11. Waktu yang salah

17.5K 1.7K 23
                                    

•••

Dari semenjak kejadian waktu itu, Gus Athar selalu menghindar bila aku mendekatinya. Sangat tidak menyangka sekali ternyata dia sudah mencintaiku begitu dalam, aish! Senangnya dalam hati...

Lihat saja, di hari terakhir aku mengajaknya untuk pergi ke kebun teh milik keluarga Vito aku dengan paksaan entah sudah berapa kalinya akhirnya Gus Athar mengalah. Segala bujukan ku akhirnya tidak sia-sia karena melihat pemandangan super indah ciptaan sang pencipta.

Aku, suamiku, Vito, dan satu anak perempuan yang umurnya masih 4 tahun itu merupakan adik kandung Vito. Namanya Jihan, pipinya begitu gemoy dengan bulu mata panjang nan lentik. Aku pun meminta Vito agar Jihan untuk aku gendong.

"Jihan udah bisa ngomong 'R' ?" tanyaku mendapat gelengan lesu darinya.

"Belum. Huluf 'L'  itu susah banget, Aunty,"  cemberut nya dan benar belum bisa.

Dengan tangan ku yang jail aku mencubit pipinya hingga Jihan menatapku musuh. Kakinya menghentak-hentakkan dalam gendonganku. Di tambah lagi wajah menahan tangis bocah 4 tahun sangat khas dalam pandangan ku.

"Tulunin Jihan! Aunty kila pipi aku loti apa?!" kesalnya dengan tangan yang kecil itu ingin menggapai tubuh suamiku.

Aku berpura-pura sedih. "Tapi memang kaya roti," ledekku memeletkan lidah ketika Jihan sudah ada di gendongan sugus.

"Huwaaa, Jihan itu manusia bukan makanan!" tangis Jihan akhirnya keluar.

Uluh uluh, aku bukannya membuat anak itu berhenti menangis tapi ingin dia lebih menangis kencang dari ini. Sebagai anak terkahir di keluarga, padahal aku selalu meminta bunda agar di berikan adik. Tapi bunda menolak, berbeda dengan ALM Ayah yang semangat ingin menuruti permintaan ku.

Kata bunda yang waktu itu melihat aku dengan selalu menjahili keponakanku, lalu bunda beralasan jika aku di berikan adik pasti akan menjadi bahan permainan ku. Bunda tidak tahu saja kalo aku memiliki sifat lembut juga penuh kasih sayang di dalam diriku yang masih tersembunyi. Dan kalian harus percaya!

Ketika merasa usapan halus di kepalanya, dia langsung saja menghentikan tangisannya. Jihan menatap Gus Athar dengan senyum malu-malu seperti kucing. "Uncle, kalo Jihan udah besal, mau ngga jadi pacal aku?"

"Aku bisa masak, bisa dandan, bisa tidul, bisa makan, ngga kaya Aunty itu yang bisanya bikin olang kesel," rayu nya seraya mengolok-olok diriku.

"Boleh," tanggap Gus Athar membuat darahku mendidih.

Apa-apaan ini?! Masa aku kalah dengan anak kecil sih, bocah itu merayu suamiku begitu mudah. Beda sekali dengan diriku jika aku sudah merayu, bukan respon seperti yang Jihan dapatkan tapi hanya tatapan datar darinya.

"...Tapi kalo istri Uncle setuju," ulasnya dengan menatap ke arahku.

Oh tidak, tatapan maut itu bisa saja aku lebih terpesona dengan ketampanannya yang tiada tara.

Bocah itu menatap curiga ke arahku. "Emang siapa istli Uncle? Jihan kalah stalt nih dali dia!" sungutnya tak terima.

"Anak kecil nggak boleh kepo," timpal ku meledek.

"Adik kamu aktif banget ya, Vito," alihku pada lelaki yang hanya melihat semua perdebatan dengan tangannya membawa kamera.

Vito berdehem tidak enak. "Emang udah dari sananya, keturunan Ibu saya lebih banyak nurun ke Jihan."

"Ih udah ah! Ngomong apa si kalian beldua, di sini panas tau. Ayo Uncle, kita cali es kelapa muda aja," ajak Jihan menunjukkan tangannya ke arah pintu keluar dari perkebunan teh.

Halalin Hazna, Gus! [END]Where stories live. Discover now