23. Malam Jumat

17.1K 1.6K 15
                                    

Assalamualaikum, Hi!! Salam hangat dari watashi untuk yang membaca. Syukran buat 10k pembaca lebih ^^ ! Alhamdulillah banget. Seneng!

•••

"Aduh."

Dimana suara itu? Suara ringisan tanpa adanya orang bagaimana bisa hal itu terjadi. Bukankah hal tersebut bisa juga di namakan jin, Ya Allah. Aku baru beberapa minggu tinggal di ndalem, tapi mengapa di hantui seperti ini.

"Siapa di sana?"

Aku berjalan takut melihat tepat di balik tirai jendela seperti ada seseorang, jika bukan kunti berambut panjang lalu, setan perempuan apa yang memakai kerudung. Sifat paranoid ku akan ketakukan memang tidak bisa di hilangkan, tapi aku memang tipikal orang yang penakut super akut.

"Kenapa juga masang jendela di sini," ketus orang itu mengadu sembari memencet kepalanya yang terasa berdenyut.

"Padahal kan tadi pengen ngintip dikit pacaran setelah menikah tuh kaya apa, mumpung ini malam Jumat juga, tapi malah apes begini." gerumelnya berlanjut sampai aku menatap perempuan itu yang masih belum tahu jika aku sudah ada di balik jendela.

"Mana lupa kalo Mas Biyan lagi ngisi ceramah." Neira menepuk jidatnya pelan.

"Neira, kamu jangan suka ngintip! Nanti matanya bintitan mau?" ancam ku seperti orang-orang zaman dulu.

Neira menyengir lugu dan sedikit terkejut, dia mengatupkan kedua tangannya. "Nggak peduli, aku cuma mau tau gimana rasanya jadi istri."

Menunggu aku menjawab lama, Neira menatap aku dengan tatapan serius.

"Mumpung Mas Biyan belum pulang gimana kita nongki-nongki dulu di balkon kamar aku, nggak baik tahu sendirian di kamar apalagi ini malem banyak setan." pinta Neira sembari menakutkan diriku, dia sendiri masih berada di luar. "Sambil minum susu cokelat panas juga," sambung Neira membayangkan kenikmatan itu.

Aku duduk di kursi yang sudah di sediakan oleh adik ipar ku ini, yang kulihat sebenarnya Neira ternyata tidak selugu yang aku kira, gadis itu terbilang sangat cerewet dan suka bersikap jahil sama seperti diriku ketika sedang bersama Bang Sauq.

Cokelat panas sudah di siapkan sedari tadi oleh Neira, tapi bukan panas lagi, tapi berubah menjadi dingin. Rencana gadis itu terlambat.

"Mas Biyan romantis?" tanya Neira to the point.

Aku pun mengangguk, dari siamiku selalu mencium keningku di setiap pagi, ikut mengeringkan rambutku yang masih basah, hingga terkadang sering mengajak berjalan-jalan walau hanya memakan makanan di pedagang kaki lima. Apalagi ketika sikap manja Gus Athar keluar, dia selalu menempatkan kepalanya di pahaku dan meminta untuk aku mengelus rambut, juga alis super tebalnya.

"Pake banget?!" pekik Neira menahan rasa iri. Neira mengambil bonekanya lalu gadis itu menggigiti sampai berbekas gigitan.

"Romantisnya kaya gimana?" Neira bertanya lagi namun dengan nada memaksa.

Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka menampilkan wajah lelah Gus Athar. "Yang jomblo tidak boleh tahu."

Suara Gus Athar ketus namun serak. "Lain kali jika ingin ngambil Nana dari saya kamu harus izin dulu."

"Memangnya istri Mas Biyan barang apa, asal ceplas-ceplos aja bilang begitu," sela Neira ketika Gus Athar sudah memegang tanganku.

"Nei, saya sudah kangen berat sama Nana. Kamu harus ngalah sama Mas yang udah jadi suaminya!" tutur Gus Athar mulai berdebat dengan Neira, pandangannya pun tajam.

Halalin Hazna, Gus! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang