Bab 04

533 46 0
                                    

Heningnya malam, disinari lampu-lampu taman. Seorang lelaki berkaos panjang warna biru serta celana hitam, tengah duduk melamun di taman. Rembulan menjadi saksi kebisuan dari pria tersebut. Mata cokelatnya tidak berkedip untuk sekali saja. Embusan angin mengibaskan ujung rambutnya. Ada sesuatu yang mengguncang pikirannya.

'Jadikan dia istrimu'. Ucapan itu terus terngiang-ngiang. Alaska merasa bimbang, dia tidak mencintai Aina, tetapi permintaan ayahnya membuat Alaska dilema. Ya ... Alaska dan Aina sebelumnya pernah bertemu di massa kecil. Kala itu usia Aina baru lima tahun, dia tersesat di jalanan. Kemudian, Alaska yang sudah berumur sepuluh tahun tak sengaja melihat Aina sedang menangis.

Ayah serta ibu Alaska membawa Aina pulang, kala itu Aina masih sangat kecil. Sehingga tidak tahu di mana rumahnya, dan sulit mengucapkan kata-kata. Setelah satu minggu dirawat oleh keluarga Alaska, Abbas menemukan orang tua kandung Aina. Pada saat Aina hendak pergi, Alaska merasakan sedih teramat berat. Keduanya sering bermain bersama, tidur dan makan bersama. Aina sudah seperti adik bagi Alaska.

Kemudian, setelah kejadian itu. Rohan membuat perjanjian dengan Abbas untuk menjadi teman bisnis selamanya. Sekarang, Aina sudah tumbuh dewasa. Ia tidak tahu apa-apa tentang Alaska dalam kehidupannya pada massa kecil.

"Bagaimana ini? Aina sudah saya anggap seperti adik sendiri, tetapi ayah menginginkan saya menjadikan gadis itu sebagai istri? Lagi pula, Aina juga tidak menyukai saya."

"Hei, Tuan. Masih kebingungan perihal permintaan sang ayah, hmn?" tanya Joe sembari terkekeh.

"Ya ... seperti itu, lah, keadaan saya sekarang. Ini suatu dilema yang memberatkan pikiran saya dibandingkan pelajaran matematika serta fisika," jelas Alaska.

"Saya yakin, Tuan. Nona muda itu adalah gadis yang baik, hanya saja dia perlu dibimbing secara halus. Hatinya lembut, dia anak yang cerdas. Berhenti mengharapkan Rose, Tuan," papar Joe.

"Rose? Dasar, dia adalah masa lalu saya. Jangan ingatkan lagi!"

Dua lelaki nan tampan serta gagah itu menatap langit hitam bersama. Mereka bagaikan sahabat, tidak terlihat seperti Tuan dan anak buah. Keakraban mereka selalu membuat keliru orang awam, dengan menganggap keduanya adalah adik dan kakak. Joe seorang anak yatim piatu, ayahnya adalah pekerja setia Tuan Abbas. Ibu Joe sendiri bagai ibu kedua Alaska, setelah Nona Erlin meninggal dunia.

"Menurutmu, apa Aina sudah mempunyai kekasih? Bagaimana jika dia sedang mencintai orang lain, dan saya memintanya untuk menjadi istri. Itu akan menghancurkan hatinya," ujar Alaska.

"Tidak, setahu saya. Aina tidak mempunyai kekasih, awalnya punya. Namun, sudah putus, itu yang membuat Aina nekat meminum kopi tiga gelas." Penjelasan Joe membuat raut wajah garang Alaska terlukis.

"What?! Hanya karena diputuskan, Aina menjadi gila seperti itu? Siapa lelaki tersebut, dan ... bagaimana kamu bisa tahu?"

"Namanya Boby, satu sekolah dengan Aina. Saya tidak sengaja bertanya-tanya tentang Aina pada bu Shinta," jawab Joe terkekeh.

***

"Bibi! Tali rambut saya di mana?!" teriak Aina pada pagi hari. Tangannya mengobrak-abrik seisi kamar hanya untuk mencari tali rambut yang tak kunjung ditemukan. Satu pelayan masuk dengan tertunduk.

"Ada apa, Non?" tanya pelayan tersebut.

"Humn, di mana ikat rambut saya yang warna hitam itu? Itu mahal harganya, lima belas ribu!" seru Aina. Seorang pelayan tersebut hampir saja tertawa saat Aina menyebutkan harganya, seorang anak dari kalangan keluarga terkaya mempunyai ikat rambut yang terbilang murah.

"Kamu ngetawain saya, ya?" gertak Aina. Pelayan itu pun berdiri tegak.

"E ... enggak, Non. Oh, ya, ikat rambutnya ada di tangan Non Aina."

Wanita yang sudah berseragam SMA itu melihat tangannya, dan terkejut. Rupanya, ikat rambut yang dicari-cari sedari tadi terikat pada lengannya sendiri. Kamar pun sia-sia, berantakan begitu saja. Menambah beban pekerjaan para pelayan.

"Oh, ya udah. Kamu balik lagi sana!" titah Aina. Ia pun merapikan rambutnya, menyiapkan tas. Kemudian berpamitan pada kedua orang tua untuk berangkat sekolah.

Di depan gerbang, saat gadis berusia delapan belas tahun itu hendak masuk mobil. Tiba-tiba, ada satu mobil masuk ke halaman rumahnya. Ya ... itu adalah Alaska, yang akan bertemu dengan Rohan Sukri sepagi ini. "Pagi-pagi udah bertamu," gumam Aina Calista Salsabila.

Tanpa sapaan, Alaska langsung menemui rekan bisnisnya. Sedangkan, Aina segera berangkat ke sekolah dengan mobil pribadi hadiah dari Rohan Sukri.

"Pak, agak cepetan, ya. Saya buru-buru soalnya," ucap Aina pada sopir.

***

"Bagaimana kabar si Alaska itu?" tanya seorang pria misterius. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya ada asap rokok yang nampak.

"Dia semakin lincah dalam mengembangkan bisnisnya. Bisa-bisa dia akan merobohkan perusahaan Bapak. Apalagi, mulut manis Alaska mampu menghipnotis para pembisnis ternama untuk bergabung dengan perusahaannya," jelas pria kurus tinggi. Tampangnya seperti preman jalanan.

"Jangan sampai terjadi! Kita biarkan saja dulu dia bersenang-senang, kita akan menyusun rencana selanjutnya. Mencari jalan keluar untuk menjatuhkannya. Kalau perlu, kita main darah," jelas pria misterius itu dengan suara serak dan berat.

"Siap!"

***

Tumpukan buku kembali diterima Aina lagi. Di kala yang lain beristirahat, gadis itu harus bermain bersama buku-buku yang membuatnya mual. Sista menganga, ia merasakan mual juga. Matanya tajam melihat tumpukan buku yang tebal-tebal. Aina mengembuskan napas halus, wajahnya masam.

"Sabar, Aina. Ini demi reputasi dan martabat sekolah, gue bantu doa," ucap Sista. Tangannya menepuk pelan pundak Aina.

"Gue selalu sabar," balas Aina diiringi senyum paksa.

"Tumben rajin, biasanya bikin masalah doang," celetuk Boby yang datang ke kelas.

"Maksud lo? Gue emang rajin, cerdas, selalu juara kelas. Gak kayak lo, egois, playboy lagi," gerutu Aina. Ia teramat kesal pada mantannya.

"Dih, emosi," ejek Boby. Ia pun meninggalkan Aina serta Sista.

Di koridor sekolah. Seluruh siswa siswi memerhatikan langkah kaki seorang pria dengan jas biru, rambut hitam pekat. Netra cokelat, wajah garang tetapi memikat. Dua tangan yang dimasukkan pada saku celana menaburkan pesona. Kaum hawa yang melihatnya menjadi berbunga-bunga.

"Hai, Nona Muda!" sapa Alaska.

"Apa?" tanya Aina ketus. Sementara, Alaska hanya terkekeh.

"Masih ngambek, hmn?" Alaska duduk di depan Aina. Lalu, menatapnya lekat.

"Jangan tatap saya seperti itu!"

"Kenapa? Takut?" Alaska malah semakin mendekatkan dirinya pada Aina. Hingga gadis itu susah payah menelan ludah.

"Ihh!" seru Aina. Tangannya mendorong tubuh Alaska untuk menjauh darinya.

"Saya tidak sejahat itu, Gadis Kecil. Pikiranmu saja yang terlalu negatif," ungkap Alaska sembari merapikan jas yang kusut.

Gadis muda itu tidak menjawab apa pun. Dia memilih fokus membaca buku dibandingkan berbicara dengan pria di hadapannya. Sista yang terhipnotis oleh ketampanan Alaska tidak bersuara.

Selisih Lima [Ending] Where stories live. Discover now