Bab 17

267 27 0
                                    

Dua remaja berseragam SMA menganga. Suara lantang Alaska cukup mengagetkan Reza serta Aina. Mereka berdua saling bertatap mata aneh. Sedangkan, Alaska terlihat memendam suatu amarah. Itu adalah sebuah rasa yang mulai tumbuh, tetapi tak disadarinya. Reza menelan ludah, dengan pelan kembali duduk ke tempatnya. Aina pun melakukan tugasnya kembali. Mereka berdua sudah dalam pengawasan Alaska Khoerul Fahri.

"Haus," gumam Aina sembari memegang tenggorokan.

Sebagai calon suami yang baik, Alaska langsung mengambilkan minuman yang tersedia. Diberikannya pada Aina Calista Salsabila.

"Ini minumannya," ucap Alaska dengan raut wajah amat datar.

Gadis berusia delapan belas tahun tersebut merasa takut oleh sikap Alaska. Apalagi setelah dirinya mengetahui kekejaman Alaska jika dibelenggu amarah yang membara.

Seusai mengerjakan tugas. Tiga orang itu pergi ke kantin untuk beristirahat sekaligus mengganjal perut yang sudah bernyanyi riang. Tatapan para murid wanita tertuju pada Alaska dan Aina. Hampir semua orang merasa curiga dengan hubungan keduanya. Meskipun Aina selalu bersikap dingin dan biasa saja.

"Kalian makan aja duluan, saya mau cari Sista," ujar Aina. Ia sedari pagi tidak melihat sosok sahabat wanitanya itu.

"Ya," jawab singkat Alaska.

Sementara, Reza terlebih dahulu melahap makanan. Ketua OSIS itu kepayang lapar, tak sanggup rasanya untuk menahan terlalu lama. Selanjutnya, Aina pergi dari kantin menuju perpustakaan. Sepanjang koridor, dirinya tak mendapati Sista.

Sampai di perpustakaan yang besar. Ada beberapa murid duduk di tempat masing-masing tengah membaca buku kesayangan. Aina berjalan dari lemari satu ke yang lain, barulah dia menemukan Sista yang sedang sendirian dengan satu buku novel bertema horror. Gadis muda tersebut menghampiri rekannya, duduk tepat di kursi depan Sista. Memerhatikan judul buku yang dibaca sahabatnya.

"Kayaknya seru." Aina meraih buku. Menghancurkan kedamaian Sista yang baru membaca setengahnya.

Ingin berteriak, tetapi tengah berada di perpustakaan yang dijaga ketat dari suara-suara berisik. Sista mengembungkan pipinya, menatap marah Aina yang mulai membaca.

"Aina ...," ujar Sista dengan menggeram. Tangannya sangat gatal ingin mencabik-cabik wajah cantik sahabatnya tersebut. Namun, seperti tak merasa bersalah. Aina hanya menautkan alisnya dan mengabaikan Sista begitu saja.

"Bisa, gak. Jangan ganggu?" bisik Sista sambil menghela napas dalam-dalam.

"Enggak, gue suka aja gitu gangguin orang. Lo, sih, gak bantuin gue sama Reza." Aina menggerutu, gadis itu mempelankan suaranya agar tidak memancing keributan.

"Gue males soal begituan, mending baca cerita horror. Lebih seger sama otak gue yang lola ini," balas Sista. Dua tangannya dilipatkan pada dada.

***

Di kantor sekolah telah banyak guru berkumpul untuk rapat persiapan pelulusan nanti. Alaska ikut andil dalam hal itu, ia menjadi sosok terpenting dalam setiap kegiatan yang dilakukan di sekolah. Salah satu guru muda yang tak kalah cantik dari Angelina Mega, terus menerus memandangi Alaska dengan malu-malu. Ada benih cinta yang tersimpan, mengharapkan sebuah tempat dalam hati Alaska.

"Nanti Bu Sarah bantu Alaska bikin dekorasinya, ya?" ucap Kepala Sekolah. Tentu saja Sarah bahagia, ini adalah kesempatan emas bagi dirinya untuk mendekati Alaska.

"Iya, saya akan selalu siap dan bertanggung jawab sampai akhir acara," balas Sarah.

"Kalau begitu, saya pamit ke kantor dulu. Perihal ini, saya akan memulainya besok." Laki-laki muda usia dua puluh tiga itu pun ke luar dengan sangat gagah.

Siapa pun yang menatapnya, akan terpana. Sebelum masuk mobil, Alaska melihat Aina sejenak dari kejauhan. Nampak gadis muda itu tengah berjalan di koridor sekolah, selepas memandang sedikit lama. Alaska melangsungkan niatnya untuk ke kantor. Memeriksa semuanya supaya tetap aman dan lebih maju lagi.

Di kantor sendiri, Angelina menunggu lama sang Tuan. Sesekali wanita berambut pendek tersebut mempoles bibirnya dengan warna merah merona, menebalkan kembali bedak pada pipinya. Memakai tambahan minyak wangi yang semerbak seperti bunga mawar. Harumnya tercium oleh semua orang. Tidak diragukan, di antara para pegawai kantor. Hanya Angelina yang paling cantik. Sudah banyak para pengusaha yang melamarnya, tetapi ditolak. Angelina sangat mengharapkan sosok Alaska.

"Bau apa ini?" tanya Alaska yang baru sampai di kantornya. Ia mencium aroma menyengat dari baju yang dikenakan Angelina.

"Ini mungkin, minyak wangi yang saya pakai, Tuan." Angelina mencium bajunya untuk memastikan tidak terhirup aroma busuk.

"Lain kali jangan berlebihan! Saya sangat tidak suka dengan baunya," decit Alaska yang tentu saja menyinggung perasaan sekretaris-nya tersebut.

Namun, Alaska mengatakan yang sebenarnya. Ia adalah pria yang tidak menyukai harum minyak wangi berlebihan.

"Baik, Tuan. Saya tidak akan melakukan kesalahan ini," ucap Angelina menunduk. Wajahnya murung, harap-harap mendapat pujian. Namun pahit yang dirasakan.

"Kumpulkan semua berkas, malam ini kita selesaikan semuanya." Alaska memasuki ruangan tanpa menoleh Angelina. Wanita cantik itu menarik napas, diembuskannya secara pelan.

Dalam taxi, gadis muda tersebut turun di depan kantor calon suami. Dibawanya sebuah rantang kecil menggemaskan. Tampilan sederhana dan alaminya mampu menarik perhatian semua orang. Memang, Angelina paling cantik. Namun, wajah mungil Aina lebih menarik. Tidak bosan dipandang lama-lama, seluruh pegawai memuji keelokannya.

"Tuan Alaska ada di ruangannya?" tanya Aina pada salah satu pekerja wanita.

"Ada, apa Nona keponakannya?" Pertanyaan pekerja wanita itu membuat Aina terkekeh.

"I ... iya, Mba. Saya keponakannya paling manis," jawab Aina.

Ia menahan tawa, perut terasa sangat geli. Segera Aina meninggalkan wanita itu dan melanjutkan perjalanannya untuk bertemu dengan Alaska. Setelah sampai di depan pintu, tanpa mengetuk gadis muda tersebut masuk. Terdapat lelaki tampan nan gagah tengah bermain-main dengan tumpukan kertas. Tampang Alaska amat serius, sehingga Aina memilih duduk di sofa yang tersedia.

"Sejak kapan kamu datang?" gertak Alaska ketika menyadari kehadiran Aina.

"Baru tadi, jangan marah! Niat saya ke sini baik, kok," ujar Aina. Gadis itu berdiri, mengarah pada Alaska. Mengulurkan tangannya yang sudah terdapat rantang kecil.

"Terima kasih," ucap Alaska. "Lain kali kabari saya terlebih dahulu, supaya ada persiapan untuk menyambutmu."

"Untuk apa disambut? Sedangkan, kamu selalu sibuk. Saya datang kemari karena bunda, dia memaksa saya. Padahal ... malas sekali rasanya,"  tutur Aina Calista Salsabila. Ia memandang sinis Alaska. Sungguh, gadis itu tidak memiliki rasa apa-apa. Seakan-akan sudah mati rasa.

"Saya hargai itu, maaf jika perilaku saya menyakitkanmu, Aina. Ini lah keadaannya, saya selalu disibukkan dengan segala pekerjaan."

"Termasuk membunuh orang?" Pertanyaan Aina sedikit menyentak hati Alaska. Laki-laki itu baru menyadari, jika gadisnya telah mengetahui segalanya. Dia terdiam mematung bagaikan batu, seakan sulit untuk menerangkan semuanya terhadap Aina.

"Humn, tetapi saya tidak membunuh sembarang orang." Jawaban yang diberikan Alaska terasa menyakitkan bagi Aina. Dalam benaknya berpikir, mana mungkin dia harus menikah dengan seorang pria pembunuh.



Selisih Lima [Ending] Onde as histórias ganham vida. Descobre agora