak bisa berkata-kata lagi setelah ucapan Miss Julie membuatku berpikir. Sampai akhirnya, kami tiba di bandara yang selalu ramai dengan para pengunjung.

"Silakan, Tuan!" Joe membukakan pintu mobil untukku. Pengabdiannya sangat mengharukan diriku.

Aku, Joe, juga Miss Julie memilih untuk menunggu jadwal penerbangan di kursi yang disediakan. Ada banyak orang bepergian. Menanti lama membuatku bosan, maka dari itu aku memilih pergi ke toilet sebentar untuk menghindari keramaian ini sebelum berangkat pergi.

"Mau ke mana?" tanya Miss Julie.

"Aku ingin ke toilet sebentar, Miss. Aku akan segera kembali," balasku. Secepat mungkin melangkah mencari toilet. Namun, sialnya aku harus menunggu lama dari antrian. Kenapa hampir setiap pria ingin membuang hajat? Aku menghela napas sejenak, setelah itu giliranku tiba. Sebenarnya aku tidak ingin berbuat apa-apa di dalam sana, tetapi sengaja kubuat lama-lama.

Aku membersihkan rambut dengan air. Kemudian, merapikan jas yang nampak kusut. Berjalan membuka pintu, terlihat ada banyak lelaki lain menunggu. Apa ini? Seseorang menabrakku sehingga jas yang dikenakan menjadi kotor karena tumpahan teh panas yang dia bawa.

"Bisa hati-hati, gak?!" gertakku pada gadis berambut panjang itu.

"Ma ... maaf, Om, saya gak sengaja," jawabnya seketika membuatku membisu.

Apa ini? Kenapa takdir mempermainkan diriku seperti ini? Wajah lugu gadis tersebut mirip seperti saat kutatap Aina pertama kali. Caranya meminta maaf, dan panggilan pertama untukku. Seakan-akan mereka adalah orang yang sama tetapi berbeda raga.

"Saya bukan om-om," ujarku dengan tatapan yang pastinya sinis. Sudah rapi-rapi memakai jas, dan gadis itu menghancurkannya.

"O, tapi muka kamu kayak om-om, sih," balasnya terkekeh sembari pergi begitu saja. Sesaknya kembali menghantui, apa kah itu yang disebut reinkarnasi? Apa Aina memasuki tubuh gadis itu? Ah, sudahlah. Akal sehatku menjadi kacau karenanya.

"Apa yang kau lakukan, Tuan? Sebentar lagi pesawat akan terbang." Joe datang padaku. Mungkin karena aku terlalu lama di tempat ini.

"A ... aku ... aku bertemu dengan seorang gadis, pertemuan kami mirip seperti saat aku bertemu dengan Aina pertama kali," jelasku. Rasanya tak sanggup jika harus menyimpan ini sendirian. Nampak raut wajah Joe kebingungan sama sepertiku.

"Aku percaya pada rencana Tuhan dalam memberikan takdir pada hamba-Nya, mungkin saja gadis itu akan menjadi awal dari kehidupanmu yang baru," papar Joe.

"Mungkin, tapi ... sebanyak apa pun gadis yang mirip Aina. Itu tidak akan pernah membuatku melupakan Aina dan memberikan tempatnya pada orang lain."

Percakapan kami berdua berhenti saat itu juga. Lalu, berjalan menemui Miss Julie. Panggilan keberangkatan pesawat menggema, kutarik koper yang cukup besar itu. Masuk ke tempat yang sudah disediakan. Kini, aku benar-benar akan meninggalkan tanah kelahiran entah sampai kapan?

Dari atas sini aku merasakan diri Aina tengah melambaikan tangannya, memberikan semangat untuk kehidupan baruku. Selamat tinggal kenangan, aku pergi untuk sementara waktu. Semoga, luka ini segera sembuh! Aku mohon, jangan biarkan aku begitu rapuh.

ENDING

Butuh Season Dua?

Selisih Lima [Ending] Where stories live. Discover now