30. Arena balap liar

15.5K 1.4K 15
                                    

•••

Hari ke hari, minggu ke minggu, hingga saat ini kandungan ku sudah berada di bulan ke 4. Perbedaan perutku yang dulunya terlihat begitu datar sekarang sudah sedikit menonjol. Bisa di pastikan juga berat badan ku akhirnya naik sesuai permintaan suamiku dari dulu di saat pernikahan kami masih hangat-hangatnya.

Sudah tiga hari menjelang acara 4 bulanan untuk bayiku, aku hanya duduk diam diri saja. Sembari juga memakan makanan yang sudah di anjurkan. Mereka semua sedang sibuk sendiri menyiapkan acara malam nanti. Tidak dengan diriku yang hanya duduk berselonjor, aku juga menikmati pijatan dari seorang wanita berumur 55 tahun itu.

Di saat sedang nyaman mataku akan tertutup, tiba-tiba saja kakiku terasa berpindah. Semua karena ulah Gus Athar yang saat ini duduk dengan menumpukkan kakiku di pangkuannya. Dia baru saja datang sudah menampilkan senyum misterius, jika sudah begini maka masa ngidam nya pasti kambuh.

Ya Allah, semoga tidak aneh-aneh lagi. Seperti minggu kemarin, Gus Athar meminta Bang Sauqi untuk melakukan persepsi pernikahan yang mempelai wanitanya ialah anak dari Pak RT, sempat juga lho waktu itu bunda menjodohkan abang dengan anak itu.

Tapi apakah Bang Sauq menerima? Yang jelas tidak! Pernikahan itu hanya bohongan semata. Meski begitu, di lakukan secara resmi seperti pernikahan lainnya.

"Mbok keluar ya, Nduk. Takut nganggu keromantisan kalian berdua." Mbok Nani pergi setelah membereskan peralatan pijatnya.

Aku merasakan tangan Gus Athar yang kini malah memijit kakiku pun merasa enggan, beberapa santri yang membantu masak-masak di ndalem  sempat memperhatikan ku dengan suamiku ini.

Ketika Gus Athar tiba-tiba saja membawa tubuhku dalam gendongannya, aku hanya bisa menghela nafas panjang. Beruntungnya tadi tanganku langsung merangkul indah area lehernya.

"Untung Bacul masih tenang-tenang aja di dalem perut Hazna. Kalo enggak, pasti baju Gus sudah banyak muntahan Bacul."

"Bacul? Kamu menamakan anak kita dengan Bacul?" tanya Gus Athar dengan nada tajam. "Nama apa itu, sangat tidak kreatif!"

"Nama baru buat dede bayi tau, ini juga rekomendasi dari Bunda. Bacul, bayi ucul," semangatku memberitahu padanya.

Gus Athar pindah posisi semakin merapatkan tubuhnya padaku, sekarang kami berdua sudah berada di kamar.

"Masih banyak nama-nama ucul atau apalah yang kamu sebut itu, daripada Bacul, sayang."

Dih, sok ngatur!

"Ini udah bagus! Nggak bisa di ganggu gugat buat ganti, nanti Bunda juga ikut sedih kalo nama Bacul di ganti sesuai kata kamu," tolakku sambil memeluk perut.

"Ya sudah, saya akan beri tahu Bunda kalo nama itu enggak bagus sama sekali. Tidak memiliki arti yang jelas, sangat jelek," ejek Gus Athar semakin menjadi.

Apa ini orang nggak tau apa ya, kalo ibu hamil itu sangat sensitif!

Lihat saja, aku memandangnya begitu menyedihkan. Dia mengata-ngatai sebutan yang sudah dari lama ini aku inginkan untuk bayi ku, padahal nama ini yang hanya nyangkut di otakku untuk aku keluarkan.

"Kamu lebih baik pergi, deh, Mas!" usir ku mencoba mendorong tubuh besarnya. "Hazna capek ngeladenin nya. Kalo baik mah Hazna jabanin sampe tengah malem juga kuat, eh ini malah ngata-ngatain anaknya sendiri!" Aku meliriknya sinis.

Tatapan yang tadinya saling bermusuhan kini Gus Athar kembali tenang, sikapnya memang sering kali berubah akhir-akhir ini.

"Sekarang enggak akan ngata-ngatain lagi. Mas nyamperin kamu juga ada alasan tertentu yang harus kamu setujui demi terwujudnya masa ngidamnya Mas," tukasnya begitu serius.

Halalin Hazna, Gus! [END]Where stories live. Discover now