5 - 0

1.1K 243 57
                                    


Bobby termenung di sofa apartemennya. Seorang diri sementara musik Elvis telah lama terhenti. Pandangan Bobby kosong, terarah kepada pantulan cahaya lampu di meja kaca. Ucapan Chanyeol tadi pagi masih terngiang di benaknya. Terputar berulang-ulang.

Mereka berakhir.

Selesai sudah semuanya. Hubungan yang dulu ia banggakan kepada semesta, ternyata hanyalah kisah pendek dalam lembaran cerita hidupnya.

Bobby tidak tau harus bereaksi apa.
Sebenarnya ia kecewa. Namun ia juga mengetahui berpisah adalah keinginannya. Ia seharusnya merasa lega bahwa sosok yang menciptakan rasa sakit di kepala dan jantungnya kini telah ia sapu dari kehidupannya. Tapi sekarang ia malah merasa tidak bermakna. Tidak ada rasa senang ataupun lega.

Padahal ia pikir ini yang terbaik.

Bukan, ini memang yang terbaik.

Tapi...Ah, sudahlah. Bobby meringis dan beranjak dari sofa.

Ia menuju lemari, mengganti pakaiannya dengan kemeja dan jeans. Rambut hitamnya ia ikat tinggi. Bobby akan keluar lagi hari ini. Bergaul dengan siapa saja yang dapat ia temui di lingkaran sosialnya.
Hal yang sama yang biasa ia lakukan belakangan ini untuk menepikan pikiran tentang Chanyeol.
Terkadang berbicara dengan orang lain membantunya dalam melupakan Chanyeol sejenak, dan terkadang pula--jika pembicaraan tidak membantu, Bobby yakin minuman di Darling cukup banyak untuk membuat hatinya mati rasa.

"Aku pikir kau sudah berhenti minum." adalah sapa dari pria manis yang sibuk mengelap gelas ketika Bobby datang. Pria itu Byun Baekhyun, si bartender imut yang kelihatan seperti makanan ringan, tersenyum kepada Bobby.

Bobby duduk di seberang Baekhyun. "Berhenti minum? Kau bercanda?" Bobby terkekeh. Tadi ia mampir ke rumah Nao Ri, tapi tidak menemukan gadis itu di rumah. Kata ibu Nao Ri, putrinya sedang melakukan aktivitas suka rela di gereja. Karena tidak memiliki minat ke rumah temannya yang lain, Bobby memutuskan ke Darling saja langsung.

"Cocktail?" tawar Baekhyun.

"Berikan aku apa saja." sahut Bobby tidak begitu berpikir ingin meminum apa.

"Masih sepi?" ucapan Bobby terlontar retoris.

"Ya, kau pelanggan pertama kami."

"Aah."

"Terlalu siang bukan untuk minum-minum?" Baekhyun tersenyum.

"Lucu." jawab Bobby miris. "Kau orang kedua yang mengkritik jam minumku hari ini."

"Menarik." ujar Baekhyun dan menuangkan segelas lagi untuk Bobby. "Orang pertama biasanya spesial."

Senyum Bobby memudar, ia menyesap habis minuman di gelasnya dan menatap Baekhyun sendu.

Dia spesial, pikir Bobby. "Dulunya."

----

"Apa ada kabar baik?" Aeri menghampiri Chanyeol yang memasuki rumah. Raut putranya sedingin suhu di luar.

Waktu menunjukkan pukul dua siang ketika Chanyeol kembali ke rumah.
Wajah tampannya terlihat gusar dan letih. Sepasang manik kelamnya menyorot hampa kepada wajah Aeri sekilas.

Chanyeol menggeleng.

Ia terus melangkah selagi Aeri menyusul di belakang. Mengikuti langkah kakinya dengan tergesa-gesa.

"Apa maksudnya, Yeol. Kau sudah bicara dengan Bobby?"

"Sudah." Chanyeol berhenti tiba-tiba, Aeri sampai menabrak punggungnya. "Kami selesai."

"Apa?"

"Ibu dengar sendiri." Chanyeol kembali melangkah menuju kamarnya. Kaki terseret-seret.

Dia seperti manusia tanpa nyawa.

"Masuk akal memang mengingat yang kau kecewakan itu Bobby," Aeri belum berhenti. Ia masih mengejar Chanyeol. "Tapi bagaimana denganmu? Kau tidak protes? Mungkin kau bisa meminta dia memperpanjang waktu berpikirnya...,"

"Untuk apa memangnya?" Chanyeol melirik ibunya ketus. Alisnya meninggi tidak suka. "Toh, pada akhirnya dia memang ingin kami berpisah."

"Jadi kau hanya membiarkannya?"

"Aku melakukan apa yang dia mau."

"Kau bodoh idiot, apa aku pernah membenturkan kepalamu di tembok saat kecil?" Aeri berhenti di depan pintu, sementara Chanyeol terus melangkah dan melepas jaketnya. "Kau membiarkan wanita sebaik Aby lepas dari genggamanmu begitu saja? Darimana kau mendapat sifat idiot itu?"

"Dia yang menginginkannya, OKE! Berhenti mengataiku, dan berhenti berpihak padanya." Chanyeol duduk di tepi ranjang. "Aku juga tidak mau hubungan kami berakhir seperti ini.-

Tapi jika Bobby memang menginginkan kami berpisah, maka aku menghormati keputusannya."

"What a dramatic piece of shit." Aeri menggeleng-geleng.

"Anakku tersayang, kau tidak menghormati keputusan siapa-siapa, kau hanya menyerah. MENYERAH!"

Chanyeol mendongak jengah kepada Aeri, "Bobby yang menyerah!" Ia tak mau mengalah. "Aku memberikan usaha terbaikku untuk bersamanya dan dia menolakku."

"Mungkin usaha terbaikmu tidak cukup baik." Aeri mengakhiri konversasi itu dengan dengusan kesal. Ia berlalu dari depan kamar Chanyeol sembari mengipas-kipasi wajahnya.

"Dia tidak akan menikah." keluh Aeri pada udara kosong di depannya. "Tidak dengan sikap kekanakan seperti itu."

"Mendiang ayahnya dulu bahkan rela bersujud di depan orangtuaku demi melamarku. Aku benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa putra yang mewarisi paras tampan ayahnya tidak memiliki tekad seteguh dia.."

Chanyeol mendengar samar-samar omelan ibunya di luar. Kepalanya kontan menunduk lelah.

Hari yang sial.

Dunia benar-benar menghukumnya hari ini.

----

HIGH HEELS (PCY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang