Bab 09

381 34 0
                                    

Para pelayan tergesa-gesa untuk memasak dan membersihkan seluruh ruangan. Ada banyak yang perlu disiapkan untuk menyambut kedatangan tamu spesial. Aina Calista Salsabila, ia kebingungan melihat aktivitas para pelayannya. Gadis itu masih dalam keadaan biasa saja, belum ada riasan yang mempoles wajah. Shinta yang baru saja selesai memeriksa dapur segera menemui Aina.

"Bun, apa semua ini?" tanya Aina terheran.

"Humn, akan ada tamu istimewa, Sayang. Persiapkan diri kamu! Malam ini mereka datang." Shinta mengambil posisi duduk di samping Aina, tangannya mengambil remot untuk menyalakan televisi. Sedangkan, anak gadis tersebut hanya bisa mengikuti perintah ibunya dengan seribu pertanyaan dalam benaknya.

Di dalam kamar yang megah bak hotel bintang lima. Aina duduk di kursi tempat rias, netranya menatap cermin. Memerhatikan wajahnya lekat-lekat. Perlahan tangan mungil itu menyisir rambut hitamnya, lalu datang satu pelayan membawa sebuah gaun yang amat indah.

"Buat apa gaun itu?" Aina menghentikan tangannya sejenak.

"Ini untuk Nona pakai, saya diperintahkan oleh Nyonya Shinta untuk memberikannya pada Non Aina." Pelayan wanita tersebut menundukkan kepalanya.

"Bawa lagi sana! Bilangin, saya sudah punya gaun yang cocok buat malam ini," jelas Aina. Pelayan itu mengangguk, lalu kembali membawa gaun indah tersebut.

***

Di sisi lain, lelaki bermata cokelat tengah merapikan jas yang dikenakan. Memasang arloji hitam super mahal. Mengoles minyak pada rambut hitamnya. Kemudian, duduk pada ranjang. Menatap layar handphone. Dari belakang, Joe sudah sangat siap untuk menemani sang Tuan. Dia tersenyum melihat Alaska yang nampaknya tidak semangat.

"Sudah siap, hmn?" tanya Joe. Lalu, Alaska memalingkan wajahnya dari layar ponsel.

"Saya gugup, bagaimana jika Aina marah?" Alaska mengusap kasar wajahnya.

"Itu masalah lain, yang penting kita datang ke sana sesuai permintaan ayah Tuan."

"Ya ... tugas saya saat ini hanyalah mematuhi permintaan ayah." Alaska berdiri. Ia menatap dirinya pada cermin besar. Selanjutnya, keluar dari kamar dan menemui Abbas yang menunggunya sedari tadi.

"Tersenyumlah, Alaska." Tuan Abbas menepuk pundak pria muda yang baru datang itu. Kemudian, dia terlebih dahulu masuk ke mobil yang sudah disiapkan.

Sepanjang perjalanan hanya ada kemurungan. Netra kecokelatan tersebut menatap jendela mobil, menonton kendaraan lain yang berlalu-lalang. Jalanannya dimacetkan, waktu terus berjalan. Keluarga Rohan siap untuk menyambut kedatangan tamu, segalanya sudah tersedia. Aina masih dalam kamarnya. Ia merasakan sesuatu yang tidak enak. Sedangkan sang Bunda tak memberi tahu perihal kedatangan tamu.

"Sebenarnya ada apa, sih? Kenapa gue mesti rapi-rapi juga? Biasanya, kalau ada tamu yang dateng. Palingan yang nyambut cuman bunda sama ayah aja." Aina menggerutu pada dirinya sendiri.

Pada jam 19:00 WIB. Sampailah Abbas dan yang lain ke rumah Rohan. Disambut penuh kehangatan, ada para pelayan berbaris. Membungkukan diri sebagai tanda penghormatan. Rumah yang luas itu nampak lebih megah dari sebelumnya. Shinta serta Rohan telah lama menunggu di ruang makan.

"Akhirnya, tamu spesial kita sudah datang. Silakan duduk!" titah Rohan pada ketiga tamu pria.

"Kalian bicara saja dulu, biar saya panggilkan Aina." Shinta meninggalkan tamu-tamunya untuk menemui gadis muda tersebut yang berada di dalam kamar.

Langkah kaki Shinta terdengar oleh Aina. Lalu, gadis berusia delapan belas tahun itu bangkit dari duduknya dan menghadap ke arah Shinta dengan senyuman manis. "Apa tamunya sudah datang, Bunda?" tanya Aina. Lalu, Shinta menjawab, "Sudah, Sayang. Mari kita temui mereka!" Aina serta Shinta berjalan ke ruang makan.

Abbas yang melihat Aina tersenyum tipis. Alaska mengernyit, ia kenal gaun yang dikenakan Aina. Ya ... gaun itu adalah pemberian dari Alaska sendiri. Joe berdeham kala melihat tatapan tajam Alaska terhadap Aina. Gadis bermata biru tersebut duduk di samping sang Bunda, tepat di hadapan Alaska.

"Kau sekarang sudah sangat dewasa Aina, saya berpikir jika kau masih gadis lima tahun," ucap Abbas.

"Hmn." Aina hanya mengangguk, netranya tertuju pada pria bermata cokelat tersebut.

"Baiklah, mari kita makan!" ajak Shinta. Lalu, tiga pelayan wanita menghidangkannya pada setiap piring.

Setelah beberapa menit makan. Abbas mengangkat alis kirinya, memberi isyarat pada Rohan. Alaska mulai merasa panik. Sedangkan Aina, dia bersikap biasa. Rohan menggenggam tangan Shinta, kemudian mengangguk pelan.

"Aina ...," ujar Rohan.

"Ya, ada apa, Ayah?" tanya Aina menyunggingkan senyum.

"Sebenarnya ... pertemuan ini adalah perihalmu," ucap Rohan membuat Aina mengerutkan keningnya. "Ayah dengan Tuan Abbas sekaligus ibumu sudah sepakat untuk menjodohkan kamu bersama Alaska."

Wanita berkejora biru itu merasakan guncangan besar dalam hatinya. Ada luka yang menggores benaknya. Terasa bagaikan sebuah mimpi, dia tidak tahu harus mengatakan apa? Semua terlihat semu suram dan menyakitkan. "Aina gak mau, Ayah!" seru gadis berusia delapan belas tahun itu. Setetes embun jatuh mendarat ke pipi mulusnya.

"Aina, kamu sabar dulu," ujar Shinta. Ia menenangkan hati sang Anak dengan mengelus punggungnya.

"Aina masih pengen sekolah, kuliah, ngejar cita-cita Aina. Lagi pula, Aina gak punya rasa sama dia!" Gadis muda ini menatap tajam Alaska. Hatinya terbakar api yang membara.

"Alaska pemuda yang baik, dia bisa menjagamu, Nak. Ayah tahu siapa lelaki yang pantas bersamamu," jawab Rohan.

"Pokoknya ... Aina gak mau dijodoh-jodohin. Tau gini Aina lebih baik pergi dari rumah," decit gadis bernetra biru tersebut.

"Kamu jangan ngomong gitu, Sayang! Bunda gak mau kamu pergi!" Shinta mulai menangis karena perkataan anak bungsunya tersebut. Lalu, Aina kembali ke kamar meninggalkan semuanya.

"Ini gak adil! Kakak-kakak gue aja gak ada yang dijodoh-jodohin, kenapa gue harus, sih? Apa gue gak berhak pilih pasangan yang gue cinta? Ayah jahat sama Aina." Gadis muda itu menelungkupkan dirinya di sisi ranjang. Rambut panjangnya berantakan.

Tuan Abbas menghela napas, ia melirik ke arah pemuda yang duduk di dekatnya. Semua hanya terdiam akibat kemarahan Aina. Shinta merenung, ia tahu perasaan gadisnya tersebut. Sedangkan Alaska, ia hanya dapat merasakan sesak. Bukan karena ditolak, tetapi dia tak ingin Aina dalam keterpurukan karena beban yang diberikan oleh orang tua.

"Kami pamit pulang! Saya tahu, butuh waktu bagi Aina untuk menerimanya," kata Abbas sembari mengulurkan tangan pada sahabat karibnya itu.

"Saya akan berusaha membujuk Aina, maaf jika kurang berkenan dengan semua yang terjadi di sini." Rohan membalas uluran tangan Abbas.

"Tidak masalah, itu hal yang biasa terjadi. Dulu ... ibu Alaska pun bereaksi seperti itu ketika tahu tentang perjodohannya dengan saya. Namun, dia berusaha menerimanya, dan jadilah sosok yang paling saya cintai." Abbas mengenang mendiang istrinya, kejadian ini sama persis yang pernah dialaminya.



Selisih Lima [Ending] Donde viven las historias. Descúbrelo ahora