0 - 2

4.7K 626 30
                                    


Give it to me, I'm worth it
.
.
.

"Jadi, kau dan Areum benar-benar berakhir huh?"

Pagi itu Chanyeol berkunjung ke apartement Jongin. Puji tuhan pikirnya, karena ia tak mendapati eksistensi Bobby di sana. Setidaknya ia bisa bernapas lega mengetahui bila Jongin tidak segila itu untuk membawa wanita terigu itu tinggal se-apartement dengannya.

"Areum?" Jongin sedang menikmati kopi hitamnya saat mendengar Chanyeol berceletuk di seberang meja.

"Aku tidak tau. Kau yang tanya ke dia." Jongin terkekeh. "Jelas-jelas dia yang minta putus denganku. Ah, apa tadi ya katanya..'Aku tidak bisa bersama laki-laki yang tidak punya masa depan.', pilihan bijak sepertinya."

"Itu karena kau sibuk mabuk-mabukan, main perempuan dan.."

"Tidak berkuliah seperti kalian." Jongin memutar mata. Kakinya naik ke atas meja dan bersilang angkuh. "Aku sih tidak menyalahkan Areum kalau dia menganggap aku tidak pantas menjadi pacarnya. Mungkin dia ingin laki-laki yang bergelar tinggi untuk dia bangga-banggakan di undangan pernikahannya."

"Kau tau bukan itu alasan Areum. Dia ingin kau berubah. Kau tidak bisa hidup ongkang-ongkang kaki tanpa memikirkan masa depan." Chanyeol memandang Jongin, berusaha sabar. Segelas kopi hitam di depannya telah dingin tak tersentuh. Chanyeol tidak pernah benar-benar menyukai kopi. Ia hanya suka teh, aroma buku dan senyuman Areum.

"Oh, masa depan masa depan. Membosankan." lalu Jongin menarik kakinya turun dari meja. Pria itu meraih ponselnya dan tampak sibuk dengan benda persegi panjang itu. "Kalau dipikir-pikir, Chan. Kau sepertinya kandidat yang bagus untuk jadi pacarnya. Kalian serasi banget. Seperti Romeo dan Juliette."

"Bukan, bukan. Mereka mati." dan dia meralat kembali. "Maksudku seperti.., maaf, aku tidak punya referensi." lalu dia tertawa.

"Intinya sih, Park Chanyeol. Aku punya jalan hidupku sendiri. Areum tidak setuju, jadi dia meninggalkan aku."

"Kalau kau mencintai dia, seharusnya kau memperjuangkan hubungan kalian!" suara Chanyeol meninggi. "Bukannya pacaran dengan perempuan yang kau tidak tau asal-usulnya."

"Kalau dia mencintai aku seharusnya dia mengerti." Jongin tak terganggu sama sekali akan suara galak Chanyeol. Yang pria itu lakukan berikutnya hanyalah berdiri dari bangkunya dan melenggang enteng menuju sebuah lemari pakaian.

Chanyeol mengikuti arah langkah Jongin. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang ada di dalam kepala sahabatnya itu. Bagaimana Jongin bisa setenang itu setelah melukai Areum?

"Jongin, dengar. Kita sudah dewasa. Sudah seharusnya kita membicarakan masalah kita dengan kepala dingin.."

"Masalah kami, bukan masalahmu." Jongin menyela.

"Ya, Fine. Masalah kalian dengan kepala dingin. Aku tau bagaimana perasaanmu ke Areum. Kalian sudah dekat sejak SMA, kalian pacaran empat tahun. Perasaan tidak hilang begitu saja. Masih ada kesempatan untukmu memperbaiki hubungan kalian."

"Nasehat dari pria jomblo itu selalu bijak." Jongin menoleh ke Chanyeol sesaat. Sudut bibirnya tertarik sinis. "Kau membuat aku kedengaran seperti pria brengsek yang jahat disini."

"Kau memang brengsek."

Mengangkat bahu. "Terimakasih." sahut Jongin. "Kau selalu dekat dengan Areum, Yeol. Dan kadang-kadang perspektifmu lebih condong ke dia. Kalian seperti saudara kembar yang melihat dunia melalui jendela yang sama. Sebenarnya aku tidak akan heran. Tapi kau perlu tau juga, dia yang meninggalkan aku. Bukan aku yang minggat dari dia. Sekarang kau berharap aku mengejar dia kembali dan menggigit tumitnya manja. Sorry, man. Aku punya harga diri. Yang lalu biarkan berlalu."

"Lagian aku sudah punya Bobby." Jongin menambahkan di akhir.

"Serius. Perempuan itu?"

Sedetik seusai Chanyeol berkata, bunyi dari bell pintu apartement Jongin terdengar. Pria dengan kemeja putih dan rambut yang licin oleh gel rambut tersebut melesat ke pintu dengan langkah elegan. Jongin membuka pintu dan senyumnya merekah lebar.

"Oh, my princess." ucap Jongin. Seringainya terukir tipis ketika menemukan Bobby berdiri di depan pintu, mengenakan floral dress tanpa lengan. Disamping Bobby ada Areum. Wanita itu bertampang datar.

Pandangan Jongin beralih ke Areum. "Panjang umur." katanya. "Areum."

"Areum." lalu Chanyeol muncul di balik punggung Jongin. Pandangannya lurus ke Areum penuh tanya. Ia tak ingat sudah mengatakan kalau pagi ini dia berkunjung ke apartement Jongin.

"Hei, ada Chanyeol juga." lalu suara manja Bobby menarik atensi Chanyeol sesaat. "Kebetulan sekali."

"Kebetulan?"

Jongin mempersilakan Bobby dan Areum masuk ke dalam apartement-nya yang agak berantakan. Sudah lama rasanya Areum tak berkunjung ke kamar ini. Terakhir kali ia mampir ke apartement Jongin adalah tiga tahun silam ketika dirinya berpamitan untuk berkuliah di luar negeri dan meninggalkan Jongin sendirian.

"Aku mengajak Areum kesini." kata Bobby enteng, namun cukup membuat api murka Chanyeol membara. "Jongin pernah cerita kalau dia dan Areum sempat mempunyai sesuatu di masa lalu. Dan karena aku sekarang adalah masa depan Jongin, aku perlu belajar dari masa lalu."

"Areum bukan masa lalu." Chanyeol menghentikan langkahnya hanya untuk membantah Bobby yang berdiri di belakangnya. Gadis itu membalas tatapannya jenaka.

"Tidak untukmu." lalu Bobby melewati Chanyeol. Jongin tak ikut campur sama sekali, hanya mengangkat bahu dan menyambut Bobby ke dalam dekapannya. Sepasang sejoli itu berbagi kecupan ringan sesaat.

Bobby mengangkat tas belanjaannya ke depan dada, dan memandang Jongin penuh gairah. "Sayangku, kata Areum, sahabatmu yang paling manis itu, kau menyukai spaghetti." Bobby memandang sepasang manik hitam Jongin seakan kolam hitam yang seindah galaxy tersebut adalah semestanya. "Aku harap kau masih suka, karena pacarmu yang cantik ini akan membuatkanmu spaghetti spesial bertabur cinta."

"Aku masih suka." Jongin mengusap rahang Bobby lembut. Dan sebuah kecupan kembali mendarat di bibir ranum berlapis lipstick merah tersebut.

Chanyeol menarik napas gerah. Pandangannya beralih cepat kepada Areum. Wanita itu masih berdiri di tempatnya, seakan waktu membeku. Areum menggigit bibir bawahnya, melampiaskan perasaan sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya.

Dan sebelum ia meloloskan sebuah cairan bening dari sepasang manik indahnya, wajah kaku Chanyeol menutup arah pandangnya. Pria itu berdiri tepat di depan hidungnya. Tersenyum penuh rasa bersalah. Seakan turut merasakan luka yang tergores di benak wanita yang ia damba.

Atau dia memang benar-benar merasakannya, goresan luka itu.

Chanyeol tak dapat melakukan apa-apa, dan ia membenci dirinya karena ini.

Apa susahnya sih mengakui perasaan?

HIGH HEELS (PCY)Where stories live. Discover now