2. Jadi bukan Agus?

22.2K 2K 18
                                    

•••

Dalam perjalanan menuju pesantren wajahku terus saja menekuk, padahal aku tadi masih ingin berlama-lama di makam ayah untuk mendoakan beliau. Tapi abang dengan seenaknya menyeret tanganku agar masuk ke dalam mobil bersama bunda yang sudah duduk nyaman.

Aku hanya melihat dari luar jendela mobil, berbagai kendaraan lalu lalang saat ini cukup padat. Wajah ku sama sekali tidak enak di lihat, handphone saja sudah di sita oleh bunda. Aku ingin sekali menghubungi Langit untuk terakhir kalinya, dan ketika sore waktu lalu paman Omar ternyata sudah berbicara pada Langit.

Entah mengapa rasa benci dan rindu terasa dalam satu waktu untuk mantan pacarku.

Pintu mobil terbuka membuat aku tersentak dalam diam ku, barang-barang ku sudah di bawa oleh abang keluar, sedangkan bunda mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menyambutnya lesu dengan bibir mencebik kebawah.

"Hazna ikhlas, 'kan?" tanya bunda mengelus kepalaku yang tertutup kerudung putih.

"Insya Allah Hazna ikhlas, Bunda." Aku menjawabnya dengan suara pelan.

Tangan ku dituntun oleh bunda untuk mengikuti abang dari belakang. Aku melihat sekitar, sepi dan sunyi. "Bunda, apa semua pesantren tidak berpenghuni seperti ini?"

"Astaghfirullah, Bunda lupa ngasih tahu Hazna kalo pesantren Al Hikmah sedang ada liburan untuk para santrinya."

Hatiku mulai girang sekarang. "Yasudah kita pulang aja yuk, Bun," ajak ku semangat.

"Eits, nggak bisa, sayang. Besok para santri juga akan masuk ke sini lagi, lagian liburan sudah 5 hari mereka lakukan," kekeh bunda geli melihat wajahku menekuk kembali.

"Yaaah," cebikku sambil mengusap keringat.

"Eh Kang Alman apa mau mondok lagi?" gurau seorang lelaki yang sepertinya sama umurnya denganku.

Dahi ku mengernyit dalam. "Alman siapa, Bun?"

"Nama panjang Abang kamu, Na," balas bunda membuat aku membulatkan bibir.

"Bukan saya Joy, tapi Adik," jawab bang Sauqi menunjuk ke arahku. "Kamu di sini memang tidak liburan juga?" tanya abang mendapat gelengan lirih dari lelaki itu.

"Yah Kang, mending saya di sini di kasi makan. Ya sudah, mau Joy antar untuk ke ndalem?"

Bang Sauqi pun mengangguk mengerti, "Boleh. Saya juga sedikit lupa, dilihat-lihat sekarang banyak bangunan baru di pesantren ini."

"Betul Kang, dengan bertambahnya santri di setiap tahunnya, pihak pengurus menambah bangunan-bangunan di pesantren. Saya sendiri juga sering ke sasar, sekarang lagi susah banget buat kabur," jelas Joy dan abang pun tertawa kecil namun begitu manis.

Kabur? Mengapa di otakku sama sekali tidak berfikir seperti itu. Tapi mendengar penjelasan dari lelaki bernama Joy membuat aku pusing, pasalnya memang bangunan di sini begitu banyak dan menjulang tinggi×panjang×lebar.

"Aduh," ringisku memegang jidat.

"Jalan nya yang bener, Na. Kasian jidat kamu makin jenong nanti," ledek bang Sauqi padaku.

"Yeee, jenong-jenong gini jidat Hazna bisa buat main sepak bola tau. Dari pada bang Sauq ada--" bunda dan Joy tertawa mendengar penuturan ku.

Sedangkan ketika aku akan mengatakan kata selanjutnya, mulutku di bungkam oleh tangan abang, aku meronta ingin di lepaskan. Sedikit kesal aku mendengus lalu mengangguk kepala, pasalnya Bang Sauqi tidak ingin ada orang lain yang tahu bahwa kepalanya ada 2 lingkaran yang tidak berambut, aku sih biasa menyebutnya 'pilak.

Halalin Hazna, Gus! [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя