Bab 34

314 28 0
                                    

Air keran telah dimatikan. Semua peralatan masak serta makan sudah dibersihkan meskipun hati tak ingin melakukan. Aina Calista Salsabila tersenyum puas karena berhasil membuat laki-laki itu mencuci semuanya. Lalu, Alaska mengeringkan tangannya yang basah. Menghadap pada sosok istrinya yang melipat kedua tangan di dada. Pria bermata kecokelatan tersebut menghela napas sejenak sebab lelah.

"Kamu harus membayar semua ini," ujar Alaska membuat gadis kecilnya mengernyit.

"Kamu meminta bayaran? Itu hanya mencuci piring saja, kenapa harus dibayar? Lalu, dengan apa aku membayarnya?" Aina mengoceh.

Ia merasa tak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Kemudian, Alaska mendekati Aina sampai keduanya tidak memiliki jarak. Tangan kekar laki-laki tersebut menyentuh pelan pipi halus milik sang istri. Selanjutnya, menempatkan kepala Aina pada dada bidangnya.

"Tidur bersamaku malam ini," gumam Alaska sembari tersenyum genit.

Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut, dia bersusah payah menelan ludahnya. Tanpa sebuah ucapan lagi Alaska mengangkat tubuh Aina menatap lekat-lekat netra indah wanita tersebut hingga Aina tidak melawannya sama sekali. "Untuk yang pertama kali,"  ujar Alaska sembari berjalan membawa tubuh istrinya ke kamar. Aina didudukkan pada ranjang, gadis tersebut melihat suaminya berjalan untuk menutup pintu dan menguncinya. Setelah itu, Alaska mematikan seluruh lampu.

***

Sehangat mentari, selembut sutra. Dua pasangan suami istri itu masih tertidur ketika semua orang terbangun. Aina dalam dekapan Alaska yang memeluknya erat tanpa ingin melepaskan, gadis itu berusaha untuk turun dari kasur. Namun, Alaska menarik lengannya hingga Aina tidak bisa pergi ke mana-mana. "Tidurlah bersamaku beberapa menit lagi," gumam Alaska. Sedangkan, Aina hanya terdiam dengan wajah penuh cemas.

Sekian lama tertidur, Alaska terbangun juga karena suara pedagang roti yang begitu kencang bersuara. Kesempatan itu langsung Aina gunakan untuk segera membersihkan diri dari tubuh yang terasa gerah. Alaska mengusap kedua matanya, menatap layar handphone yang sudah terdapat banyak panggilan tidak terjawab. Kemudian, laki-laki pemilik manik cokelat itu menyunggingkan senyuman kala mengingat dirinya sudah bisa menikmati tidur bersama Aina Calista Salsabila.

"Om, mandi sana!" titah Aina yang sudah selesai mandi. Dia mengeringkan rambutnya yang masih basah sembari menatap cermin besar.

"Baik, kamu jangan lupa siapkan semua pakaianku dan sarapan juga," jelas Alaska yang beranjak dari kasur mengambil handuk. Gadis muda itu memirngkan bibirnya.

"Apa aku harus mengerjakan itu juga?" tanya Aina dengan nada kesal.

"Seharusnya kamu sudah tahu tentang itu, Gadis Kecil. Aku sudah memberi hadiah buku itu, bukan?" Alaska terkekeh dengan terus berjalan ke arah kamar mandi. Penuh keterpaksaan wanita manik kebiruan tersebut menyiapkan segalanya untuk sang suami dengan mulut yang terus komat-kamit mengucapkan segala kekesalannya. Sampai pada saat Aina membuat kopi hitam ia tak menyadari telah memasukkan garam sebanyak tiga sendok makan.

"Huh, bisanya nyuruh-nyuruh," gerutu Aina dengan pandangan yang entah ke mana.

Selesai membersihkan diri. Laki-laki bertubuh atletis tersebut memakai seluruh pakaian kantor. Kemudian, tangannya terhenti kala hendak mengikatkan dasi. Dirinya turun dari kamar untuk menemui sang istri yang sudah menyiapkan sarapan di pagi hari. Aina mengerut dengan kedatangan Alaska, bibirnya maju beberapa senti tetapi masih terlihat cantik dan manis.

"Tolong pakaikan dasi ini!" pinta Alaska sembari mendekati Aina.

"Kamu juga bisa memakainya sendiri, kan?" decit gadis berusia sembilan belas tahun tersebut.

"Entah, lah, tiba-tiba saja tanganku terasa kaku untuk melakukannya." Alaska memasang raut wajah memelas. Aina yang melihatnya sangat kesal, ia menghela napas cukup dalam. Lalu, menarik dasi dan mengikatnya dengan baik dan benar. Alaska merasa puas karena gadisnya sudah dalam kendali, ia pun duduk di kursi untuk mengisi perut sebelum bekerja.

"Terima kasih, Nona!" Alaska menggoda Aina yang tetap cemberut. Pria itu melihat kopi hitam yang tersaji, sebagai penikmat kopi terberat. Alaska segera meminumnya sampai mulut itu kembali memuntahkan kopi pada keramik. Nampak wajah Alaska masam, tangannya mengambil tisu untuk membersihkan mulutnya.

"Kau memasukkan garam, hah?" tanya Alaska pada Aina yang dia pun tidak tahu apa-apa.

"Sumpah! Itu tidak sengaja," jawab Aina sembari mengangkat dua jari. Tiba-tiba tiga ekor kecoa datang secara bersamaan menuju kursi tempat Alaska.

"KECOA! ITU KECOA!" jerit Alaska sembari naik ke atas kursi.

Wajahnya nampak ketakutan ketika melihat hewan kecil itu. Aina tak menyangka jika suaminya takut pada kecoa. Tentu membuat gadis muda tersebut tertawa terbahak-bahak.

"Haa! Om Galak takut kecoa!" ejek Aina yang menahan geli pada perut.

"Usir kecoanya!" seru Alaska.

Lalu, Aina menyimpulkan senyuman. Sebuah kejailan tercipta pada pikirannya tersebut. Aina mengambil tisu untuk memegang hewan menggelikan, setelah itu memperlihatkan secara langsung di depan mata Alaska.

"Istri durhaka kamu!" teriak Alaska sambil berlari dari kejaran Aina.

"Om kecoanya manis, imut banget malahan!" seru Aina yang terus mengejar suaminya. Sampai di depan pintu Alaska terhenti karena Joe sudah berdiri menatapnya.

"Om!" Aina hampir mendekat. Pria pemilik manik cokelat tersebut pergi ke belakang tubuh tegap asisten-nya.

"Joe," ucap Aina. "Jangan sembunyi, Om!" Aina terkekeh melihat ketakutan pada suaminya tersebut. Kemudian, Joe juga ikut terkekeh saat menyadari segalanya karena melihat kecoa yang dibawa oleh Aina.

"Reputasimu hancur, Tuan," ujar Joe sembari sedikit tertawa. Aina yang sudah merasa puas memilih untuk kembali ke dapur dan membersihkan segalanya.

"Sungguh, aku takut pada hewan seperti itu." Alaska mengusap wajahnya secara kasar dan menghela napas.

"Mari ke kantor, Tuan. Hari ini ada meeting bersama Tuan Erlan," jelas Joe. Alaska mengangguk, ia masuk sebentar untuk mengambil laptop. Selanjutnya, dua orang laki-laki itu pergi ke kantor.

***

Masih tempat yang sama. Gelap dan terlihat misterius dengan segala teka-teki tentang dirinya. Tangan yang sedikit keriput itu menggenggam erat sebuah ponsel. Lalu, dibantingkannya pada lantai secara keras hingga beberapa anak buahnya terkejut. Mata yang begitu tajam saat berpantulan dengan sinar mentari amat menyeramkan. Bibir kehitamannya menampakkan ada sebuah gejolak emosi dalam diri.

"Aku tidak akan membiarkan hidupnya bahagia, Rose sudah tiada. Namun, itu tidak menghentikan diriku untuk menghancurkan hidup Alaska." Kim menusukkan pisau kecil pada foto pria tampan bermanik cokelat.

"Saya selalu berada di pihakmu, Tuan Kim," ucap Reyhan yang berdiri tegap bersama rekan kerja yang lain.

"Pastikan kau membuat Alaska menjadi lemah," ujar Kim dengan menggeram.

"Sesuai perintah." Reyhan undur diri dari tempat diikuti lainnya. Sementara, Kim masih memainkan pisaunya untuk menghancurkan foto Alaska. Sebuah keserakahan akan kekayaan membuat pria paruh baya itu lupa segalanya.

Selisih Lima [Ending] Where stories live. Discover now