1 - 5

1.4K 289 94
                                    

And my heart won't beat again
If I can't feel him in my veins
No need to question, I already know

It's in his DNA.

----

Bobby keluar dari kamar mandi dan mengganti handuknya dengan sweater rajut merah muda yang longgar dan panjang. Ia berkaca sesaat dan membelitkan handuk di surainya yang basah.

Waktu nyaris mencapai pukul sebelas malam. Sebenarnya tidak ada lagi hal yang harus ia lakukan. Seharusnya ia beristirahat saja, namun kantuk belum juga menghampiri mata. Daripada berbaring tidak jelas dengan isi kepala yang melankolis, Bobby memilih memanas air di dapur; pergi ke sofa hitamnya; dan membaca majalah fashion edisi terbaru ditemani alunan musik Elvis yang terputar di turntable-nya.

Bobby memeluk lututnya, mencoba menghangatkan diri dengan panas tubuhnya sendiri. Ia membalik beberapa lembar halaman, tidak menemukan minat pada satu gambar pun.

Tidak banyak baju yang menarik ketika musim dingin datang membawa edisi yang katanya terbaru. Bagi Bobby semua baju itu sama saja, bentuk dan bahannya. Tebal, kuat dan menghangatkan. Beberapa berkerah tinggi, beberapa tak berkerah. Hanya tata letak kancingnya saja yang membuat desainnya terlihat berbeda.

Huft. Ini adalah satu dari sekian banyak alasan ia tidak menyukai musim dingin. Kendati musim dingin masih beberapa minggu lagi, hawa dinginnya datang lebih awal dan terasa menggigit. Ia yang tadinya tidak menyukai kaos kaki pun terpaksa memakainya sebelum tidur. Seperti sekarang. Bobby merasa seperti pesepak bola dengan kaos kaki rajut yang panjangnya mencapai paha.

Di tengah lembut dan merdunya dendangan Elvis, sebuah dengkuran dari benda elektronik persegi panjang itu menginterupsi.

Bobby melirik ponselnya dan menguap malas.

Ia tidak mengerti apa lagi yang orang-orang butuhkan darinya di pukul sebelas malam. Tidak bisakah mereka mengganggunya esok saja?

Dengan malas, akhirnya Bobby menjawab panggilan telepon itu. Tidak ada nama.

"Halo?"

"Bobby?" suara itu berbisik.

"Ya?"

"Ummm, apa, umm apa aku mengganggu. Aku, aku, Chanyeol."

"Aku tau ini kau." Bobby tersenyum dalam sunyi. Tidak mudah melupakan kegugupan di suara pria itu. Dia memang selalu gugup. Seakan takut setiap langkahnya akan membawa ia jatuh. "Ada apa, Cupcake?"

"Aku..., aku...,"

"Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau tidak mengatur napasmu dulu, kau kedengaran seperti atlet marathon."

"Aku yah, aku..., aku tidak tau."

"Apa terjadi sesuatu? Apa kau habis menyatakan perasaanmu ke Areum?" Bobby memulai lelucon.

"Aku di depan apartemenmu."

Bobby melotot. "Apa?"

"Boleh aku naik?"

Hening sejenak, Bobby tidak tau apa yang pria itu lakukan malam-malam begini di depan apartemennya. Apa dia harus membiarkan Chanyeol naik? Lalu apa? Mereka akan bicara apa?

Tapi di luar dingin. Wajah Chanyeol bisa merah lagi.

AH! KEPARAT! Masa bodohlah.

"Naiklah, kamarku nomor 26A, lantai empat." Bobby mengembuskan napasnya pasrah. Dengan gontai ia menapak di lantai, merasakan dingin semen menembus kaos kaki rajutnya.

Bobby menatap kembali pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya pucat, bibirnya yang berwarna merah muda kering akibat dingin. Ia melepas handuk yang membelit rambutnya, dan membiarkan surainya yang basah tergerai.

HIGH HEELS (PCY)Where stories live. Discover now