Bab 05

501 41 0
                                    

Lelahnya belajar. Berhadapan dengan banyaknya pelajaran, membuat perut keroncongan. Bersuara terus menerus, cacing-cacing dalam perut bernyanyi riang. Melantunkan melodi tanda lapar. Tangan ber-arloji merah tersebut menutup buku. Bangkit dari duduk, melangkah melewati koridor sekolah. Hidung mancungnya mencium aroma sedap.

Secara tergesa-gesa gadis cantik itu berjalan. Memesan makanan pada penjaga kantin. Harap-harap perutnya tak lagi bersuara dan merasa tenang. Sesampainya pesanan, mulut gadis tersebut melahap makanannya secara perlahan. Didampingi minuman ice teh manis yang menyegarkan.

"Huft, akhirnya kenyang juga. Sista ke mana, sih?" gumam Aina. Matanya menelisik setiap arah.

"Lo makan bakso itu?" tanya seseorang dari arah belakang. Aina mengernyit. "Eh," ucap lelaki yang tak lain adalah Boby.

"Kenapa emangnya?" Aina menautkan kedua alis tipisnya.

"Bukannya lo gak suka makan pedes? Bisa-bisa sakit perut lo," ujar Boby yang nampaknya perhatian pada mantan kekasihnya itu.

"Terserah gue," decit Aina. Ia hanya mengembuskan napas kasar. Kemudian, Boby pun pergi dengan bola volly di tangannya.

Gadis berusia delapan belas tahun tersebut mulai merasa jenuh. Tidak ada teman untuk diajak mengobrol. Sista entah pergi ke mana, Aina meninggalkan sisa makanannya. Lalu, ia kembali ke kelas. Di dalam kelas juga tidak ada murid, semuanya bermain di luar. Sungguh, ini hari yang membosankan. Gadis itu pun memilih tidur dengan berbantal buku.

"Wah! Kayaknya Aina kelelahan, Kak. Makanya dia tidur," bisik Sista pada Alaska saat melihat Aina sudah tertidur pulas.

"Ya sudah, biarkan dia tidur. Saya harus kembali ke kantor, kamu jaga Aina," ujar Alaska. Sista membalasnya dengan menyimpulkan senyum.

***

Pada saat langkah kakinya terdengar. Seluruh pegawai pun menunduk di hadapannya, memberikan sapaan dalam bentuk ucapan maupun senyuman. Sebagai seorang yang paling tinggi setelah pak Presiden. Tentu, Alaska sangat dihormati. Apalagi, Abbas sekarang sudah benar-benar melepaskan tanggung jawabnya pada perusahaan. Dia ingin Alaska mengurusnya, mulai sekarang adalah waktu untuk Abbas beristirahat santai.

"Tuan, saya bawakan makanan ini. Saya lihat, Tuan Alaska sepertinya sangat letih," ujar Angelina. Ia membawa bekal makanan untuk diberikan pada Alaska. Wanita cantik berusia dua puluh dua tahun itu sudah lama menyimpan rasa pada Alaska.

"Terima kasih, tapi saya tidak lapar." 

"Eum, saya sudah membuatnya susah payah. Apa Tuan tidak ingin mencicipinya sedikit saja?" Angelina memelas , dia berharap lelaki di depannya itu tidak menolak.

"Baiklah, kamu taruh saja di atas meja. Biar nanti saya makan," ucap Alaska datar.

Kemudian, Angelina tampak sumringah.  Dia menaruh bekal makanan di atas meja.

Joe baru saja sampai, melihat bagaimana Angelina menatap Alaska yang sedang bermain laptop. Nyatanya, Joe menyadari tentang perasaan rekan kerjanya tersebut. Dia menyunggingkan senyum. Lalu, menghampiri keduanya.

"Rupanya, ada acara kencan hari ini," celetuk Joe diakhiri dengan tawa kecil. Alaska menajamkan matanya, sedangkan Angelina mulai merasa canggung.

"Apa yang kau maksud, Joe?" tanya Alaska. Wajahnya sangat garang, Angelina segera meninggalkan ruangan. Lalu, Joe mulai sedikit tertawa.

"Tuan, apa kau tidak sadar? Angelina sangat mencintaimu. Dia selalu memberikanmu perhatian yang lebih," ucap Joe terkekeh. Alaska mendengkus, dia tersenyum kecut.

"Saya tahu itu sejak lama. Namun, saya benar-benar tidak tertarik dengannya. Meskipun ada banyak orang yang membicarakan tentang kecantikan yang dimiliki Angelina," jelas Alaska. Tangan kekarnya menutup laptop.

"Oho! Lalu, bagaimana dengan gadis kecil itu?" Joe menaik-turunkan alisnya. Namun, Alaska hanya membuang napas kasar dan mengangkat bahu.

***

Dedaunan kering berjatuhan dari ranting. Angin bertiup lembut, membelai rambut panjang berwarna hitam. Bunga-bunga taman merekah indah. Netra kebiruannya menyaksikan mega. Burung walet berterbangan di atas angkasa. Tanah kering tercium aroma sedapnya.

Air mengalir indah. Teduh dan sunyi, gadis manis itu menikmatinya sendiri. Berjalan mengelilingi setiap taman yang luas. Ada banyak pohon tumbuh. Rerumputan menari riang. Tangan mengayun berdendang.
Sehelai bulu merpati terjatuh, secepatnya diambil. Mengelus merasakan kelembutannya.

"Nona Aina, Tuan meminta Nona untuk segera makan," ucap seorang pelayan.

"Iya, bilang sama ayah. Nanti Aina nyusul!" Tanpa menoleh. Gadis muda itu masih menikmati pemandangan.

Selepas puas bermain-main, Aina menemui kedua orang tuanya yang sedang menunggu di ruang makan. Terhidang begitu banyak makanan favorit Aina. Sebelum makan, Aina mengucapkan doa terlebih dahulu.
Lalu, ia memakan setiap hidangan yang dimasukkan pada piringnya.

"Aina, besok ayah gak bisa nemenin kamu ke acara olimpiade itu. Gak pa-pa, kan?" Rohan menghentikan makannya sejenak.

"Gak pa-pa, kalau Bunda gimana?" Aina menatap pada sang ibu. Shinta mengulum senyum.

"Pasti dateng, Sayang," ujar Shinta.

Selesai makan, Aina berniat untuk ke luar rumah sejenak. Dia ingin membeli banyak camilan untuk perutnya. Pada saat Aina sampai di tempat tujuan, ia memerhatikan sosok lelaki kurus mencurigakan. Aina takut terjadi apa-apa padanya, sedangkan dia hanya sendiri saat itu. Kemudian, muncul Alaska dari sebuah kafe bersama Joe dan beberapa rekan bisnis.

"Kok, kayak Om Galak? Terus ... laki-laki nyeremin itu kayaknya lagi mantau Om Galak. Apa jangan-jangan ...." Aina menutup mulutnya. Kembali memerhatikan gerak-gerik lelaki kurus mencurigakan. Ketika Alaska hanya berdua bersama Joe. Pria dengan jaket kulit itu naik motor dan mulai menyalakan mesin. Dari situlah Aina tersadar tentang niat jahat lelaki tersebut.

"Alaska!" teriak Aina sekeras mungkin. Ia berlari menghampiri Alaska. Kemudian, Aina mendorong tubuh Alaska hingga dirinya juga ikut terjatuh. Sedangkan Joe berusaha menembakkan senjata pada orang jahat tersebut.

"Kejar dia, Joe!" seru Alaska. Tanpa pikir panjang, Joe langsung masuk ke mobil dan mengejar sosok misterius itu.

"Aina, kamu gak pa-pa?" Alaska membantu Aina untuk berdiri.

"Kalau punya kuping itu dipake, udah dipanggil kenceng masih aja gak kedengeran, huh!" protes Aina. Ia menepuk-nepuk bajunya yang kotor karena debu. Alaska hanya terkekeh.

"Sudah, kamu jangan terlalu banyak marah. Saya minta maaf!" Alaska memegang kedua telinganya membuat Aina sedikit tersenyum.

"Ya."

"Mau saya antar kamu belanja, hmn? Atau ...  mau ditraktir?" Kala Alaska menyebutkan kata traktir. Aina merekahkan senyuman, matanya ceria. Kesempatan yang tidak boleh dilepaskan.

"Boleh, asal jangan protes tentang harga, ya?" Aina melebarkan bulan sabitnya. Sementara, Alaska hanya mengangguk mengiyakan permintaan gadis tersebut.

***

"Lapor, saya mendapat kabar. Bahwa suruhan Tuan Kim sudah tertangkap oleh tangan kanan Alaska," ucap seorang pria berbadan bulat.

"Argh! Sialan, kenapa harus tertangkap? Bagaimana jika dia membuka rahasia kita pada si Alaska itu," gerutu sosok misterius yang selalu dipanggil dengan sebutan Tuan Kim.

"Tidak mungkin terjadi, Tuan Kim. Tak ada satu orang pun yang mengenali Anda, terutama saya sendiri," ujarnya.

Selisih Lima [Ending] Where stories live. Discover now