Bab 15

314 27 2
                                    

"Tuan Kim? Siapa dia? Katakan yang sebenarnya!" seru Alaska. Tangannya menarik kerah baju yang dikenakan Sutarjo.

"Sa ... saya, tidak tahu nama aslinya. Dia adalah pembisnis narkoba, dan be ... berniat untuk mengambil alih perusahaan Tuan Alaska." Sutarjo mengatakan semua yang diketahuinya tentang Tuan Kim tersebut. Dia berkeringat dingin, tetapi kemarahan masih dirasakan oleh Alaska karena Sutarjo sudah membocorkan rahasia perusahaan meski tidak semuanya.

***
Dalam taxi, Aina tidak berhenti memikirkan tentang keselamatan Alaska. Apalagi setelah mendengar ucapan Sista. Entah ada apa dengan gadis tersebut, dia membenci calon suaminya. Namun, sangatlah mengkhawatirkannya. Dari balik jendela mobil, Aina melihat sosok Reyhan yang mengendalikan motor.

"Pak, ikuti pengendara motor itu!" titah Aina.

Niat ingin bertemu Alaska diundurkan, dia lebih memilih untuk mencari tahu sosok pria tersebut yang selalu membuntutinya. Melewati jalanan yang amat sepi, Reyhan menghentikan motornya di depan gedung tua yang gelap. Aina mengernyit, bertanya-tanya tentang tempat tersebut. Di sana juga ada dua mobil dan beberapa motor.

"Pak, tunggu di sini! Saya akan segera kembali."

Aina keluar mobil. Mengikuti langkah Reyhan yang begitu cepat. Gedung tua itu sangat luas, pencahayaannya amatlah minim. Secara perlahan, Aina berusaha tidak mengeluarkan suara apa pun yang akan membuat Reyhan curiga tentang keberadaannya.

Alaska mengepalkan lengannya. Dalam saku celana, ia mengambil sebuah pistol. Kali ini bukan Joe yang melakukannya, tetapi Alaska sendiri. Sutarjo memohon-mohon terhadap Alaska agar mengampuninya. Namun, kemarahan Alaska tak dapat dibendung. Hitungan detik, senapan itu berhasil ditembakkan tepat pada dada bagian kiri Sutarjo. Seketika, nyawa lelaki penghianat tersebut lenyap.

"Joe, kita harus lebih waspada lagi. Orang yang bernama Kim pasti bukanlah orang biasa, dia cerdik dalam permainan."

"Saya akan terus berusaha untuk mencari tahu tentang orang itu," balas Joe.

Di balik pintu, Reyhan menyaksikan kematian rekan kerjanya—Sutarjo tiada di tangan Alaska. Lelaki dengan penutup wajah tersebut menyipitkan mata, kedua tangannya mengepal. Perlahan, mengambil pistol dari dalam jaket yang dikenakan. Lengannya sudah bersiap untuk menembak Alaska.

Aina Calista Salsabila melihat Reyhan yang sedang merencanakan aksinya. Ia penasaran dengan sosok yang ada di dalam, terdengar oleh Aina suara Alaska bersama Joe. Gadis tersebut menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. Matanya tertuju pada pistol yang sudah siap tembak. Aina berlari menghampiri Reyhan, lelaki tersebut hendak menembak. Namun, Aina menahannya. Sehingga, tembakkan itu terkena pada dirinya sendiri di bagian pundak kiri. Aina meringis kesakitan, Alaska serta Joe mendengar suara tembakkan.

Reyhan menatap tajam Aina yang sudah luruh dan kesakitan. Lelaki tanpa rasa bersalah itu meninggalkan Aina begitu saja.

"Mari kita lihat yang terjadi di luar!" ajak Alaska.

Ia buru-buru berjalan diikuti yang lainnya. Mata kecokelatan laki-laki gagah tersebut nampak terkejut, gadis kecilnya terbaring menahan sesak. Tubuhnya terluka.

"Aina!" teriak Alaska. Ia langsung menopang tubuh Aina, memeluknya dengan erat. Menyentuh darah yang mengalir dalam tubuh gadis tersebut.

"Joe! Siapkan mobil!" seru Alaska yang segera dilaksanakan oleh Joe. Secepat mungkin Alaska membawa Aina ke dalam mobil, dia sangat terluka melihat Aina tersiksa. Gadis muda itu memejamkan matanya, membuat gelisah Alaska.

"Kamu orang yang kuat, Gadis Kecil, jangan menyerah!" Tubuh kekar Alaska memegang erat Aina. Lelaki itu berupaya menahan air matanya.

***

Di rumah sakit kota Jakarta. Gadis berusia delapan belas tahun tersebut terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tangannya dihiasi infus, mata indah itu tak kunjung terbuka. Menimbulkan kecemasan pada seluruh keluarga serta sahabat karibnya. Shinta menangis tersendu-sendu di samping anak bungsunya, dia tak sanggup melihat Aina lemah.

"Apa kau tahu penyebab dari luka tembak yang Aina dapat?" tanya Rohan pada lelaki muda di hadapannya.

"Saya tidak tahu, Tuan. Saat itu saya bersama yang lain sedang mengurus seseorang, tiba-tiba terdengar tembakkan dari luar. Setelah saya lihat, Aina sudah dalam keadaan terluka," jelas Alaska. Wajahnya lusuh, dia amat merasa resah tentang Aina.

"Hanya Aina yang tahu segalanya," ucap Abbas.

"Ya ... kita akan segera mengetahuinya," sambung Rohan.

Shinta mendapati anaknya tersebut siuman. Nampak Aina masih ling-lung, ia terlihat bingung. Lalu, meringis kesakitan karena lukanya masih basah. "Sayang, syukurlah kamu sudah sadar." Shinta mencium pucuk kepala Aina. Matanya menetes karena bahagia.

"Aina di rumah sakit, ya? Terus ... Alaska di mana?" Bukannya mempertanyakan kondisinya. Aina lebih mengkhawatirkan Alaska.

"Alaska ada di luar, biar bunda panggilkan," ucap Shinta.

Ia keluar menemui suami dan yang lain untuk mengabarkan perihal Aina yang telah siuman.

"Emm, Mas. Alaska, Tuan Abbas, Aina sudah sadarkan diri."

Kabar gembira itu tentu membuat hati lega. Tidak menunggu lama, semuanya masuk untuk menemui Aina yang masih terbaring. Gadis tersebut kesulitan untuk duduk, pundaknya masih terasa sakit.

"Akhirnya kamu sadar juga, Sayang," ujar Rohan. Matanya lebih bersinar.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanpa basa-basi Alaska langsung bertanya. Kecemasannya sangat luar biasa, sementara Aina memasang raut wajah masam. Merasa kesal pada perilaku Alaska.

"Saya juga tidak tahu apa yang dilakukan. Yang pasti, malam itu saya mencemaskan Anda, Tuan Alaska. Awalnya, ingin ke kantor tempat Tuan bekerja. Namun, tiba-tiba saya malah lebih tertarik untuk mengikuti seorang pria misterius yang selalu mengikuti saya."

"Entah kenapa, diri ini berani untuk terus mengikutinya ke gedung tua itu. Saya lihat dia ingin membunuhmu dengan pistol miliknya, secepat mungkin saya mencegah," papar Aina dengan kejujurannya. Alaska tersenyum, ia senang karena perhatian yang diberikan oleh gadis muda tersebut, meski terkesan nekat.

"Terima kasih untuk semuanya," ucap Alaska.

***

Di tengah malam yang kelam. Di kala anjing melolong dengan lantang, rembulan meredup. Langit hitam menggumpal, burung hantu bersiul riang. Kedua lengan dimasukkan pada saku celana berwarna hitam. Pandangan kejora lelaki tersebut setajam elang. Secangkir kopi terhidang di atas meja, asap panasnya mengepul ke udara. Embusan napas kasar keluar, rahangnya mengeras.

"Saya yakin, jika pria itu masih ada hubungannya dengan orang yang bernama Kim," ujar Alaska. Tangannya mengepal cangkir kopi.

"Tidak diragukan lagi," ucap Joe yang tiba-tiba datang menghampiri Alaska.

Dua pria tersebut menatap langit lekat-lekat. Menyaksikan kendaraan yang masih berlalu-lalang di bawah sana. Angin malam menyejukkan badan, pikiran Alaska masih tentang sosok misterius yang terus menurus mengganggu. Bahkan, bukan pada dirinya. Namun, Aina menjadi sasaran juga. "Semoga teka-teki ini segera terpecahkan, akan saya jadikan pengecut itu sebagai santapan." Batas kesabaran Alaska sudah mulai pupus. Dirinya  menginginkan Kim untuk segera ditemukan.

Selisih Lima [Ending] Where stories live. Discover now