Bab 14

299 28 1
                                    

Dua orang dengan perawakan tinggi serta campuran luar negeri tersebut duduk di kursi depan yang tersedia di warung kopi. Kedua lelaki itu meregangkan otot-otot leher. Lalu, dua cangkir kopi hitam dihidangkan oleh seorang pemilik warung.

Jeck membuka layar handphone-nya, tetapi pandangan mata dia tertuju pada satu laki-laki yang berjalan ke arah warung. Klif juga melakukan hal yang sama, ia menepuk lengan rekan kerjanya tersebut.

"Kopi satu, Bah!" seru pria berperawakan pendek dengan perut buncit. Dia duduk di samping Klif.

Jeck mencoba lebih memerhatikan wajah pria itu. Matanya menyipit setelah melihat foto Sutarjo yang memiliki kemiripan dengan lelaki yang duduk di samping Klif. Jeck memberi isyarat terhadap rekannya tersebut. "Kalau boleh tahu, Bapak asli orang sini?" sapa Klif pada pria di dekatnya.

"I ... iya, memangnya kenapa?" jawab lelaki bertubuh buncit itu gugup.

"Saya punya teman bisnis di sini, jika tidak keberatan. Apa saya boleh tahu nama asli Bapak?" tanya Klif. Ia berusaha untuk berpura-pura akrab agar lebih banyak mendapatkan informasi lagi.

"Nama saya Sutarjo. Wah! Kalau kamu pengen berbisnis, lebih baik bekerja sama dengan Tuan Kim. Dia orang yang pandai berbisnis," ujar lelaki bernama Sutarjo tersebut. Klif beradu pandang dengan Jeck. Mereka berdua sama-sama mengangguk kecil.

"Ikut kami!" gertak Jeck.

Ia langsung menahan Sutarjo yang mulai meronta-ronta untuk dilepaskan. Seluruh pengunjung warung kepanikan. Di kala Jeck hendak menarik paksa, Sutarjo menginjak kaki laki-laki yang menahannya tersebut dan langsung berlari secepat mungkin.

"Woi, berhenti!" teriak Klif.

Dua laki-laki itu berlari menyusuri jalanan desa yang cukup sempit. Beberapa kali Sutarjo terhadang oleh jemuran. Klif serta Jeck mesti ketinggalan jauh oleh Sutarjo karena ada kakek tua yang mendorong gerobak. Sampai di gang yang sangat kecil, Sutarjo berlari kucar-kacir. Dia bersembunyi di balik semak-semak dekat pesawahan.

Klif juga Jeck memasuki gang, mereka mengarah ke tempat persembunyian Sutarjo. Sepi, hanya ada burung-burung pemakan padi. Klif berjalan ke kanan, dan Jeck sebaliknya. Napasnya tersenggal, keringat mengucur pada tubuh bulat itu. Matanya tergambar kecemasan. Setelah merasa tenang dan aman. Sutarjo keluar dari semak-semak, melangkah secara perlahan agar tak terdengar oleh dua anak buah Alaska Khoerul Fahri.

Jeck berhasil menangkap basah Sutarjo yang mulai berlari. Ia tersenyum licik, berjalan dengan santai. Tangannya mengambil sebuah senapan. Lalu, ditembakkan pada kaki kanan Sutarjo serta lengan kiri sebanyak tiga kali. Klif berlari, ia menangkap Sutarjo yang penuh luka tembak. Tidak bisa berkutik, hanya mampu pasrah dengan yang akan dialaminya nanti.

"Makanya lu jangan kabur, jadi gini, kan?" decak Klif sembari mengikatkan tali pada lengan Sutarjo.

"Siap-siap aja lu ngadepin bos besar nanti, jadi orang itu jangan suka hianat," sambung Jeck.

Sutarjo memasang raut wajah ketakutan. Tubuhnya terkena guncangan gempa yang menyakitkan. Seakan-akan maut sebentar lagi menjemput, menorehkan banyak luka. Menghapus segala suka yang diterima. Jeck dan Klif membawa Sutarjo ke markas biasa. Kemudian, mengabarkan berita baik itu pada yang lainnya. Joe tengah berada di kantor, ia berdiri tepat di samping Alaska. Sebuah notifikasi pesan masuk, Joe memiringkan bibirnya.

"Tuan, mangsa sudah tertangkap. Dia sedang dalam pengawasan," ucap Joe secara diam-diam. Lalu, Alaska menghela napas. Laki-laki bermata cokelat tersebut menutup laptop, dan segera berangkat untuk menemui Sutarjo.

***

"Cowok itu siapa, sih? Perasaan ... dari kemarin dia kayak ngeliatin mulu," gumam Aina ketika dirinya melihat sosok pria yang duduk di atas motor. Ya ... itu adalah Reyhan, selain mencari tahu tentang Alaska. Ia juga mengintai Aina Calista Salsabila.

"Aina, lu masuk, gih! Jangan di luar mulu, kita ngerjain tugas bareng," ucap Sista.

Lalu, dua gadis itu pun masuk ke rumah. Mulai duduk di lantai berkeramik, mengeluarkan buku dalam ransel. Mulai mengisi lembaran soal materi untuk ujian nanti. Ini adalah sebuah persiapan pembelajaran akhir, Aina merasa sedih karena ia harus berpisah dengan sekolahnya. Kemudian, mengambil jalan baru dengan menikah bersama Alaska.

"Gue denger, si Boby udah punya pacar baru. Kok, lu belum, sih?" ejek Sista. Sungguh menyebalkan, Aina sangat malas jika membicarakan perihal mantan.

"Gue gak bakal pacaran lagi, dan kalau emang Boby udah punya pacar baru. Ya ... gue gak peduli, dia cuman mantan gue," papar Aina. Kebencian itu masih ada, meskipun terkadang rasa cinta kembali menerpa dengan menumbuhkan ribuan luka. Sista hanya tersenyum malu, ia minum sejenak untuk melegakan tenggorokan.

"Kabar kak Alaska gimana, ya? Gue kangen sama dia, senyumannya manis banget." Sista menopang dagu dengan kedua tangannya. Sementara, Aina mengernyit.

"Buat apa lu mikirin dia? Lagian, kegantengannya masih standar. Gue biasa aja, tuh," ujar Aina. Bibirnya lebih memiring lagi.

"Jatuh cinta tau rasa lo," decit Sista.

Dua gadis tersebut melanjutkan pelajaran lagi. Sedangkan, di luar sana. Reyhan masih tetap mengawasi gerak-gerik targetnya. Sebab merasa bosan menunggu Aina keluar, laki-laki itu pun memilih untuk mencari tahu tentang Alaska terlebih dahulu.

Hati Aina terasa sakit. Seperti ada sesuatu yang menganggunya. Rasa cemas tumbuh begitu saja. Namun, tak tahu karena apa? Gadis muda berusia delapan belas tahun tersebut tidak fokus pada pelajarannya. Sesekali dirinya berdeham, menenangkan diri dengan minuman serta makanan ringan. Tetap saja kekhawatiran itu terus menghantui pikiran.

"Kenapa gue gelisah mikirin Alaska?" gumam Aina tanpa terdengar oleh Sista. "Aduh, gue harus fokus."

"Lo gak pa-pa, kan? Ada yang sakit?" tanya Sista ketika melihat keadaan temannya.

"Gue baik-baik aja, kok. Cuman sedikit gelisah, tapi itu tiba-tiba dan gak tahu kenapa?" adu Aina. Ia mengembuskan napas cukup kasar.

"Biasanya, ya, kalau kita cemas. Artinya, bakal terjadi sesuatu yang berbahaya. Entah sama diri kita, atau orang terdekat," jelas Sista semakin menambah pikiran terhadap Aina.

'Apa Alaska dalam bahaya? Kalau emang iya, gue harus gimana?'

Dalam hati Aina terus bergelut dengan diri sendiri. Untuk lebih menenangkan benaknya, gadis tersebut membereskan buku-buku. Lalu, pamit untuk menemui Alaska secepat mungkin supaya merasa lebih baik.

"Gue pamit, bye!" Aina secepat kilat berlari ke luar rumah. Sementara, Sista hanya menganga tanpa suara. Tidak sempat bagi dirinya untuk bertanya tentang alasan Aina pergi begitu saja.

"Si Aina kenapa?" gumam Sista dengan seribu teka-teki.

***

"Anda sudah bermain-main dengan saya," ucap Alaska pelan. "Apa maksud dari penghianatan itu, hah? Siapa yang memerintahkanmu? Dari mana dia berasal?!" gertak Alaska menggetarkan Sutarjo.

"Tu ... Tuan Kim," jawab Sutarjo lirih. Netra Alaska memberikan tatapan elang pada Joe.

Selisih Lima [Ending] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang