"Dill," Zia menoleh pada teman juteknya dengan wajah melas. "Gantiin gue..."

Dilla melepas airpodsnya, lalu menaikan alis. "Tinggian siapa?"

"Ah elah," Zia berdecak kesal. Menoleh pada Ical yang berdiri di sampingnya sejak tadi. Tumben sekali diem, biasanya bacot sama Ale.

"Heh," Zia mendorong lengan Ical.

Ternyata bocah tengil itu tidur, makanya wajahnya langsung kaget. "Hah apa?" tanyanya sambil menganga.

"Iler lo netes," tegur Zia membuat Ical mengerjap. "Tapi boong." katanya sambil tertawa.

"Apasih bocil," decak Ical membuat wajah Zia langsung datar. Kini giliran Ical yang ketawa.

"Tumbenan mau di depan, biasanya nempel mulu sama Nathan kayak lalet."

Zia memutar bola matanya, memperhatikkan petugas upacara di tengah lapangan. "Lo kalo ada obat peninggi kasih tau gue ya."

"Buat apaan?" tanya Ical heran.

"Buat menandingi doi gue."

Ical langsung terkekeh. "Cowok tuh suka loh sama cewek pendek, gemes aja gitu." katanya padahal nggak pernah punya cewek.

Bayangin aja, Ical tuh tingginya 170 an lebih dan berada di depan barisan cowok karena pendek sendiri. Walaupun Ale juga setara dengannya tetap aja bocah itu sok-sokan di belakang biar bisa caper sama anak kelas sebelah.

"Kok Nathan nggak suka sama gue??" tanya Zia.

Ical meringis. "Nathan demen cewek pendek sih, dia nggak demennya elo."

Zia langsung mencibir, sudah biasa dengan ejekan anak kelas soal betapa naasnya nasih dia. "Banyak maunya Nathan tuh."

"Gitu masih demen."

"Nggak boleh apa?"

Ical langsung cengo, ingin membuang Zia ke rawa-rawa. "Ya gitu nggak usah ngeluh lah anjir."

"Lo punya hak apa larang-larang gue??" tanya Zia galak.

"Ya deh iya," Ical mengangguk pasrah. "Ampun nyonya kecil."


Zia emang nggak pernah mau kalah omongan. Itulah salah satu masalahnya.






⛅️⛅️⛅️⛅️⛅️⛅️







"Benci banget gue sama hari senin, jam pulangnya sengaja dilambatin apa gimana sih?" keluh Zia siang itu di kelas.

Luna yang sedang pakai liptint menoleh sambil mengecap bibirnya. "Biasanya kalo ada doi di kelas betah di sekolah."

Zia langsung memicing. "Iya, doi lo Gibran enak diliat, seger. Lah Nathan, rebahan mulu mana nggak keliatan mukanya."

Luna tersenyum kecil, langsung memandang sosok kalem di bangku depan sana. "Lo percaya nggak sih suatu saat kita bakal jadian?"

"Enggak," Zia menjawab jujur dengan nada malas membuat Luna mencibir.

"Lo percaya nggak suatu saat gue sama Nathan jadian?" kini Zia balik bertanya.

"Enggak," balas Luna masih sewot. Zia balas dengan kekehan kecil.

Zia menghembuskan napas berat, lalu meletakkan lengannya di meja dan menyender di sana. Menatap Nathan yang sedang tidur memunggunginya di barisan pojok sana.



Sedekat apapun mereka, bagi Zia cowok itu tetap jauh.

"Lun," panggil Zia.

"Paan,"

"Tau nggak kenapa gue masih suka sama Nathan walupun ditolak berkali-kali?"

"Karena lo nggak tau malu?"

Zia berdecak, masih menandang Nathan. "Karena gue masih penasaran, gimana rasanya deket sama dia lebih dari temen. Suatu saat nanti."

Luna menunduk sambil memandang Zia prihatin. "Kalo sampe suatu saat nanti dia tetep nggak ada perasaan sama lo?"

Zia jadi terdiam. "Pasti ada saatnya gue capek, bener-bener ditamper kenyataan. Baru deh gue mundur,"

"Ditolak dari SD masih belum cukup ya?" tanya Luna sarkastik. Gemas sendiri dengan pemikiran Zia.


Zia hanya diam saja setelah ucapan Luna, masih memandangi Nathan dengan tatapan yang sulit diartikan.

Seperti sekarang

Ουπς! Αυτή η εικόνα δεν ακολουθεί τους κανόνες περιεχομένου. Για να συνεχίσεις με την δημοσίευση, παρακαλώ αφαίρεσε την ή ανέβασε διαφορετική εικόνα.





Seperti sekarang.


Nathan tiba-tiba membalikkan badannya, tadinya masih memejamkan mata. Lalu perlahan membukanya, menatap lurus Zia.


Dan debaran gila itu masih ada, hanya kerena hal sepele. Bagaimana wajah mengantuk itu memandangnya tanpa ekpresi, seakan menghipnotis Zia.

Gimana Zia mau bosan kalo diliatin kayak gini aja udah lemes....


To be continued

ketemu besok yaaa!

Little Promise ( AS 3 )Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα