24. Surat cinta

16.6K 1.5K 44
                                    

•••

Senyuman Neira aku tangkap dengan jelas, dia juga menaik turunkan alisnya seperti menduga saat semalam aku bersama sugus. Kami sedang sarapan bersama, namun Gus Athar tidak ikut karena dia masih tidur. Mungkin aku akan membawa makanan ini ke dalam kamar selepas sugus terbangun.

Melihat wajah kecapekan semalam namun Gus Athar tetap gencar memintanya berturut-turut, aku sebagai seorang istri pun hanya menurut.

"Na, aku nitip surat," ujar Neira tergesa ketika makanan dia sudah habis duluan.

"Surat apa?"

"Nanti dulu njelasinnya, aku mau ke toilet," tukas Neira berlari seraya memegang perut.

Tanganku dengan gencar akan membuka surat itu, namun seruan dari umi membuat aku terhenti.

"Biyan kenapa nggak turun makan ke sini, Na?"

"Ouh, Kecapekan Umi," jawabku, umi pun sama seperti Neira tersenyum-senyum.

"Bawain sekarang aja, Na. Umi paling tahu Biyan selalu kelaparan di jam-jam segini walaupun memang dia masih tidur," pesan umi dan aku pun setuju akan porsi makan Gus Athar.

Aku mengambil makanan beserta air minum untuk aku bawa ke kamar, biarkan saja untuk hari ini Gus Athar bersikap manja seperti itu. "Emm, Abi sama Gus Fadhlan kemana ya, Umi?" tanyaku baru merasa.

"Abi sama Fadhlan sedang joging bersama, Umi juga nggak tahu kenapa sampe sekarang mereka berdua belum pulang," balas umi memberitahu padaku.

"Begitu yah, Hazna ke kamar dulu ya Umi, bentar lagi Neira ke sini lagi kok," kata ku berlangsung pergi setelah Umi Azizah mengangguk.

Benar saja ketika aku baru membuka pintu kini menampilkan wajah datar khas Gus Athar sembari tangannya bersedekap dada, dia menyuruhku agar duduk di sampingnya. Aku masih membawa makanan pun menaruhnya terlebih dahulu, bersama surat pemberian Neira yang aku simpan di laci kecil.

"Seharusnya ketika bangun saya melihat kamu dulu, tapi malah nuansa tembok kamar," tukas Gus Athar menyembunyikan kepalanya di ceruk leherku.

"Kok kamu nggak capek kaya saya," heran Gus Athar menyibak kerudungku dan lebih leluasa untuk Gus Athar menghirup aroma dari leherku.

Aku di buat geli karena kumis kecil yang sudah tumbuh di dagunya. Dan apa tadi, capek apa yah? Semalam malah lebih capek, namun rasa capek itu hilang ya ketika sudah bangun tidur. Tapi berbeda dengan Gus Athar yang capeknya sampai sekarang. Mungkin bisa jadi juga karena semalam dia habis pulang dari mengisi ceramah.

"Kan Gus belum makan, nah kalo Hazna udah makan. Jadi sekarang suami Hazna makan dulu," ucap ku mendapat tatapan memelas darinya. "Iya, iya. Hazna akan suapin."

Langsung saja wajah Gus Athar kembali berseri, belum juga aku menyendokkan nasi eh sugus sudah lebih dulu melebarkan mulutnya.

"Jangan cepet-cepet, Hazna masih di sini kok. Sunnah Rasul loh ngunyah nya sebanyak 33 kali."

Mendengar perkataan ku, Gus Athar memelankan kunyahannya. "Saya lupa Nana. Terimakasih sudah mengingatkan."

"He'em, Aaaa lagi, pesawat datangggg," goda ku terkekeh kecil, sedangkan Gus Athar mengunyah dengan tatapan masam.

Gus Athar terlihat seperti anak kecil, "Nah kan habis. Sekarang bayi besarnya Hazna minum susu dulu," kata ku menyerahkan susu cokelat kesukaan nya.

Melihat jakun Gus Athar naik turun ketika menenggak susunya membuat aku memekik tertahan di dalam hati.

Langsung saja aku mengalihkan tatapanku ketika suamiku ini menatap ku balik. "Saya sudah makan dan minum, belum mandi. Apa kamu mau mandikan saya juga?" seringai Gus Athar menggoda.

Halalin Hazna, Gus! [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora