"Udah? Udah ngetawain guenya?"

Yura mengangguk, lalu menghirup napas dalam-dalam dan membuangnya.

"Kok, lo bego sih, Nan?"

Nan menyentil kening Yura dengan pelan. "Omongan lo."

"Dih, ngapain lo nyentuh kening gue? Sebegitu gemesinnya gue, ya, sampe-sampe lo nggak bisa nahan diri."

Nan berdecak. “Nggak usah kepedean. Lo itu jelek. Bukan tipe gue,” hina Nan.

Wajah Yura langsung berubah sinis. “Lo tuh, ya,” ucapnya menggantung. “Suka banget bikin orang kesel. Punya masalah apa sih lo sama gue?” tanya Yura jengah sendiri.

“Punya masalah mas—”

"Ah, udah-udah,” potong Yura tiba-tiba. “Minggir, gue mau turun,” pinta Yura kepada Nan.

Nan menyingkir. Setelah Yura lewat, dia juga berangsur bangkit dan berjalan tepat di samping Yura.

"Ngapain lo?" Yura bertanya.

"Mau ke Supermarket,” jawab Nan.

Kening Yura berkerut heran. “Setau gue nggak ada Supermarket di sini.”

Nan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Ada, kok, ada. Baru dibangun semalem,” elak Nan.

Yura menghentikan langkahnya, lantas menatap Nan dengan malas."Mau ngintilin gue kan lo?”

Nan menggeleng. “Nggak. Jangan ge-er.”

“Nggak usah ikut-ikut gue. Lo itu imam, masa ngikutin makmum?" Yura melipat kedua tangannya di depan dada

"Ini kode minta dinikahin, ya?"

Satu cubitan sukses mendarat di lengan Nan, membuat Nan sedikit meringis. Ternyata cubitan Yura lebih pedas dari ayam geprek di perempatan sekolah.

"Udah, deh. Mending lo pulang, nggak usah ngintilin gue. Gue nggak butuh bodyguard," ujar Yura yang kembali meniti langkahnya.

Tapi, Nan tak mengacuhkan ucapan Yura. Dia masih tetap mengikuti di belakang. Dia jelas tahu jalan ini menuju ke mana, yang dia tak tahu adalah apa tujuan Yura ke sini. Apakah gadis mungil itu benar-benar akan mendatangi tempat yang ada di pikirannya?

Yura berhenti, menyadari bahwa laki-laki tengil itu masih mengikutinya.

"Ngapain lo?" tanya Yura berbalik.

"Ikut lo lah. Ya kali atraksi debus."

“Nah!” seru Yura cepat. “Beneran ngikutin gue, kan lo!”

"Sebagai laki-laki yang bertanggungjawab, gue nggak bisa ngebiarin perempuan jalan sendirian. Makanya gue temenin," jawab Nan.

Yura berdecak. "Gue nggak butuh temen, tuh."

"Oh, jelas butuh. Kalo nanti ada setan atau preman yang gangguin lo gimana? Kan kalo gue temenin, lo bakal damai, aman, dan sentosa."

"Alih-alih jadi tameng, yang ada lo jadi samsak gratis para preman, dongo."

Nan terkikik. "Rin ... Rin. Buat apa dikasih kaki kalo nggak dipake buat lari?"

Yura menatap Nan dengan malas, laki-laki tengil ini kenapa sih? Kenapa jadi sok asik begini? Dan mengapa laki-laki itu jadi memanggilnya dengan sebutan Rin?

"Buat apa gue ngeiyain, kalo ada kalimat buat nolak? Udah deh, mending lo pulang. Oh, ya, nggak usah panggil gue dengan sebutan Rin," cakap Yura.

"Suka-suka gue dong. Kok lo yang repot."

Yura berdecak. "Lo nggak berhak," jawabnya dengan penuh penekanan.

Nan terdiam. Sedetik kemudian, sebuah nada dering berbunyi nyaring. Yura terlihat mengeluarkan handphone nya dari saku.

Ada nama Ibu yang tertera di layar, Yura segera mengangkat teleponnya, dan suara Sira langsung terdengar.

"Kamu lagi di mana, Ra?"

"Emang ada apa, Bu?"

"Ibu tadi beliin makanan kesukaan kamu, tapi pas Ibu pulang, kamu nggak ada di rumah. Kamu lagi kerja kelompok, ya?"

"Ah, nggak, Bu. Ya udah, aku pulang sekarang."

"Hati-hati di jalan, ya, Ra. Neduh dulu aja kalau hujan."

"Iya, Bu."

Sambungan terputus. Yura menatap Nan, laki-laki itu sedang duduk di sebuah tumpukan batu yang berada di pinggir jalan.

"Kalo diliat-liat, lo cocok juga jadi gembel," ungkap Yura pada Nan.

"Mana ada gembel yang mirip Boyband Korea kaya gue gini."

Nan bangkit, lalu menepuk-nepuk celana biru itu untuk menghempaskan kotoran yang mungkin saja singgah di sana.

“Persamaan lo terlalu ketinggian. Ibarat langit sama dasar bumi tau nggak,” celetuk Yura.

“Nggak papa. Toh gue emang pantes menyandang persamaan itu.”

Yura menoleh, lalu tertawa geli. “Lo selain ngeselin, ternyata punya kepercayaan diri yang obesitas juga, ya?”

Nan mengangkat kedua bahunya tak acuh.

Mereka berdua kini berjalan beriringan, seperti dua orang yang kedudukannya tertukar. Yura yang berseragam SMA tapi Nan yang lebih tinggi postur tubuhnya. Keduanya memilih diam selama perjalanan, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Yura bingung, mengapa Nan jadi bersikap seperti ini padahal kemarin-kemarin ia begitu menjengkelkan dengan sikapnya yang songong dan sok dewasa. Ah, si tengil ini. Baru kenal dua minggu saja sudah berani ikut meramaikan isi kepalanya.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя