Remi dan Bena berlari-lari sepanjang jalan Taman Cibeunying Selatan. Wajah mereka berpeluh keringat, kaki nyut-nyutan dan nafas ngos-ngosan tetapi maling yang dikejar mendadak hilang begitu saja.
"Kamana budak teh. Ku urang dipencit siah," omel Bena; ke mana anak itu. Aku sembelih nanti.
Bena mengusap leher dan wajahnya yang bersimbah keringat dengan celemek. Bahunya naik turun, mengatur kembali nafasnya. Dia terlalu terburu-buru mengejar si maling sampai tidak sempat melepas celemek. Di kepala pun masih nangkring topi chef putih kebanggaannya. Topi itu sempat jatuh dan terkena genangan air.
Remi menggelengkan kepala sambil menumpukan kedua tangan pada lutut. Olah raga malam yang sama sekali tidak direncanakan. Kakinya terasa panas terbakar karena dia berlari menggenakan sandal jepit. Gesekan aspal beradu dengan tipisnya sandal. Dia melihat satu tali sandalnya nyaris putus.
Komplotan pencuri quiche lorraine kembali beraksi setelah sebulan lebih tidak ada peristiwa pencurian. Mereka sampai pada kesimpulan saat itu kebetulan ada anak terlantar yang kelaparan. Di saat lenggah seperti malam ini pencurian kembali terjadi. Bena yang menangkap basah tangan si maling ketika mengambil quiche dari balik jendela. Dia segera berteriak kencang dan berlari keluar mengejar si bocah. Remi yang kebetulan duduk santai di teras melihat dan ikut mengejar. Sayang bocah itu larinya secepat angin. Tiba-tiba saja ketika mereka melewati deretan penjual tanaman hias, bocah itu hilang ditelan bumi.
"Barang kali dia sembunyi di antara tanaman-tanaman di dalam sana," tunjuk Remi pada sebidang tanah yang jadi tempat menjual tanaman hias.
"Kamu coba cek ke situ, Ben," pinta Remi lagi.
"Cing atuh!" seru Bena sebal; coba ya.
Suasana malam membuat tempat yang dipenuhi pot-pot tanaman dengan daun lebar dan tinggi itu terlihat angker. Pohon-pohon setinggi orang dewasa yang rimbun membuat tempat itu mirip hutan kecil. Suara dedaunan beradu dengan terpal penutup yang terkena angin menambah horor suasana. Kuping Bena bisa mendengar suara kresek-kresek di balik sana. Mendadak pula tercium bau melati dan kemenyan.
"Aya jurigna. Urang tungguan didieu. Maneh wae ," tolak Bena panik; Ada hantunya. Saya tunggu di sini. Kamu aja.
"Males, ah," tolak Remi.
Bena melotot kesal. Remi sama seperti dirinya. Mereka paling ngeri hal-hal berbau supernatural. Daerah Taman Cibeunying banyak rumah tua yang bentuknya mengingatkan pada lokasi pada film-film horor. Untung saja pencahayaan di Petit Étoile terang benderang dan dihias dengan interior cantik. Kama memasang diffuser aromatherapi Lavender yang menangkan dan membuat dia tidak takut walau malam sendirian di dapur.
"Sembunyi di taman hias? Coba aku yang cari. Bisa bawa senter," ucap Jo ketika mendengar laporan Bena dan Remi yang kembali dengan tangan kosong.
Kedua pria itu menoleh kaget. Jo lebih preman dari mereka. Jo sudah melepas celemek dan mencari-cari senter di laci.
"Jangan Jo, bahaya. Yang penting kita udah tahu malingnya kayak apa. Masih ada besok," Kama menahan tangan Jo yang siap beraksi.
Kama tahu Jo bukan orang yang takut dengan hal-hal seperti itu. Ketika mereka menginap di villa Lembang dan terdengar suara mencurigakan, Jo dengan gagah berani mengecek. Jo hanya takut dengan cicak. Dia bisa menjerit-jerit bila melihat reptil kecil itu melintas di dinding.
"Lagian, Teteh masih bikin roti," bujuk Bena lagi.
Jo melirik ke arah oven penuh dilema. Dari balik jendela oven terlihat roti masih setengah mengembang. Roti-roti yang dipanggang lebih penting dari pada menangkap maling.
BINABASA MO ANG
Nocturnal Tale: Love Story Short Collection
ChickLitSelamat datang di Petite Étoile boulangerie & pâtisserie yang buka lewat tengah malam. Sebuah persinggahan manusia-manusia malam yang belum ingin pulang ke rumah. Tempat yang nyaman dengan aneka roti dan pastry yang menghangatkan hati. Seruputan...