4 - 8

1K 267 44
                                    

I'd go back in time and change it but I can't
So if the chain is on your door, I understand.

----

Chanyeol bersandar di punggung ranjangnya. Kepala menunduk. Sepasang manik kelamnya menatap layar ponsel yang telah kehabisan daya. Raut pemuda itu hampa. Tanpa jiwa.

Ketika Aeri datang ke kamarnya dan berdiri di ambang pintu, Chanyeol hanya mendongak sekilas ke arah wanita itu sebelum kembali menunduk.

Ia memikirkan Bobby. Ia memikirkan ucapan gadis itu semalam yang---sulit untuk ia terima.

Bobby meninggalkannya.
Membubarkan hubungan yang berusaha ia pertahankan begitu saja. Bobby bahkan tidak berusaha mendengarkannya. Ia hanya berlalu.

"Ibu sudah mendengar ceritanya dari Jongin." Aeri yang sedari tadi memperhatikan putranya yang frustasi, akhirnya membuka suara. Chanyeol menanggapi ucapan ibunya dengan helaan napas tidak senang.

"Apa kau benar-benar," Aeri menahan napas; kesulitan melanjutkan ucapannya. "--berselingkuh dengan Areum?"

"Apa?" Chanyeol menatap kepada Aeri dengan alis yang nyaris bersambung. "Aku apa?" tanyanya lagi.

"Kau tidur dengan Areum.."

"Aku tidak tidur dengan Areum dan aku tidak berselingkuh dengannya atau siapa pun di planet ini!" Chanyeol melompat turun dari ranjang. Ia berdiri di sisi ranjangnya, menghadapi Aeri dengan geram.

"Kalau begitu," Aeri melanjutkan tenang. "Ada apa dengan Aby? Apa yang sudah kau lakukan kepadanya sampai dia semarah ini---"

Bobby marah. Chanyeol terhenyak mendengar dua kata itu. Ekspresinya yang garang, melemah dan tergantikan oleh kesenduan. Binar amarah di matanya meredup hampa.

"Apa yang sudah kau lakukan, Yeol?" Aeri menatap putranya prihatin.

Chanyeol menghembuskan napas lemah. Lututnya lemas, ia terduduk di bibir ranjang. "Bukan apa-apa." jawabnya lesu. "Kami hanya salah paham--, ya." hanya itu.

Ini, ini hanya masalah kecil. Ia bisa mengatasi ini. Hubungannya dan Bobby akan baik-baik saja. Chanyeol percaya itu.

Ia hanya perlu meluruskan semuanya kembali. Bobby pasti mengerti.

"Chanyeol, ibu benar-benar berharap apa yang terjadi, apapun itu, di antara kau dan Aby dapat terselesaikan dengan damai."

"Aku tau, bu. Aku bukan anak kecil." Chanyeol mendengus.

"Apa kau yakin?"

"Kalau aku bukan anak kecil?" alis Chanyeol terangkat sebelah. Sorot matanya menyiratkan : apa kau bercanda, terhadap ibunya.

Aeri menggeleng, "Apa kau yakin hubunganmu dan Bobby akan baik-baik saja?"

Chanyeol mengangguk. "Pasti. Bobby hanya butuh ruang sendiri." Ketika suasana telah mereda di antara mereka, Bobby pasti--dia pasti akan mengerti alasan Chanyeol berbohong selama ini. Chanyeol percaya Bobby akan memahaminya. Ia tidak ingin mempercayai atau bahkan memikirkan hal lain lebih dari itu.

"Baiklah." Aeri menggigit bibir. Sebenarnya, ia sedikit meragukan keyakinan Chanyeol.

Abigail Hwang yang Aeri kenal bukanlah wanita yang bisa dianggap remeh dengan kata hanya. Tapi melihat Chanyeol begitu sendu dan tanpa semangat, Aeri tidak bisa dan tidak cukup berani untuk memupuskan harapan pria itu.

Chanyeol terlihat begitu---putus asa.

"Kalau memang tidak ada yang perlu dicemaskan, ibu akan kembali ke dapur." Aeri tersenyum. "Ini pagi natal, nak. Kau harus memperbaiki penampilanmu."

Pandangan Aeri jatuh kepada penampilan Chanyeol yang masih sama seperti semalam. Berantakan.
Memar di wajahnya masih kentara, bercampur dengan luka yang terkotori darah kering. Kemeja Chanyeol kusut, kancing di dadanya terlepas akibat tarikan liar Jongin semalam.

"Aku akan mandi." Chanyeol memotong perhatian Aeri terhadap dirinya, dan berdiri.

Ia akan menemui Bobby hari ini. Karena bagaimanapun, ini adalah hari natal. Ia seharusnya melewati hari ini dengan orang yang paling ia sayangi. Bobby adalah orang itu.

Sejenak sebelum Aeri melenggang keluar dari kamarnya, Chanyeol menghentikan wanita itu sebentar.

"Tunggu---" ia menatap Aeri ragu-ragu. "Apa ibu, ummm, mungkin---mendengar kabar dari Bobby?"

Senyum Aeri merekah dengan perasaan bersalah. Ia menggeleng sebelum kembali melanjutkan langkahnya.

-----

Pertama-tama saat pertemuan Bobby dan Nara siang itu di North's, pria dengan tubuh yang lumayan berisi itu menyapanya dengan ejekan yang merendahkan. Nara selalu bisa mengendus kesedihan Bobby hanya dengan melihat ke dalam mata putrinya. Tapi seperti biasa, bukannya menghibur suasana muram hati Bobby, pria itu melontar kalimat seperti : Kan, mampus!

"Itu yang kau dapatkan akibat merusak karirmu."

Seperti biasa pula, Bobby menyambut lontaran sinis Nara dengan anggukan dan senyuman. Ia tidak bisa protes atau bahkan memulai adu mulut dengan pria itu. Tidak ketika dia memang berada di posisi yang pantas menerima ejekan itu.

Nara tidak penasaran sama sekali akan masalah apa yang terjadi antara putrinya dengan si anak bos. Ia hanya mengingatkan Bobby bahwa selalu ada jalan untuk kembali ke rumah dan memperbaiki karirnya.

Seperti yang Bobby duga, Nara menginginkan ia bekerja di Gold Foundation. Meneruskan karir Nara sebagai kepala lembaga dan mungkin berkenalan dengan salah satu anak kerabat Nara yang sangat diinginkan lembaga mereka.

"Bayangkan jika kau berkencan dengannya. Dia bisa menjadi sponsor untuk atlet-atlet kita. Kemenangan besar."

Bobby menggeleng. "Tidak, terimakasih."

Apasih yang Nara pikirkan! Bobby benar-benar heran dengan jalan pikiran ayahnya yang kolot dan sinting.

"Aku lebih baik memakan jempol kakiku daripada berkenalan dengan sembarang pria demi bisnis." Bobby mengomel.

Hingga akhirnya, obrolan mereka siang itu berjalan dengan sangat tidak mulus. Sebelum beranjak pergi, Nara kembali meminta Bobby untuk pulang, ia juga menyerahkan sebuah kado kecil pemberian Mia dan kado besar, sebesar box televisi, darinya. Nara sangat bangga ketika kadonya dibawakan oleh pelayan dan diserahkan ke Bobby.

"Selamat natal."

Bobby tersenyum haru. Sebagai balasannya ia memberikan pelukan hangat kepada Nara. Bobby sedikit kesulitan melepas pelukannya di akhir. Ia kembali teringat akan Chanyeol, dan entah bagaimana ia butuh sandaran saat ini juga. Sosok yang bisa ia percaya.

Nara mengelus punggung Bobby lembut. Berusaha menenangkan tubuh putrinya yang bergetar di dalam dekapannya.

"Oh, Abigail." Nara menghela napas berat ketika pelukan Bobby merenggang. Ia menatap putrinya dengan iba. "My precious Snow White, airmata tidak serasi denganmu."

Bobby mengangguk dan tersenyum. Airmata masih mengalir di pipi.

Nara mengusap puncak kepala Nara dengan penuh kasih sayang. "Teruslah tersenyum, angsa emasku."

-----

HIGH HEELS (PCY)Where stories live. Discover now