1. Perginya sang Pahlawan

28.9K 2.3K 58
                                    

•••

"Bunda kecewa sama Hazna."

Lontaran itu sangat menyayat di hati saat pertama kalinya bunda mengatakan kecewa untuk ku ini. Dan beliau pun sama sekali tidak menghadap ke arahku, mata bunda mengalihkan pandangan dengan air mata yang sudah mengalir deras.

Ketika aku akan menghapus buliran di pelupuk mata bunda, tangan besar ayah menghalangiku terlebih dulu. Aku pun sedikit tersentak akan tatapan tajam ayah yang menghunus ke arah retina ku. Tak lain dari responku langsung menunduk, menghindari tatapan itu.

"Kami merasa gagal mendidik kamu, Na."

"Apa sikap lembut Bunda membuat kamu menjadi manja? Apa sikap tegas Ayah selama ini tidak berguna?"

"Apa Abang Sauqi tidak mencegah kamu berkeluar malam?"

"Apa dan apa bagaimana kamu bisa bertindak tidak senonoh seperti itu, Na?!" bentak ayah sudah tidak kuat lagi, kedua tangannya pun mengepal erat.

Aku sendiri menangis sejadi-jadinya. Bukan, bukan karena bentakan itu tapi karena keluargaku yang sepertinya merasa gagal dalam mendidik ku. Padahal mereka baik, sangat baik untuk menjadikan ku tumpuan hidup seorang anak, adik, putri, dan segalanya.

Mata ayah memerah dengan dadanya yang bergemuruh. "Ayah memang tidak melarang kamu untuk bergaul dengan siapapun, tapi sebuah hubungan tanpa adanya ikatan halal Ayah tidak bisa mentoleransi itu."

"Apa kamu tidak tahu, jika nanti Ayah meninggal, Ayah yang akan tersiksa di sana. Kamu ingin Ayah seperti itu? Kamu tidak ada kasihan sedikitpun ketika malaikat Zabaniyah mendatangi Ayah membawa batu (kerikil) panas hingga otak Ayah hancur dan mendidih di neraka?!"

"Jika hanya Ayah yang mendapatkan siksaan itu mungkin Ayah sanggup, tapi Bunda yang sudah melahirkan kamu rasanya siksaan itu ingin untuk Ayah saja," papar ayah dengan tangisannya yang lirih.

Lama terdiam mendengarkan, aku pun memeluk tubuh tegap ayah. "Nggak Yah, nggak!" timpal ku menahan segala rasa sesak di dada.

Ayah menggelengkan kepalanya lalu terkekeh pedih. "Ayah, Bunda, dan Abang masih bersama Hazna saja sudah bisa melanggar aturan, apalagi kalau kami meninggalkan Hazna. Memang Hazna sanggup sendirian tanpa adanya pembimbing?"

"Jangan bilang seperti itu, Ayah. Tanpa kalian Hazna bukan apa-apa, Hazna janji sekarang akan nurut sama kalian. Hazna akan putusin Langit besok," cetusku menyeruak.

Tangis bunda mulai berhenti setelah aku mengucapkan itu, bunda hanya duduk di sofa sembari mengusap sudut air matanya yang tersisa. "Hal untuk kebaikan jangan di tunda-tunda, Na," pesannya dalam.

"Iya Bunda, setelah dhuhur Hazna akan memutuskan Langit di taman."

"Jangan bertemu dengan anak itu lagi, Ayah tidak ingin kejadian kalian berciuman kembali terulang. Biar Ayah saja yang akan menelpon dia lewat video call, dan Hazna sudah janji akan menurut pada kami, 'kan?" tanya ayah membuat aku mengangguk pelan

"T-tapi Hazna nggak lakuin itu, Yah," lirihku sangat kecil.

Setelah ayah mengatakan hal tadi hawa di sini sudah mulai berbeda. Aku melihat tatapan ayah tidak seperti biasanya, tatapan itu lebih ke arah misterius.

"Besok Hazna akan Ayah masukkan di pondok pesantren Al Hikmah."

Mataku spontan saja membulat sempurna, hellow?! Untuk tidak pacaran aku masih bisa, tapi kebebasan di tempat itu yang sangat kecil untuk aku keluar bersama teman-teman saja rasanya tidak mungkin. Mengapa ayah sampai berfikir untuk memasukan ku ke situ, sih!

"Abang Sauqi pasti yang sudah ngasih saran ke Ayah, soalnya Abang juga dulu alumni di sana. Tapi untuk sekarang Hazna nggak siap, Yah."

"Jadi Hazna lebih memilih Ayah kesakitan?" tanya ayah terkekeh, lalu sebelum aku menjawab sudah lebih dulu bunyi pukulan terdengar jelas di indera pendengaran ku. Tangan Abang Sauqi yang membawa sapu itu dia pukul ke arah punggung ayah.

Bug!

"Lagi Sauqi."

Terlihat wajah abang sangat tertekan, tangannya pun bergetar akan rona merah di punggung ayah yang mulai berbekas. Aku menggeleng keras melihatnya, tidak! Aku tidak ingin ayah kesakitan.

Bug!!

"Lebih keras Sauqi!" perintah ayah berusaha tegar.

Bug!!!

"Cukup Ayah! Hazna nggak kuat," resahku memeluk tubuh ayah kencang. "Iya, Hazna akan masuk ke pesantren," lanjutku membuat mulut ayah mengeluarkan suara ringisan kecil.

Ayah balas memelukku, dia mengelus surai rambutku halus. "Terimakasih karena Hazna sudah mau nurut sama Ayah, jangan buat Bunda dan Abang nangis karena kekecewaan lagi," lirih ayah dengan tubuh lemas.

Mataku tidak kuat lagi untuk mengeluarkan air mata, ayah rela melukai dirinya sendiri agar aku masuk ke dalam jalan yang benar. Aku merasa miris pada hidupku telah membuat ayah tersiksa karena diriku ini, walau didikan ayah tegas tapi dia sama sekali tidak pernah melukai ku secara fisik ataupun mental.

"Ayah Hazna Ayah terbaik sedunia," bisik ku di telinga ayah.

"Sekarang Hazna ingin lihat wajah Ayah, lepas dulu dong pelukannya," rengekku padanya.

Susah payah aku melepaskan pelukan namun tubuh ayah terasa begitu lesu, aku pun meminta tolong pada abang agar dia membantu ku. Aku lalu bernafas lega bisa melihat wajah damai ayah yang matanya tertutup.

"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun," lirih abang meneteskan air mata.

Duniaku terhenti mendengar kalimat yang terucap di mulut abang, badanku tiba-tiba saja mundur ke belakang. Akhirnya aku terjatuh dengan sendirinya di lantai rumah, raga itu telah hilang. Ayah telah pergi meninggalkanku setelah menuntun diriku dengan baik untuk terakhir kalinya.

Bunda tersenyum pedih, beliau menyuruhku untuk mendekat padanya. Aku pun menurut berjalan lunglai ke arah bunda, lalu tanpa permisi rintik air mataku mulai deras ketika sudah berada di pelukan bunda yang sudah menangis pula.

"Pesan terakhir Ayah harus Hazna terima dengan ikhlas, yah sayang. Dan soal memutuskan hubungan kamu dengan Langit biar Paman Omar kamu saja yang mengurusnya," urai Bunda mulai bernafas tidak teratur.

"Ayah pergi setelah tujuannya selesai, Bunda. Hazna takut Ayah sendirian di sana, Hazna ikut Ayah saja yah Bunda biar Ayah ada temennya," pintaku mendapat gelengan tegas oleh bunda.

"Hazna!" bentak Bang Sauqi setelah membawa tubuh ayah pada sofa empuk.

Abang Sauqi mendekat ke arahku, dia menatap wajahku dengan tatapan tajam. "Jangan bicara seperti itu, Abang sama Bunda ada untuk Hazna. Ayah di sana sudah tenang jika Hazna menurut, kalau Hazna ingin ikut dengan Ayah, beliau akan sedih atas apa yang sudah Hazna buat. Mengerti?!" tegur abang kembali melihat wajahku dengan penuh prihatin.

"Untuk sekarang kita urus proses pemakaman Ayah. Kamu kabari Paman, Bibi, dan keluarga lainnya," perintahnya lanjut.

"Iya," balasku lesu berlari naik ke kamar.

Aku masuk ke kamar untuk menangis sejadi-jadinya, tidak ada yang di inginkan hal ini terjadi begitu cepat. Ayah segala-gala nya bagiku, tapi sekarang tiada tempat curhat untuk ku menaung lagi.

Apalagi besok aku akan masuk ke pesantren, rasanya aku ingin menundanya terlebih dahulu. Biarkan aku berkunjung pada makam ayah selalu. Bolehkah seperti itu? Semoga saja bunda dan abang menyetujui permintaan ku ini yang mungkin mustahil untuk di kabulkan.

•••

Bagaimana untuk bab pertama di cerita ini, prend, bro, sis, kawan, kakak?

Semoga suka dan suka selalu, Aamiin.

Message : Jangan butakan hati kalian demi cinta dan membuat orang tua yang terkena imbasnya.

Sampai ketemu lagi di bab selanjutnya!

Love, -Wii

Halalin Hazna, Gus! [END]On viuen les histories. Descobreix ara