[]Part 22[]

Mulai dari awal
                                    

"Iya iya abang Nathan. Eh, abang badak maksutnya."

Kembali pada saat ini, melihat Reva yang tak kunjung menjawab, cowo di sampingnnya menghela nafas kecewa. "Kalau gak mau, gak apa-apa, kok, Re," ucapnya.

Reva tersadar dari acara flasbacknya, ia kemudian menoleh ke arah orang di sampingnya. Tersenyum kecil kemudian menjawab, "Gue mau kok, El."

Elvin, pemuda di sampingnya ini tersenyum senang. "Oke. Pulang sekolah, yah. Kalau gitu gue masuk kelas dulu. Sampai nanti," ucapnya yang diangguki Reva.

"Santai, Re santai. Kali-kali dengerin saran si badak. Siapa tau bener," gumam Reva pelan. Kemudian gadis itu memasuki kelasnya, tepat di sebelah kelas Elvin.

=====

Reva membulatkan matanya saat berbagai macam lukisan terpampang jelas di matanya. Ia memang tak mengerti soal lukisan, tapi mau bagaimanapun juga, lukisan-lukisan di depannya ini terlihat sangat indah dan mengangumkan. Maklum sih Reva begitu, orang ini pertama kalinya Reva mengunjungi pameran lukisan.

Reva berjalan pelan guna melihat-lihat lukisan yang lainnya. Di sampingnya ada Elvin yang juga melakukan hal yang sama.

"El, lo suka lukisan?" tanya Reva tanpa mengalihkan pandangannya.

"Suka. Gue juga lagi tahap belajar tentang dunia seni lukis," jawab Elvin.

Reva membulatkan mulutnya, sehingga kata 'oh' keluar dari sana.

"Kapan-kapan lukis wajah gue yah, El," ucap Reva.

Elvin yang tengah memperhatikan sebuah lukisan wajah seseorang, menoleh ke arah Reva. "Pengen sih. Tapi sayangnya gue belum pandai."

"Kan gue bilangnya kapan-kapan, El. Mau pas gue dah beranak juga gak apa-apa," ucap Reva sedikit bergurau.

Elvin tertawa kecil, ada-ada saja jawaban Reva ini.

Sekitar 2 jam lebih sudah mereka berada di pameran itu, akhirnya Elvin mengajak Reva pulang. Toh, ini juga sudah sore, bahkan menjelang magrib.

Di samping motor Elvin, Reva terdiam. Gadis itu sama sekali belum menaiki motor milik Elvin, padahal Elvin sudah menyuruh gadis itu agar menaikinya.

"Re, gak mau naik, nih?" tanya Elvin yang entah untuk keberapa kalinya.

Reva masih terdiam seraya menatap motor Elvin, dia meneguk ludahnya kasar, lagi, jatungnya berdetak tak karuan. Rasa takut merayap memasuki dirinya, keringat dingin bahkan timbul di keningnya.

Elvin yang melihat gelagat aneh dari Reva menjulurkan tangannya. Berniat menyentuh gadis itu dan menyadarkannya. Namun, belum sampai Elvin menyentuh Reva, Reva malah menghindar kasar. Hal itu tentu saja membuat Elvin terkejut.

"Ah, Eh, maaf, El. Tadi ada gajah terbang lewat," ujar Reva yang merasa tak enak. Tapi, alasan gadis itu sama sekali tak masuk akal. Mana mungkin kan Elvin mau percaya?

"Ada-ada aja lo, Re. Kenapa? Lo gak bisa yah naik motor kayak gini?" tanya Elvin.

Reva terkejut, bukan, bukan itu maksudnya. Dengan kuat Reva menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan gitu, El. Gue, em, itu, apa, ah iya kebelet. Gue tadi kebelet. Iya bener, kebelet," jawab Reva.

Elvin terkekeh, merasa gemas akan jawaban gugup dan ekspresi gadis itu. "Kalau kebelet cepetan naik. Kita pulang," ucap Elvin.

Reva mengangguk, masih dengan ragu dan rasa takut yang masih ia rasakan. Reva mulai menaiki motor Elvin. "El, langsung pulang ke rumah gue kan, ya?" tanya Reva.

Elvin mengangguk, "iya, Re. Emang mau kemana dulu?" jawab dan tanya Elvin. Pemuda itu mulai melajukan motor maticnya membelah jalanan kota.

"Bener yah, ke rumah gue?" tanya Reva lagi.

"Iya, Re. Rumah lo dimana?"

"Regalcy Regency."

"Oke," balas Elvin singkat. Dalam hatinya terbesit rasa penasaran akan tingkah Reva yang menurutnya aneh ini. Kenapa juga wajah Reva tampak takut tadi? Toh dirinya bukan orang jahat kan?

Sedangkan disisi Reva, gadis itu kini sedang dag-dig-dug tak karuan. Padahal ia sedang berada di jalan raya ramai kendaraan, namun rasa takutnya itu tak kunjung hilang juga.

Kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. Keringatnya tambah banyak saat ini. Padahal cuaca saat ini tak panas panas amat. Orang sudah mulai malam juga.

Beberapa saat Reva menahan rasa tak enaknya itu. Akhirnya Reva bisa bernafas lega saat motor Elvin sudah memasuki daerah perumahannya. Perlahan Reva menghembuskan nafasnya, kemudian dia segera menormalkan wajahnya yang tadi tak karuan.

Reva turun dari motor saat Elvin sudah menghentikan motor itu tepat di depan rumah Reva. Mengucap terima kasih setelah itu masuk ke dalam rumahnya.

Reva menghempaskan dirinya di sofa ruang keluarga, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mulai memejamkan matanya. Niatnya sih ingin menenangkan diri. Namun, saat sosok Nathan muncul di ruang keluarga, jangan harap Reva bisa tenang.

"Abis jalan, nih. Ada oleh-oleh gak?" tanya Nathan yang duduk tepat di sebelah Reva.

Reva membuka matanya, dia mendengus. "Oleh-oleh your head!" ucapnya.

"Kepala gue mah bukan oleh-oleh atuh Reva. Gimana sih?"

"Lupain, Nat, lupain. Jangan mulai ngeselin, gue capek," ujar Reva.

Nathan tertawa, dia memberikan botol air mineral yang ia bawa dari dapur ke arah Reva. "Minum," suruhnya.

Reva menerima botol itu, membuka tutupnya dan mulai menegak air di dalamnya.

"Gimana? Masih takut?" tanya Nathan.

Reva mengusap mulutnya yang sedikit basah, kemudian menaruh botol minumnya di atas meja. "Ya gitu. Sama sekali gak berubah. Rasanya mau pingsan aja deh," jawab Reva.

"Gak apa-apa, usaha aja dulu. Elvin baik kan?"

Reva mengangguk menanggapi ucapan Nathan. Dia kemudian merebahkan dirinya di sofa. Tak peduli dengan kakinya yang menindih paha Nathan. Ia hanya ingin istirahat sekarang.

Nathan mendengus, namun dengan kerendahan hatinya itu, Nathan membiarkan saja kaki Reva disana. Untuk saat ini saja ia melakukan itu, karna yah, tau sendiri Andara Reva sedang tidak baik-baik saja.

=====

Krisarnya dong maniez. Votenya juga dong, biar aku bahagia. Ngahahahaha. Pai-pai.

----------TBC----------

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang