25. Seribu kata maaf

16.9K 1.6K 19
                                    

•••

"Alif! Jika kamu sembarangan buang angin lagi, saya pindahkan kamu ke kandang sapi," tegur Gus Athar masih menyumpat hidungnya. Ia merasa kebauan akibat kentut salah satu santri yang kini berada di ranjang tengah, Alif juga menjadi partner untuk sekamar dengannya

"Makanan kamu dan saya sama, kenapa baunya tidak hilang-hilang?!" enek Gus Athar sembari mendekap mulutnya sendiri dengan bantal yang ada.

Alif sendiri sudah mendengkur keras, lelaki itu buang angin dalam keadaan masih tertidur.

Argh!

Lebih baik lagi tidur di ndalem, dapat kasur empuk serta pelukan hangat. Apa ucapan waktu pagi tadi bisa ia tarik? Akan mati rasa bila harus seperti ini semalaman, bahkan untuk hanya memejamkan mata sejenak terasa sangat susah.

Gus Athar dalam tidurannya membayangkan kejadian dimana ia kehilangan kontrol. Air mata itu, lagi-lagi penyebabnya ialah dirinya. Entah dorongan dari mana ia tak ingin sekalipun mendengarkan penjelasan mengenai surat itu, amarah pagi tadi memuncak hingga dengan jelas ia membentak istrinya yang rapuh.

Bodoh!

Ia memaki dirinya sendiri, tak lama begitu berlanjut beristighfar.

"Saya akan menemui kamu dengan cara apapun!" tegas Gus Athar, bangun dari kasurnya yang berada di paling atas.

Bunyi langkah kaki ketika akan turun dari kasur pun terdengar oleh Alif, satu santri lainnya yang tertidur di kasur berlantai paling bawah nampak begitu terlelap.

Alif mengucek matanya samar-samar melihat punggung seseorang keluar dari kamarnya. "Genderewo," gumam Alif menguap ngantuk.

Punggung itu dari belakang terlihat besar, apalagi perawakannya yang tidak terlalu berotot, membuat bayangan Alif menjadi kemana-mana. Daripada dirinya pusing karena porsi tidurnya terhambat, lebih baik Alif tak memikirkan siapa sosok itu sebenarnya. Semoga saja memang bukan genderewo dengan rambut yang acak-acakan.

Gus Athar berjalan dengan lesu sambil mengendap-endap, padahal dirinya anak dari ketua yayasan pesantren tapi, entah mengapa ia tidak ingin siapapun tahu mengenai hal ini. Gus Athar malas untuk menjawab ketika ada yang menanyainya, hanya itu.

"Assalamualaikum."

Masuk ke dalam ndalem dari pintu belakang suasana begitu senyap, ia menghela nafasnya. Di lanjut lagi terdengar suara TV yang masih menyala menjadi atensi Gus Athar untuk melihat, terlihat di sana sepasang suami istri berkepala lima itu duduk berduaan, sangat romantis.

Kepala umi berada di bahu abi, dan sepertinya umi tertidur dengan menampilkan layar TV berupa tontonan sepak bola.

Abi Akbar merasakan kehadiran seseorang pun mengalihkan perhatiannya, tatapan abi begitu datar ketika tahu siapa yang datang. Abi Akbar mengelus tangan istrinya lembut di saat tahu sang istri akan terbangun.

"Sudah menyesal?" tanya abi tanpa menatap anaknya. "Hati perempuan itu sangat lembut, bentakan sekecil apapun pasti akan sangat membekas dalam hatinya. Dan yang kamu lakukan pagi tadi sudah di luar batas apalagi surat itu bukan sepenuhnya untuk istrimu. Bujuk dia, jangan sampai kamu kehilangan sosok pemegang hatimu, Biyan."

Abi menjelaskannya dengan nada tegas, tangan Abi Akbar berada di sisi kedua telinga Umi Azizah guna tidak ada suara yang terdengar dan membangunkannya.

Gus Athar mengangguk lemah, "Biyan ke kamar dulu," pamitnya berlangsung pergi.

Kamar gelap, namun telinganya mendengar suara gemericik air yang mengalir dari kamar mandi. Padahal dari selama tidur bersama, lampu tak pernah mati barang sekian detik pun. Tidur dalam keadaan terang selama menyandang status suami, Gus Athar mencoba untuk bertahan, dan akhirnya ia bisa.

Halalin Hazna, Gus! [END]Where stories live. Discover now