Bab 03

586 55 3
                                    

Sekitar sepuluh buku dengan ukuran tebal menjadi makan siang Aina hari ini. Napasnya sesak melihat peralatan tulis, begitu mengharukan. Waktu bermainnya harus hilang karena belajar, ini adalah hari yang mengerikan bagi gadis berusia delapan belas tahun tersebut. Matanya tidak bisa berhenti membaca materi jika Alaska belum menghentikannya. Beberapa kali berdeham, berdecit, sudah banyak alasan yang dilontarkan. Namun, Alaska tidak bisa dibodohi oleh seorang Aina.

"Lima hari lagi, kamu harus benar-benar mempelajarinya. Buat sekolah dan kedua orang tuamu bangga, Gadis Kecil," ujar Alaska.

"Gadis Kecil? Saya Aina, dan bukan anak kecil," protes wanita manis jutek itu.

"Kalau begitu, kamu jangan panggil saya dengan sebutan Om Galak. Ingat, umur kita selisih lima. Cuman beda lima tahun, muka saya juga gak kayak om-om," papar Alaska menambah hari yang panas semakin memanas bagi Aina.

"Dasar, terserah kau saja, Tuan Alaska Khoerul Fahri." Aina kembali membaca bukunya. Sedangkan Alaska menahan tawa atas kelakuan anak dari teman bisnisnya tersebut.

Kisaran pukul 15:00 WIB sebuah telepon berdering pada ponsel milik Alaska dari sang sekretaris. Awalnya, tidak digubris sama sekali. Namun, karena terlalu sering mengirimkan panggilan. Lelaki tampan itu pun mengayunkan jarinya untuk menekan tombol hijau. "Hallo, ada urusan penting apa?"

"Pak Presiden akan datang, Tuan." Begitulah jawaban dari sebrang sana pada Alaska Khoerul Fahri. Kemudian, tanpa sepatah kata. Pria berjas hitam tersebut mematikan telepon dengan wajah serius.

"Joe, kamu jaga anak ini. Saya ada urusan penting di kantor." Tanpa pamit si Tuan pergi menyisakan Aina bersama Joe. Selanjutnya, Aina mendongak pada lelaki tinggi di hadapannya tersebut dengan tatapan kesal.

"Joe," ucap Aina pelan. Sementara, lelaki gagah itu hanya menautkan alisnya.

"Saya mau siram bunga dulu, boleh, ya?" tanya Aina, ia berupaya mengelabui Joe dengan ucapannya tersebut.

"Tidak, saya tahu kalau Nona Muda ingin kabur dari sini. Buat saja seribu alasan, saya tidak akan membiarkan Nona pergi," jelas Joe tegas dengan senyum geli.

"Kamu pasti kembaran Om Galak," gerutu Aina memutar bola matanya malas.

***

Seluruh pegawai kantor disibukkan dengan persiapan untuk menyambut kedatangan sang Presiden (Boss Tertinggi). Begitu pula dengan Alaska dia buru-buru menyiapkan segala macam berkas penting yang pastinya akan diperiksa oleh Presiden dari perusahaan Ancala Baswara. Tangan lincah Alaska sangat lihai dalam mengotak-atik laptop.

Sang sekretaris cantik dengan rok selutut, rambut pirang ukuran sepundak, dan bibir merah merona. Wajah tirus, menambah pesonanya. Angelina Mega, berjalan bak seorang model ke arah sang Tuan.

"Permisi, Tuan Alaska," ucap Angelina dengan suara lembutnya.

"Apakah pak Presiden sudah sampai, hmn?" tanya Alaska, matanya sudah tidak menatap pada layar laptop lagi. Melainkan, pada wajah ayu sang sekretaris.

"Sudah, Tuan. Sebentar lagi akan masuk ke ruangan," jawab Angelina.

"Baiklah, kamu duluan saja. Saya akan segera menyusul," ujar Alaska yang dibalas anggukan kecil dari Angelina. Wanita cantik itu meninggalkan ruangan untuk menyambut hangat sang Presiden.

Tok! Tok!

Baru sekejap Angelina pergi. Kini, ada seseorang lagi yang hendak bertemu dengan Alaska. Ia mengusap wajahnya, kemudian mengembuskan napas cukup kasar. Suara ketukan pintu masih terdengar di luar.  Akhirnya, Alaska mempersilakan masuk seseorang tersebut. "Masuk!"

"Bagaimana kabarmu, Tuan Muda," ucap seorang lelaki paruh baya. Namun, wajahnya masih tetap terlihat muda. Tubuhnya kekar, mirip seperti Alaska.

"Pak Presiden?" Alaska terkejut. Rupanya, bukan orang sembarangan yang telah mengetuk pintu ruangannya.

"Ayah, bukan Presiden." Tuan Abbas Al-Hafiz memeluk erat punggung sang anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih. Suatu kebanggaan, memiliki anak yang masih muda tetapi pandai memegang perusahaan ternama.

"Tidak, kita harus bersikap profesional. Jika di luar kantor, saya pasti akan memanggil Anda dengan sebutan Ayah." Alaska menyimpulkan senyumnya.

"Wah! Rupanya, kau memang benar-benar anakku. Sifatmu, mengingatkan saya pada kakekmu dulu. Saya mengucapkan hal yang sama seperti apa yang kau ucapkan sekarang, Tuan," ujar Abbas terkekeh.

"Ada hal penting apa? Sehingga, Pak Presiden sampai turun tangan dan meninggalkan massa liburannya ini," ucap Alaska. Namun, Abbas memilih duduk pada sofa berwarna cokelat  dibandingkan menjawab pertanyaan anaknya.

***

Pada saat jam makan malam, Aina pun masih harus membaca buku-buku berisi materi olimpiade. Dia tidak bisa melawan, apalagi jika melihat tampang Joe yang sangat garang. Aina bersusah payah mencari sejuta alasan, tetapi keyakinan Joe tetap kokoh. Sedangkan, Rohan tengah berada di kantornya. Shinta sibuk dengan bisnis berliannya, dan mempercayakan sang anak bungsu pada Alaska dan Joe.

"Huh, Joe. Tuan kamu kapan datangnya, sih? Ini udah lama banget," gerutu Aina, ia mengembungkan pipinya hingga terlihat imut.

"Saya tidak tahu, Nona."

Tidak lama setelah Aina menggerutu tentang keadaannya yang sangat membosankan. Suara mobil Alaska terdengar masuk ke halaman, itu membuat Aina segera merapikan bukunya dan kembali membaca dengan tenang. Dia tidak mau terkena cipratan pahit dari mulut Alaska.

"Terima kasih sudah menjaganya dengan baik, Joe." Alaska menepuk pundak asistennya tersebut. Sementara, Aina masih menatap runtutan tulisan laksana semut.

"Anak yang rajin, pelajaran hari ini selesai. Apa kedua orang tuamu sudah pulang?" tanya Alaska. Lalu, wanita bermata kebiruan itu menatap sekeliling rumah. Dia menggelengkan kepala, pertanda bila kedua orang tuanya belum pulang.

"Hmn, baiklah. Saya akan temani kamu sampai pak Rohan pulang," jelas Alaska.

"Tidak, saya sudah biasa seperti ini. Jadi, lebih baik Tuan pulang saja!" Aina bangkit dari sekian lamanya duduk.

"Kamu anak gadis, harus ada yang menjaga," ucap Alaska pelan. Tidak ada semburat kemarahan.

"Di sini banyak pelayan wanita dan pria, saya tidak sendirian. Terserah Anda," decit Aina. Ia membiarkan Alaska begitu saja, lebih memilih masuk ke kamarnya untuk bermain sosial media. Selanjutnya, Alaska serta Joe pulang ke rumahnya. Yang mana, sudah ada Abbas menunggu di sana.

***

Rumah megah bak istana dengan harga puluhan miliar ini adalah hasil dari jerih payah Alaska. Ada banyak benda-benda mahal yang disimpan, para pelayan pun tidak hanya satu atau dua. Di ruang tengah dengan nuansa Eropa, lelaki paruh baya duduk pada sofa besar. Ditemani secangkir teh hangat. Kaki kanan ditumpukkan pada kaki kirinya. Setelah itu, Alaska pun ikut bergabung bersama sang ayah.

"Bagaimana dengan Aina? Dia sudah tumbuh dewasa, kah?" tanya Abbas.

"Dia sudah tumbuh dewasa, tetapi sifatnya masih seperti anak-anak saja. Mungkin, karena faktor keluarga yang sering meninggalkannya sendirian dan terlalu dimanjakan," papar Alaska.

"Kau harus jaga dia, Aina mungkin sudah lupa padamu dan ayah, tetapi kita tidak melupakannya. Ayah mohon jadikan dia istrimu." Ucapan terakhir Abbas mengukir ketegangan pada wajah Alaska.







Selisih Lima [Ending] Where stories live. Discover now