DIRGANTARA (SELESAI)

By Sofie715

928K 60.3K 6.4K

[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, KARENA SEBAGIAN CHAPTER SUDAH DI PRIVAT❤️] "Burung yang sudah tertangkap, tidak... More

P r o l o g
1.Tatapan Mata
2.Dirgantara
3.Masalah
4.keroyokan
5.Leopard
6. Pertarungan (1)
7.Pertarungan (2)
8.Keluarga
9.Awal masalah
10.Rasa ketakutan
11.Begajulan Leopard
12. Perseteruan
Cast of story
13.Hukuman
14.Pertemuan kedua
15. Permulaan
16. Peliharaan?
17. Kedatangan Talos
18. Diserang! (1)
19. Diserang! (2)
20. Secarik kertas
21. Bermain?
22. Bajingan
23. Anjing peliharaan
25. Insiden
26. Sentuhan
27. Tercium
28. Pelukan kedua
29. Sisi baiknya
30. Giliran pipi?
31. Dia, siapa?
32. Nervous
33. Kerja bakti sekolah
34. Melindungi, atau menyakiti?
35. Kekangan Dirga
36. Tidak rela?
37. Amarah Dirga
38. Diluar kendali
39. Nggak sengaja, katanya?
40. Kehangatan Dirga
41. Dia demam
42. Sipeneror cokelat
43. Marah?
44. Perdebatan
Baca, harus teliti
45. Rengkuhannya
46. Hilangnya senyuman
47. Sebatas kasihan?
48. Takdir cinta
49. Dua hati?
50. Lembaran baru
51. Hari bahagia
52. Merelakan
53. Ikatan pertemanan
54. Pembuktian cinta
55. Malam bersamamu
56. Janji sang senja
57. Hari tanpa Dirga
58. Malam kehancuran
59. Dekat, tapi jauh
60. Hanya kamu
61. Tercerai-berai
62. Hanya sesaat
63. Takdir yang berbicara
64. Kejutan semesta
65. Suka dan Duka
E p i l o g
Kabar gembira? Atau...
Spin off
New story!
Halo...

24. Bertemu lagi?

9.9K 711 38
By Sofie715

Yang minta romance nya kapan, sabar ya sayang, semuanya itu butuh proses & nggak bisa instan.

Kaya biasa, vote dulu sebelum membaca, dan coment sesudah membaca❤️

HAPPY READING⚫


Bau khas rumah sakit menyeruak masuk kedalam indera penciuman, hingga menemani setiap detik waktu kebersamaan.

Didalam ruangan serba putih, dengan pencahayaan yang terang, kedua manusia berbeda gender itu masih saling diam sampai sekarang.

Hanya keheningan, yang senantiasa meyelimuti malam penuh hembusan angin ini dengan elok.

"Kamu itu nekat," setelah lama saling terdiam, akhirnya Alexa memulai lebih dulu. "Kamu itu bodoh, kamu sok berani! Kamu selalu melakukan tindakan tanpa peduli resiko!!" sambungnya.

"Kamu tau siapa Dirga kan?? Kamu tau siapa iblis itu kan?! Kenapa kamu tetep nekat lawan dia, Steven?! Kenapa kamu gegabah??!" Alexa mengomel sampai rasanya tanpa nafas.

Benar, Steven sudah sadar dari beberapa jam yang lalu. Wajahnya tertutup nyaris sempurna menggunakan perban, hingga tinggal menyisakan kedua mata serta mulutnya. Hemm, Steven jadi mirip seperti mumi.

Ah, jangan lupakan bahwa salah satu tangan Steven, tepatnya sebelah kiri, itu tergantung akibat tulang sikunya yang berpindah posisi.

Tangan kirinya terkilir saat Dirga melemparnya hingga menyebabkan tulangnya bergeser. Dan ya, tangannya diharuskan tergantung demi proses pemulihan.

"Maaf," jawab Steven serak. Ia menatap teduh wajah Alexa. "Maaf, karena selama ini___ gue nggak tau kalau lo, diperlakukan rendah sama si brengsek itu." Jelas sekali, saat Steven menekan ucapannya dibait terakhir.

Pancaran amarah, lagi-lagi bersinar dikedua netranya. Steven masih tidak terima, dengan perlakuan bejad Dirga kepada sahabatnya.

Kekalahan, bukan suatu penyesalan baginya. Ini menyangkut Alexa, salah-satu orang terpenting, yang masuk kedalam daftar list kehidupannya.

"Kamu selalu bilang, kalau aku nggak pernah mentingin diri aku sendiri. Tapi nyatanya, kamu yang nggak pernah pentingin diri kamu sendiri!" tegas Alexa. Emosi gadis itu perlahan memuncak, bersamaan dengan kilatan bening yang muncul dikedua bola matanya.

"Kamu itu bego! Lihat, gimana keadaan kamu sekarang ini. Gimana rusaknya keadaan kamu hanya karena perkelahian nggak penting itu!!"

"Kamu nggak perlu berantem sama dia karena aku! Nggak perlu Steven, nggak perlu! Aku benci pertikaian, aku benci!!" luap Alexa geram. Tersulut emosi, hingga gadis itu menitikan air mata.

Cepat-cepat, Steven mendekapnya. Merengkuh tubuh ringkihnya yang bergetar dengan satu tangan. Dia memeluknya erat, sangat erat, seolah tidak akan pernah melepaskannya.

Steven tahu, sangat tahu bahwa Alexa memiliki trauma berkepanjangan akan perkelahian. Insiden kecil dimasa lalu, membuatnya terkurung dijeruji besi sampai sekarang. Ia terpasung, hingga tak berdaya.

"Maaf...."

"Maafin gue...." pintanya dengan mata terpejam dan tangan mengusap kepala Alexa lembut. Bahu gadis itu naik turun menahan isak tangis. Ingat satu hal, dia itu mudah sekali menangis.

Lantas, Alexa balas memeluknya erat walau rasa marah masih melanda. Steven selalu bisa menjadi pelabuhan, untuknya menepi. Laki-laki itu selalu menjadi sahabat terbaik, dikehidupan.

"Jangan lagi..." kata Alexa disela-sela isaknya. Steven tetap memeluknya dengan mengusap kepala bak tengah menidurkan putrinya.

"Al," panggilnya mengalihkan.

"Hm?" Alexa mendongak sedikit, dengan kedua tangan yang masih melingkar. Kedua mata binarnya memerah.

"Maaf lagi..." ucap Steven.

"Untuk??"

"Karena 15 hari ke depan___gue nggak bisa jagain lo," ungkapnya. "Gue nggak bisa jagain lo___ dari sibrengsek itu," lanjutnya lagi seakan tak rela.

Alexa tidak terkejut. Dia sudah tahu saat ayahnya mengatakan, bahwa Steven diharuskan rawat inap selama 15 hari. Itu konsultasi dokter, karena keadaan Steven yang sama sekali tak memungkinkan.

Cukup lama Alexa terdiam.

"Iya, nggak masalah," jawabnya kembali bersender didada bidang Steven lalu menyamankan posisi dan mempererat rengkuhannya. Seolah, tidak peduli.

"Lagian__ tugas teman itu menemani, bukan menjaga."

*****

Tidak ada yang lebih merepotkan dibanding harus menjaga, sesosok wanita yang paling dibenci seumur hidup.

Dirga sebenarnya tak sudi jika bukan ayah, yang memintanya. Beliau pun cukup tahu, jika Dirga mungkin enggan untuk menemani Tiffany. Jangankan menemani, menganggapnya saja belum.

Karena meninggalkan meeting penting sore itu, terpaksanya Toni harus kembali kekantor dan meninggalkan istrinya yang terbaring di ranjang rumah sakit.

Toni panik, disaat mendapat kabar dari sang istri bahwa wanita itu terjatuh ditoilet karena kelelahan. Akhir-akhir ini istrinya sering mengeluh karena mudah lelah. ART dirumahnya izin mudik 2 Minggu dan alhasil dia dirumah seorang diri.

Toni sudah menghubungi Alam, anak kandung Tiffany untuk datang menjaga ibunya. Terlampau khawatir, sampai-sampai Toni juga menghubungi Dirga. Takut, jika Alam akan lama datang.

Dan terbukti, bahwa Alam sampai saat ini belum juga datang. Dirga berdecih ketika sampai didepan pintu ruangan Raflesia, ia tidak menemukan tanda-tanda anak wanita itu ada.

Hari mulai larut, tapi justru anak kandungnya sendiri belum datang. Ibu dan anak sama saja, sama-sama merepotkan.

Kling!

Enggan untuk masuk menemui Tiffany, Dirga duduk dideret kursi depan ruangan. Ia mengambil ponselnya yang berbunyi.

KS

Selamat malam, Dirgantara. Saya selaku kepala sekolah SMA PITALOKA mengatakan, bahwa skorsing 1 Minggu untuk kamu dibatalkan. Pihak sekolah sudah menindaklanjuti kasus ini, dan kamu bebas dari skors. Selamat beraktivitas kembali.

18:45

Sudah Dirga duga.
Lihat kan? Kepala sekolah sendiri yang membatalkan rencana skorsing untuk Dirga. Ayahnya pasti sudah bertindak. Bodoh sekali, sekarang hanya dengan uang, sekali jentikan bisa merubah segalanya.

"Yo watsap man!"

Dirga mengangkat kepala, menatap lurus laki-laki yang tingginya sebelas-duabelas dengannya. Ia membuang muka sembari mendengus muak.

Laki-laki itu mendekat dan tanpa acuh duduk disampingnya sambil menyender.

"See, kita ketemu lagi. Emang ya, abang sama adek itu susah untuk dipisahin. Tos dulu dong bro, biar keren."

Dirga tidak merespon sama sekali dan tetap lurus mengarah kedepan. Alam yang tangannya masih mengambang diudara itu akhirnya terkekeh pelan. Lalu setelah itu, menepuk pundak Dirga dua kali.

"Mana nyokap kita, bro? Gimana keadaannya?" tanyanya pada Dirga.

Dirga melirik Alam. Wajahnya masih sama tanpa ekspresi.

"Gue bukan anaknya, dan gue, sama sekali nggak peduli keadaannya." balas Dirga angkuh.

Alam tentu keberatan akan sikap Dirga yang terus menerus menuntut dendam kepada ibunya. Padahal, ia sendiri bersikap biasa dengan ayahnya. Dirga tetaplah Dirga yang keras kepala dan berhati batu.

Tetapi, Alam suka menggoda Dirga. Dia suka melihat pemimpin Leopard itu murka.

"Oh didalam? Okedeh, gue masuk ye. Lo tunggu sini aja ya, jaga keamanan, takut kalau musuh tiba-tiba datang," bisiknya pelan dan lagi-lagi Alam menepuk bahunya sok akrab.

"Gue? Jaga mereka? Ora sudi," batinnya menyahut.

Alam sudah masuk kedalam ruangan. Sedangkan Dirga mulai berdiri dan bersiap pulang.

"Dirga!"

Saat hendak berlalu, dari arah lain ayahnya datang menghampirinya. Terpaksa, Dirga berbalik.

"Gimana keadaan mama kamu nak? Dia udah sadar? Kata dokter mama kenapa?? Kekurangan darah?? Atau__"

"Tiffany bukan ibu Dirga," dia menyela cepat.

"Dirga sama sekali nggak peduli keadaannya. Entah itu kekurangan darah, atau koma sekalipun, Dirga nggak peduli. Sama sekali nggak peduli," sambungnya.

Toni menghembuskan nafas panjang. Kedua tangannya terkepal. Beliau menatap anak tunggalnya dengan nanar.

"Kamu tidak pantas bicara seperti itu, Dirga," ucapnya serius.

"Bagaimanapun, dia yang merawatmu dari kecil, dia yang selalu berusaha menjaga kamu selama ini. Setidaknya, kamu bisa menghargai ketulusan kasih sayang yang dia berikan, bukan seperti ini," jelas Toni.

"Tidak ada yang menyuruh Tiffany merawatku. Dirga tidak sudi dirawat oleh wanita sialan seperti Tiffany."

"DIRGA!!" bentak Toni keras. Suaranya menggema dilorong rumah sakit. Hal itu, tentu menuai banyak pasang mata.

Dirga menatap ayahnya lurus. Kemudian, lebih mendekat kearah beliau.

"Bagiku, Tiffany tak lebih dari wanita perusak yang menjijikan. Mau dia mati sekalipun, aku tidak akan pernah peduli. Lebih baik, Tiffany menemani ibuku dialam baka, daripada harus hidup_"

"SIALAN! JAGA UCAPAN KAMU DIRGA!!!"

"Ayo tampar," ujar Dirga menuntut.

Toni sudah berancang untuk menamparnya. Namun seolah ada yang menghentikan dan berakhir mengambang diudara.

"Tampar saja sepuasmu, Ayah. Jika ayah menamparku hanya untuk wanita menjijikan itu, ayah sama saja dengan dia, tidak ada bedanya." Dirga berkata santai, namun netranya menampakan jelas bahwa ia tersulut emosi.

Toni menarik kembali tangannya kasar bersamaan dengan erangan. Wajahnya memerah, dengan tatapan nyalang yang tertuju untuk anaknya.

"BERHENTI MEMBUAT AYAH MURKA, DIRGA! BERHENTI!!!"

"BUKAN SEPERTI INI, CARA MENERIMA KEPERGIAN IBUMU!! BUKAN!!!" tegas Toni tepat didepan wajah anaknya.

Beliau memegang kedua bahu Dirga, mengguncangnya agar tersadar bahwa kepergian ibunya memanglah takdir.

"Semua yang ada didunia itu kuasa Tuhan, nak. Mati, jodoh, rezeki, semua hanya Tuhan yang berhak mengatur. Tuhan lah yang berkuasa. Tolong, berhenti menyalahkan, seolah-olah Tiffany yang membuat ibumu pergi. Itu kehendak Tuhan Dirga, takdir sang kuasa!!" perjelas Toni sedikit merendahkan nada bicaranya tidak seperti sebelumnya.

"Serahkan semua pada Tuhan, Dirga. Terimalah dengan lapang setiap ujian yang Tuhan berikan. Percayalah, bahwa Tuhan tak pernah salah memberikan surga, untuk ibumu."

*****

Cukup lama, bagi Alexa untuk sampai diluar gedung. Rumah sakit ini sangat luas, perlu melewati beberapa lorong panjang dan lift yang tersedia.

Terkadang, Alexa tersesat dan berakhir diruang jenazah. Jujur, ia sebenarnya sangat sulit jika harus berjalan sendirian dirumah sakit.

Gadis itu seringkali mendapati jalan buntu dan ruang jenazah yang gelap, sunyi tak berpenghuni. Yaiyalah, orang isinya mayat semua!

Alexa memeluk tubuhnya sendiri yang terhempas angin. Rambutnya yang tergerai terbang kebelakang seolah menari. Sesekali ia menggosok lengannya karena malam ini ia hanya bermodalkan sweater rajut maroon dan celana jeans panjang berwarna hitam.

"Cari makanan dimana?" monolog Alexa.

Tujuan gadis itu keluar gedung adalah untuk mencari kedai makanan. Bukan untuk Steven, tetapi untuk dirinya sendiri.

Karena Steven minggat dari Amerika tanpa sepengetahuan orangtuanya, dia jadi tidak ada yang mengurus. Diamerika, Steven tinggal diasrama. Tentu saja kedua orang tuanya tidak tahu sangking sibuknya.

Tapi kata Ayah Alexa, beliau akan segera memberitahu kedua orang tua Steven, secepatnya.

"Kok sepi? Kaya nggak ada yang jualan." Alexa berbicara sendiri saat melihat sekelilingnya sepi.

Alexa mulai menyusuri setiap arah jalan yang menuntunnya. Sesekali menatap terbentangnya langit malam yang gelap gulita, tanpa adanya bulan dan bintang yang menemani.

Disetiap langkah, Alexa mulai memikirkan masalah rumit yang akhir-akhir ini berhasil menekannya. Dia kira, masalah sekecil itu bisa usai dalam sekejap. Nyatanya, justru membuatnya terkekang setiap saat.

Awalnya ia pikir, dia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa sangkut-paut kedua orang tuanya. Ia merasa cukup dewasa, untuk menghadapi masalahnya sendiri.

Tapi ternyata, kali ini permasalahannya tidak biasa. Mungkinkah, Alexa sanggup?

Melihat ada kaleng soda di tengah jalan. Alexa berancang menendangnya untuk meluapkan semua rasa tertekannya selama ini.

PRAKK!!

"Ughh!!"

Kedua mata Alexa melebar tatkala mendengar erangan seseorang dan entah kebetulan bersamaan dengan tendangannya tadi.

Jantungnya mulai bergemuruh, ia menelan susah payah salivanya. Matanya semakin melotot sembari mengerjap ketakutan.

Jalan satu-satunya adalah kabur.

Benar, Alexa harus kabur secepatnya!
Firasatnya tidak enak, dia takut jika yang menggerang tadi adalah preman pasar Kliwon. Kebetulan, rumah sakit ini dekat dengan pasar Kliwon yang terkenal itu.

Pintanya dalam hati. Dan ia mulai membalikan badan lalu melangkah perlahan-lahan.

OH SHIT!
Lengannya tercengkal!!

Ini pasti preman pasar Kliwon itu deh! Soalnya tangannya berasa berotot, mana kenceng banget lagi. Duh, mampus!

Tangan Alexa panas dingin menahan getaran hebat yang melanda. Tubuhnya gemetar, dan hawa-hawa tidak enak mulai tercium.

Sudahlah, Alexa pasrah jika setelah ini akan diperbudak oleh preman pasar Kliwon untuk ngemis dijalanan. Daripada nyawa melayang, lebih baik jangan deh, nurut aja.

"M-Maaf om preman pasar kliwon, a-aku enggak s-sengaja, beneran!" Alexa berucap gagap dengan kedua mata terpejam dan enggan berbalik.

Preman pasar Kliwon itu masih setia mencengkal lengannya. Kayaknya modus deh.

"Gue bukan preman pasar Kliwon."

Deg!

Suara bariton itu.
Seperti....., mengenali.

"K-kalo g-gitu, maafin Alexa om. A-Aku beneran, nggak s-sengaja," ujar Alexa lagi. Masih setia memejamkan mata.

"Gue bukan om-om."

Deg!

Lagi-lagi, suaranya mampu membuat Alexa bergetar. Dari jenis suaranya saja, aura maskulin sudah muncul. Nadanya gentle dan laki bangett!!

"K-kalo gitu, m-maafin Alexa p-pak." ucapnya lagi.

"Gue bukan bapak-bapak."

TERUS NAON ATUH?!

Alexa jadi bingung sendiri. Preman pasar Kliwon, salah. Om-om, salah. Bapak-bapak, juga salah.

"K-kalo gitu, a-a__"

"Gue Dirga."

-
-
-
-
To be continued

Kunci semangatku itu satu, semangat kalian❤️

Ayo Coment;)

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 53K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
464K 33.9K 27
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
2.4M 241K 59
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.2M 245K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...