6. Kalian?!

16K 1.7K 15
                                    

•••

Aku menunggu giliran untuk mengaji, dengan Nuha dan Balqis juga tapi kami beda ustadzah. Di belakang barisan ku banyak santri putri yang umurnya masih jauh dariku, aku sendiri sudah 17 tahun sedangkan mereka sepertinya terpaut umur 2 tahun lebih muda dari umurku.

Tapi untuk menuntut ilmu aku menanam rasa malu ku itu, karena aku belajar agar pintar bukan untuk mendapat gelar.

Ketika di depanku sudah menyelesaikan ngajinya giliran aku berhadapan langsung dengan Ustadzah Maryam. Aku masih teringat bayang-bayang ketika Bang Sauqi menjariku huruf hijaiyah di masa SMP ku. Dan sempat aku sekolah TPQ namun sangat sebentar dan itu pun berlangsung hanya untuk membaca Juz Amma.

Pertama ketika Ustadzah Maryam membuka lembaran Al-Qur'an aku menggelengkan kepalaku ragu.

"Ustadzah, Hazna masih belum fasih dan lupa hukum tajwid, sama tanda-tanda waqaf juga," ucap ku pelan lalu di sambut baik oleh beliau dengan senyumannya yang hangat.

"Nggak papa, yang penting Hazna sudah tahu huruf hijaiyah lebih dulu. Tentang tajwid dan waqaf nanti Hazna belajar pelan-pelan lagi sama Ustadzah, yah?" tanya beliau membuat aku menggangukkan setuju.

Selepas membaca Al-fatihah, Ustadzah Maryam membimbingku kembali untuk membaca surat Al-Baqarah. Membaca ayat pertama di awalan surat Al-Baqarah saja aku masih salah, tapi beliau dengan sabar mengajariku.

الۤمّۤ ۚ

Ustadzah Maryam memberi tahu padaku tentang hukum yang benar. "Nah di awal surat Al-Baqarah ada hukum bacaan Mad Lazim Harfi Musyba' yang biasanya di temui di permulaan surat. Cara bacanya harus ringan dan tidak memakai tasydid. Dan di mana Hazna juga harus bacanya panjang sebanyak 6 harakat, jangan kaya tadi kependekan."

"Biar lebih jelas kita artikan saja dengan 6 ketukan, jadi ketika Hazna baca harus panjangnya sesuai 6 ketukan."

"Hazna paham Ustadzah," seruku menampilkan deretan senyuman dan kembali membaca nya sesuai perintah beliau.

Lamanya membaca Al-Qur'an di surat Al-Baqarah aku baru sampai surat ke 5, teman-teman santri lainnya pun mengerti tentang diriku yang masih baru. Mereka bahkan mencoba membaca Al-Qur'an mereka sendiri dengan hikmat dan namun tanpa suara, sangat membuat hati terasa nyaman bila terus berada di sini.

"Jazaakillaahu khoiron, Ustadzah," kataku mengucapkan terima kasih, dan salim pada beliau.

Akhirnya ketika aku keluar dari kelas, Nuha dan Balqis ternyata masih menungguku. Mereka tipikal teman yang setia, aku beruntung bisa berteman dengan keduanya. Ini sudah saatnya waktu untuk sholat dhuhur dan di lanjutkan dengan jam makan siang.

Jalan kami di iringi oleh tawa selalu, sikap humoris Balqis mampu membuat ku tertawa terpingkal, sedangkan Nuha sendiri mendengus samar.

"Dengan Mbak Hazna?" ucap santri perempuan padaku.

Aku pun mengangguk, lalu menaikkan alisku bertanya.

"Temen Mbak yang namanya Putri manggil-manggil nama Mbak terus di pusat kesehatan, dia pingsan di sana, udah ada Erin juga kok. Tapi kayaknya Putri maunya ketemu sama Mbak saat matanya kebuka," terang dia memberi tahuku.

Raut wajahku berubah menjadi khawatir, sementara Nuha dan Bilqis hanya mendengar. "Kalo begitu Hazna mau ke sana, Nuha sama Iqis mau ikut?" tawar ku di balas dengan gelengan.

"Iqis sama Nuha setelah Isoma di suruh Ustadzah Jihan buat bantu bersih-bersih di halaman, jadi nggak bisa. Maaf yah Iqis nggak bisa nemenin," ucap Balqis menjelaskan.

"It's oke, Hazna pergi dulu," pamit ku pada keduanya mengikuti santri perempuan tadi.

Sampainya di pusat kesehatan seperti 1 hari yang lalu ketika aku jatuh pingsan kini pintu ruangan tertutup, aku pun bingung dengan sikap aneh santri itu yang sudah lebih dulu mendorong ku agar aku masuk.

Halalin Hazna, Gus! [END]Where stories live. Discover now