Bab 27

274 29 0
                                    

Ayam jantan berkokok. Riuh gemuruh pesisir jalanan dipadati oleh kendaraan. Si para pencari nafkah menjerit berteriak memanggil pelanggan. Aina Calista Salsabila, ia telah tampil lebih awal di kampus dengan tumpukan buku yang dibawanya. Cukup melelahkan, menguras pikiran karena tugas yang tak bisa dihentikan. Bima, laki-laki itu terus saja memerhatikan Aina. Perasaan aneh muncul secara tiba-tiba, ada hasrat terpendam ingin memilikinya. Sedangkan, Aina yang kini tengah mati rasa tidak peka terhadap perasaan lawan jenisnya.

"Mau aku bantuin, gak?" Bima menawarkan diri dengan senang hati.

"Tidak usah, aku bisa," ucap Aina.

"Ya sudah, aku temani kamu saja."

Bima duduk tepat di hadapan gadis yang sudah bersuami itu. Sejujurnya, kelakuan Bima sangat mengganggu Aina. Namun, mana mungkin mengatakannya secara langsung. Itu bisa menyakiti hati, dan timbul rasa benci yang berakhir dendam.

Mata pelajaran kuliah sudah usai. Kini, waktunya bagi Aina untuk pulang. Ia tidak sabar ingin merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Menikmati hari dengan hiburan yang ditonton pada televisi. Di gerbang sana, sudah ada Alaska yang menjemput tanpa keluar dari mobil. Secepat mungkin Aina masuk agar Bima tidak menemukannya. Itu bisa menghadangnya.

"Bagaimana di sana? Nyaman?" tanya Alaska memasangkan pengaman pada gadisnya tersebut.

"Nyaman, orang-orang di sana semua baik," jawab Aina sembari membenarkan posisi duduk.

"Seperti Bima, hmn?" Alaska menautkan alisnya. Pertanyaan pria itu tidak dibalas sama sekali oleh Aina.

***

Sekian lama menunggu di kafe. Laki-laki dewasa itu mengotak-atik ponsel yang dipenuhi dengan berbagai macam berita media yang tak pernah berhenti menyebar drama. Sangat membosankan, apalagi dengan berita viral yang tak berkesudahan dibagikan. Seakan-akan tidak ada berita yang lebih penting lagi. Pria tersebut mendengkus, dia menutup ponsel. Melirik sebuah bungkusan berbentuk segi empat dan nampak cukup tebal. Rapi, dibuat dalam bentuk kado.

Tidak lama setelah itu, seseorang yang ditunggu-tunggu datang. Keduanya saling menyapa melemparkan senyuman. Alaska Khoerul Fahri, ia sudah membuat janji bersama Joe untuk bertemu di kafe. Tentunya, itu karena Alaska ingin Joe mencarikan hadiah yang dipesannya khusus untuk Aina Calista Salsabila.

"Tuan, aku sudah menemukannya, ini yang kau minta." Joe menyerahkan bungkusan itu pada Alaska.

"Terima kasih, aku yakin. Aina pasti akan terkejut melihat hadiah istimewa ini," ujar Alaska terkekeh. Ia melihat-lihat bentuk hadiah tersebut dengan seksama.

"Kau memang suami yang romantis, Tuan. Namun, juga sedikit nakal." Joe tertawa kecil. "Lalu, bagaimana dengan wanita itu? Kapan kita akan menangkapnya?" tanya Joe dengan pandangan serius.

"Aku akan memulai semuanya setelah ulang tahun Aina, aku tidak ingin membuat hari spesial istriku terganggu," jawab Alaska sembari menghela napas.

"Apa hari ulang tahunnya akan dirayakan, hmn?" tanya Joe.

"Tidak, cukup aku yang melakukannya bersama Aina."

"Baiklah, semoga kau sukses dalam menaklukkan hati gadis itu. Ya ... meskipun terlihat sangat sulit," ujar Joe terkekeh.

Perbincangan antar keduanya pun terus berlanjut sampai malam tiba. Alaska pulang dalam keadaan wajah yang lusuh, bebannya terasa lebih berat lagi setelah mengetahui tentang wanita yang berniat membunuh istrinya.

Ia benar-benar tidak menyangka atas sebuah fakta. Wanita yang dikenalnya cukup lama, memiliki hati seorang pendendam. Sedangkan, Aina sendiri tak pernah memikirkan hal tersebut. Ia memerhatikan suaminya yang langsung duduk dengan sedikit merenggangkan dasi.

"Kamu belum tidur, hmn?" tanya Alaska pada gadis kecilnya.

"Belum, aku masih memiliki banyak tugas dari dosen. Kamu sendiri, bagaimana? Sepertinya sangat lelah," papar Aina Calista Salsabila.

"Ada banyak hal yang harus kupikirkan, lebih baik kamu tidur sekarang! Dosen itu tidak akan memarahimu." Alaska bangkit membereskan semua buku-buku. Aina tak dapat menyangkalnya, ia hanya menyaksikan.

"Dari mana kamu tahu aku tidak akan dimarahi? Apa kamu mengancam dosen, hah?" Netra gadis bermata kebiruan itu membulat tajam.

Alaska tersenyum miring, melangkah mendekati Aina yang duduk di kursi. Jaraknya semakin dekat, dan wanita itu bergeming. Tangan kekar Alaska memeluk Aina, menempatkan gadis tersebut pada tubuh bidangnya.

"Diamlah, jangan banyak bertanya! Ikuti saja perkataanku, Tuan Putri. Aku tidak ingin kamu tersiksa dengan beban tugas ini, untuk sekarang. Lebih baik kamu beristirahat, hmn." Alaska melepaskan pelukannya secara perlahan. Memegang pucuk kepala istrinya, memberikan senyum. Kemudian, mengecup hangat kening Aina.

"Kamu juga harus beristirahat, Tuan! Biar aku siapkan baju ganti untukmu." Di saat Aina hendak mencari pakaian. Alaska menghentikannya dengan menggenggam erat tangan Aina.

"Jangan! Aku bisa melakukannya, kamu tidur saja, Gadis Kecil," ujar Alaska.

"Baik." Aina mengangguk.

Ia melangkah pada ranjang, mulai merebahkan tubuhnya dengan menghadap ke kanan. Selanjutnya, Alaska masuk ke kamar mandi. Rasa gerah sangat mengganggu diri. Setelah selesai membersihkan tubuh, pria itu menatap sang istri beberapa detik. Kemudian, tidur pada sofa yang ukurannya lumayan panjang. Sungguh, Alaska sangat menghargai gadisnya. Ia tidak mau melakukan hawa nafsunya tanpa persetujuan Aina.

***

Dalam ruangan yang remang-remang dari pencahayaan. Wanita berambut sepundak tersebut tengah meminum teh hangat. Tangan kanannya memainkan laptop. Kedua kakinya terus bergerak-gerak. Embusan napasnya sangat halus, manik hitam itu melirik detak jarum jam yang berjalan memutar waktu. Tepat pada pukul 00:00 wanita tersebut menutup laptop.

"Aku akan melakukan apa pun untuknya," gumam Angelina Mega sembari tersenyum kecut. Ia duduk di dekat jendela, menatap rembulan yang sudah mulai menghilang ditelan awan.

"Terkadang, kita harus bertarung nyawa untuk sebuah keadilan. Itu tidak masalah, aku akan berjuang sampai mati," ujar Angelina pada dirinya sendiri.

Lolongan anjing mengalun-alun diikuti siulan burung hantu yang tiada henti mengoceh.

***
Pagi hari di saat Aina turun dari kamar untuk sarapan. Ia sudah mendapati Alaska yang sedari tadi menunggunya. Dua pasangan suami istri itu makan bersama tanpa sapaan di pagi hari. Nampak laki-laki bermata cokelat itu tidak berpakaian kantor. Seperti orang yang tidak akan pergi ke mana-mana. Cukup lama memerhatikan, Aina penasaran ingin bertanya. Namun, rasa gengsi menahan dirinya.

"Kamu ingin menanyakan sesuatu?" Ucapan Alaska membuat Aina memperlambat mulutnya mengunyah nasi goreng. Tatapan mata gadis itu beradu dengan mata indah Alaska.

"E ... eu, tidak," jawab singkat Aina langsung memalingkan wajahnya.

"Tanyakan saja, aku suamimu. Untuk apa merasa malu, hmn," ujar Alaska terus menerus memerhatikan istrinya.

"Kenapa hari ini berbeda?" tanya Aina.

"Aku tidak akan pergi ke mana pun. Jadi ... untuk apa berpakaian rapi? Aku sangat ingin mengistirahatkan diri sejenak," jelas Alaska dilanjutkan minum.

"Besok hari ulang tahunku, kamu sudah membuat hadiah yang istimewa?" Aina mengernyit. Ia takut Alaska melupakan hari bahagianya.

"Semua itu sudah siap, Tuan Putri. Kamu hanya perlu menantinya," ujar Alaska.








Selisih Lima [Ending] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang