Bab 13

324 30 1
                                    

Alaska merasakan kelembutan dalam hati sosok gadis muda tersebut. Lalu, keduanya duduk pada sofa yang sudah tersedia. Aina Calista Salsabila, ia ingin mengucapkan sesuatu. Sorot matanya terlihat kebingungan mesti mengawali sebuah pembicaraan. Kemudian, dia pun menghela napas sejenak untuk menenangkan pikiran. Matanya mengarah pada manik kecoklatan lelaki yang di sampingnya.

"Kenapa kamu terima persyaratan itu?" tanya Aina dengan nada kesal.

"Hmn, apa masalahnya? Saya melakukan apa yang perlu saya lakukan." Alaska memperbaiki posisi duduk. Tangannya mengendorkan dasi yang terasa kencang.

"Sudah lah, saya mau pulang!" Aina mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Pandangan sinis gadis tersebut tetap lekat terhadap Alaska. Tidak ada larangan, Alaska membiarkan calon istrinya itu pulang. Setelah Aina pergi, baru lah lelaki gagah itu mulai mendamaikan hati. Menggerakan otot-ototnya yang kaku. Alaska melentangkan tubuhnya di atas sofa. Dua kelopak matanya dipejamkan secara perlahan.

***

Amarah yang muncul dalam benak masih tersirat. Suatu keputusan yang amat mengecewakan. Harap-harap rencananya berhasil, tetapi nyatanya nihil. Satu minuman terhidang di atas meja dengan didampingi kentang goreng yang telah dipotong-potong. Jarinya menari pada layar benda pipih. Membuka sebuah aplikasi hijau, hendak menekan tombol pencarian. Namun, terhenti karena kekesalan.

"Sayang, sebentar lagi kamu lulus sekolah. Setelah itu, menikah dengan Alaska. Jadi ... di saat pernikahan nanti, kamu mau tema apa?" tanya Shinta pada Aina yang sedang minum jus jeruk.

"Terserah Bunda sama ayah," balas Aina dengan senyum yang terpaksa.

"Oke, bunda juga sudah pesan baju pengantinnya. Kamu tinggal duduk manis aja," ujar Shinta. Ia memegang pundak anak gadisnya tersebut.

"Aina ke kamar dulu, Bun." Gadis itu melangkah ke kamarnya. Sedangkan, Shinta membuka ponsel, melihat foto-foto pengantin yang sangat terlihat cantik. Dia berharap pernikahan Aina akan nampak mewah, mengundang banyak orang.

Dalam kamar, Aina merebahkan tubuh. Memikirkan tentang massa yang akan datang, pelulusan tinggal beberapa bulan lagi. Di saat itu terjadi, dirinya harus siap menjadi seorang istri. Mengikuti setiap perintah suami, akan lebih dijaga lagi. Sungguh, semua itu bukanlah yang diharapkan. Susunan rencana indah dalam angan telah hirap bersama harap. Takdir sudah mengubah segalanya, sedang diri tak bisa menentangnya.

"Harus banget, ya, nikah muda. Kenapa orang tua gue mesti buru-buru banget, sih, pengen punya mantu. Padahal, kakak-kakak gue kan udah punya istri." Aina menggerutu sendiri. Ditutupnya wajah dengan bantal, meratapi perihal kehidupannya yang dalam kendali takdir.

Esok paginya. Di kala mentari tersenyum pada dunia, angin menyapa insan. Bunga mengembangkan kelopaknya, daun gugur dari rantingnya. Embun masih tersisa, gadis berusia delapan belas tahun tersebut mengepang satu rambut panjangnya. Melingkarkan simpulan di depan cermin besar. Nampak cantik serta menawan dengan penampilan baru, dibawanya ransel yang berisi peralatan tulis.

"Pak, kita berangkat!" seru Aina pada sopir pribadinya itu.

"Siap, Non." Sang Sopir menyalakan mobil. Aina sudah duduk sedari tadi di dalamnya. Mobil pun berangkat melewati jalan raya, membawa bidadari untuk mencari pendidikannya. Tidak perlu waktu lama, sampailah di sekolah. Aina disambut oleh sahabatnya dengan pelukan erat juga senyuman hangat.

"Aina, sumpah. Lu cantik banget kalau dikepang kayak gini," puji Sista. Tangannya menyentuh rambut indah Aina.

"Makasih, kebetulan lagi pengen suasana baru. Jadi, gue minta pelayan buat kepangin rambut panjang gue ini," papar Aina sembari menaik-turunkan kedua alis.

"Gue juga pengen dikepang, tapi kayaknya gak cocok, deh," ujar Sista terkekeh.

Dua gadis SMA tersebut masuk ke kelas, duduk di tempat biasa. Aina membuka ponsel, begitu juga yang dilakukan Sista. Hanya ada beberapa murid yang sudah masuk kelas. Jam pelajaran masih lama untuk dimulai, semua murid mengisi waktu luang dengan kegiatan masing-masing. Di lain tempat, Alaska tengah dalam perjalanan menuju kantornya. Ia tidak pergi ke sekolah hari ini karena tak ada jadwal.

Netra elang lelaki tersebut tertuju pada sebuah foto salah satu pegawai yang dikirimkan oleh Joe. Nampak mencurigakan, tampang yang sangat perlu diwaspadakan. Selain foto, Joe mengirim bukti tentang kehidupan sosok pegawai lelaki itu pada Alaska.

"Pak, tolong lebih dipercepat!" titah Alaska pada sopir.

Sesampainya di kantor yang menjulang tinggi. Alaska Khoerul Fahri merapikan jas-nya sejenak, ia turun dari mobil dengan sambutan sang sekretaris cantik Angelina Mega. Tanpa sapaan, Alaska terus maju ke depan diikuti oleh Angelina. Seluruh pegawai pun melemparkan senyuman pada Alaska, ada beberapa orang yang menatap jijik Angelina. Bahkan, sebagian pegawai kantor menyangka jika Alaska mempunyai hubungan khusus dengan sekretaris cantik itu.

"Angelina, tolong kamu ambilkan semua barang-barang milik Sutarjo. Saya akan memeriksanya," ujar Alaska.

"Baik, Tuan." Angelina berbalik badan, melaksanakan perintah sang Majikan. Wanita itu mendekati tempat pegawai bernama Sutarjo, dia mengambil beberapa berkas. Semua yang tersimpan di atas meja serta laci. Kemudian, menyerahkannya pada Alaska.

"Tuan Alaska, saya sudah membawa semuanya." Angelina menaruh barang-barang yang dibawa ke atas meja. Lumayan banyak, ada satu benda yang menarik perhatian Alaska. Yaitu sebuah ponsel Sutarjo yang tak sengaja tertinggal.

"Terima kasih, kamu boleh ke luar," ucap Alaska.

Setelah Angelina tidak ada bersamanya, dia mengambil benda pipih berukuran kecil. Dihidupkannya ponsel tersebut. Namun, tak ada sesuatu yang mencurigakan. Sekilas, dia melihat satu pesan SMS. Terdapat kontak dengan nama Big Boss.  Alaska tak berpikir panjang, ia membaca isi pesan. Yang mana, sedikit rahasia perusahaan telah dibocorkan Sutarjo terhadap orang yang tak dikenal tersebut.

Lengan kekar Alaska terlipat, raut wajahnya penuh amarah. Dia mendengkus, lalu, menelepon Joe untuk segera datang menemuinya. Tanpa perlu menunggu terlalu lama, Joe sampai dengan begitu cepat.

"Apakah ada tugas terbaru lagi?" tanya Joe.

"Cari Sutarjo! Bawa dia dalam keadaan hidup atau pun mati. Setelah kau berhasil membawanya, kabari saya segera," tutur Alaska.

"Tentu, Tuan," ujar Joe. Ia keluar dan langsung menuju parkiran, tangannya mengambil ponsel dalam saku celana.

"Kita punya mangsa baru, siapkan diri kalian!" Joe menyeringai. Ia masuk ke mobil, dan melajukkannya dengan kecepatan penuh. Di sebuah jalan dekat pepohonan karet dan sepi pemukiman. Joe menghentikan mobil, datang dua motor dengan empat orang pria. Mereka saling bertatap muka.

"Sasaran kita kali ini adalah Sutarjo, saya akan mencarinya di alamat rumah orang tersebut. Sedangkan kalian, Jeck dan Klif pergi ke warung kopi pak Hasan. Itu adalah tempat Sutarjo biasa bermain, Kris serta Roy. Kalian pergi ke warnet ujung jalan ini.  Kita harus berhasil menangkap orang itu dengan cepat, jika sudah tertangkap. Bawa ke markas dan hubungi saya, terserah dalam keadaan hidup atau mati. Namun, lebih baik dalam keadaan hidup. Agar Tuan Besar merasa puas," jelas Joe yang dibalas anggukan oleh empat orang di hadapannya. Joe memperlihatkan foto Sutarjo supaya anak buahnya tidak kesulitan saat mencari.







Selisih Lima [Ending] On viuen les histories. Descobreix ara