35. Masuk angin

16K 1.4K 24
                                    

•••

Sudah lima bulan lamanya kejadian di mana aku di culik masih saja sekilas terbayang. Aku mengelus perut ku yang sudah sangat besar ini, dalam beberapa hari kedepan dokter sudah menyuruhku untuk langsung saja di rawat inap. Namun aku menolak, tidak ingin lama-lama di ruangan serba putih itu.

Aku setiap saat hanya duduk manis di temani oleh makanan ringan yang tersedia. Mendengar pintu kamar ku terbuka menampilkan anak lelaki ku, aku menyuruhnya duduk. Dia Ali Hazbi Kaysan, yang sebelumnya anak lelaki itu tidak di beri nama semenjak ia lahir.

Inisiatif untuk mengangkat anak dari lelaki yang saat ini kedua orangtuanya telah tiada itu aku usulkan pada suamiku ketika kami di waktu 5 bulan yang lalu akan menuju ke rumah sakit. Aku tidak tega melihatnya yang hanya melamun sendirian di dalam gedung, apalagi di kabarkan jika dalam 3 menit kedepan gedung itu akan hancur.

Ketika aku dan yang lainnya akan keluar, aku kembali lagi menyeret anak tak berdosa itu. Dan sekaranglah dia tumbuh menjadi pribadi yang hangat, tidak seperti di awal-awal aku mengajaknya berkomunikasi, kaku. Hazbi, anak lelaki pertamaku ini begitu menghormati ku yang padahal bukan akulah ibu kandungnya.

Seperti saat ini, ia memijit kakiku yang padahal saja tangan Hazbi sedang membawa eskrim. Pasti ini ulah Gus Athar, mereka sudah aku peringatkan untuk tidak memakan eskrim dalam kondisi keduanya masih belum sehat. Tapi tetap saja di bantah, membuat aku geram seketika.

"Dimana Abba kamu, Bang? Umma ingin jewer telinganya."

Hazbi menggeleng polos, menaruh eskrim nya di atas laci kecil karena susah juga sambil memijit sang ibu.

"Umma, Dede bayi akan lahir, 'kan?" Hazbi bertanya dengan tatapan yang sekarang sudah berkaca-kaca.

Aku merasakan aura tidak enak dari anakku. Ku tepuk pinggir kasur yang masih banyak tempat agar ia bisa duduk di dekatku. "Iya sayang. Bacul nya Umma pasti lahir dan tumbuh dengan sehat. Kamu kenapa, Hm? Nggak biasanya seperti ini."

Kening Hazbi yang sebelumnya mengkerut sedih sekarang ia bernafas lega. "Abang takut nanti Dede bayi lebih milih surga duluan kaya calon adik dari teman Abang," lirih Hazbi mengunyel-unyel kaosnya sendiri.

Aku tidak tega melihat wajah sedih anakku, aku pun membawanya pada pelukan. Menenangkan ia agar memberi tahu bahwa anak lelaki tidak boleh cengeng.

"Bacul kuat kok sayang, apalagi Umma nya ini. Gini-gini perut Umma yang dulunya banyak lemak suka olahraga lho, bareng Abba kamu tentunya," ucapku di akhiri dengan kekehan kecil.

"Kalo Umma dan Abba ingin olahraga aku ikutan yaaa, Abang kepengen nanti perutnya bisa kaya Abba yang banyak kotak-kotak," binar Hazbi terpancar jelas.

Saat akan menjawab perkataan anakku, tiba-tiba saja suamiku ini datang langsung menubrukan diri di kasur tempat kami sedang beristirahat.

"Kamu nggk boleh ikut, Bang. Sangat tidak di bolehkan untuk anak kecil ikutan olahraga diantara kedua orangtuanya," usul Gus Athar dengan tangan yang fokus memijit keningnya.

Aku cemas sejenak, mengecek suhu di kening Gus Athar dengan telapak tanganku, dan hasilnya cukup panas.

"Memangnya olahraga yang kalian lakukan itu bahaya, yah?" tanya Hazbi dengan nada lesu.

"Bukan bahaya lagi, tetapi--"

"Sudah Mas! Jangan ngelantur ngomong yang enggak-enggak sama anak kecil!" Aku memprotes dan menyelanya. Bisa-bisa otak Hazbi ku yang masih polos ini akan tercemar layaknya air sungai yang tak di jaga.

Halalin Hazna, Gus! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang