BERILIUM

By halusinojin

47.3K 6K 1.7K

Antara kemelut hati yang nyata dan kebahagiaan yang semu, Seokjin berdiri di sana. Kuat, tak goyah, namun rap... More

Home Sweet Home.
Hal yang Lumrah.
Menaruh Curiga.
Ibu, Kau Berubah.
Kesalahan Pertama.
Stalker.
'Dia' yang Mengetahui Segalanya.
Pembual.
Sebuah Permohonan.
Sebuah Impresi.
Pikiran Rumit Seokjin.
Datang.
Sudut Pandang.
Sepercik Binar.
Praduga.
Ada Sesuatu yang Hilang.
Hidup.
Hilang.
Krusial.
Semua Salahnya.
Aksa.
'Dia' yang Akan Tergantikan.
Di Ujung Tebing.
Sebuah Kebenaran Telak.
Akhir [1].

Rekah.

1.2K 132 25
By halusinojin

🎈

"Kau 'kan si talker itu?"

Tawa Nyonya Song yang begitu keras memenuhi seisi mobil.

Seokjin merasakan jantungnya terpompa lebih cepat, sedikit terhenyak sehingga ia harus membuang napas dengan kasar.

"Apa yang kau bicarakan, Jin? Melakukan apa? Stalker? Ibu?" Seraya tertawa terbahak-bahak, pandangan Nyonya Song sesekali melihat air muka Seokjin lewat spion mobil. "Astaga, kau bercanda ya ... Mana mungkin aku melakukan itu, sayang .... Untuk apa?"

Tangan Seokjin terkepal hingga buku jarinya terlihat memutih, muak dengan segala bualan wanita bersurai hitam ini.

Dengan sebongkah keberanian besar, ia kembali berkata, "Kau yang selalu berada di sekitar rumah kami, iya 'kan? Kau yang di jendela itu?"

"Apa? Astaga, Ibu selama ini hanya mengurus toko dan berbelanja, tak ada kegiatan lain selain itu. Seokjin." Dengan dahi tertekuk, Nyonya Song menjelaskan tanpa melirik. Ia berusaha untuk tidak mengalihkan pandangan dari jalanan yang saat ini mobil tengah melaju.

Mendengus kasar, Seokjin kembali berkata. "Berhenti. Nyonya. Tolong diam di sana." Titahnya, seraya menunjuk trotoar yang cukup luas.

Nyonya Song pun terpaksa menepi, ia agaknya setuju dengan Seokjin. Jadi, setelah mobil sedan hitam tersebut melipir, ia mematikan mesin. Kini mereka bisa saling berhadapan, "Kenapa kau menuduhku seperti itu?" Nyonya Song bertanya dengan nada yang tegas, terlihat sedikit tengah menahan amarah.

Tanpa segan Seokjin menatap lurus netra wanita itu, napasnya terdengar menderu seraya ia merogoh saku celana. Menggenggam erat sebuah kalung dengan liontin perak di sana, kemudian ditujukan kepada Nyonya Song tepat di depan matanya.

"Ini milikmu."

Kala Seokjin berkata, lengannya secara skeptis memegang leher tergesa. Peluh dingin lantas terlihat di leher serta kening Nyonya Song, dengan meneguk saliva perlahan, tergugu saat ia berucap. "A-apa? Itu bukan—"

"Ini jelas milikmu."

"Lalu apa?" Nyonya Song berusaha tenang, nada bicaranya terdengar terpaksa.

"Yoongi. Menemukan kalung ini di depan rumah, dan ini kalung panti asuhan yang hanya dimiliki oleh anak serta pengasuh di sana. Nyonya."

Nyonya Song mengelak, ia kembali terkekeh geli mendengar pernyataan yang dilontarkan Kim Seokjin. "Kalung itu banyak dimiliki oleh orang lain, Kim Seokjin. Kau dengan beraninya menuduh ibumu sendiri sebagai seorang penguntit?!" Nada bicara Nyonya Song semakin tinggi, membuat Seokjin agak tersentak sebelum pada akhirnya, sebuah kalimat membuat Nyonya Song mati kutu.

"Tapi adakah seseorang yang mengukir liontin ini dengan nama bunga kesukaannya? Nasturtium? Sama denganmu? Dari panti? Apa ada selain kau, Nyonya?"

Berbeda dengan Nyonya Song yang masih terlihat cukup tenang, Seokjin nampak kewalahan untuk membendung seluruh fakta yang nyata di hadapannya, rasa kecewa kian menggilas hati Seokjin tanpa ragu hingga terasa sesak dan perih. Berimbas pada matanya yang kini tanpa Seokjin sadari telah basah.

"Akuilah sekarang juga, Nyonya ... Hentikan semua bualan itu dan tolong jujur padaku." Dengan kepala tertunduk ia berkata, intonasinya semakin pelan.

Namun Nyonya Song tak bisa menjawab bahkan membuka mulutnya sedikitpun, ia hanya bersandar pada kemudi mobil, di atas telapak tangannya yang mencengkram erat benda bundar itu.

"Omong kosong."

Seokjin terlihat diam setelah mendengar dua kata tersebut, kembali melihat presensi yang tetap di sebelah kirinya dengan alis yang hampir menyatu.

"Setelah semua ini ... Setelah banyak hal yang ku korbankan untukmu Seokjin, sekarang kau menuduhku?"

Terlihat pedar saat Nyonya Song membantah semua apa yang dituduhkan olehnya, kini rahang Seokjin mengeras. Menekankan nada bicara kala berkata, "Lalu apa ini?!" Ia mengangkat tangannya yang telah menggenggam erat secarik kertas catatan. Sukses membuat Nyonya Song tak berkutik.

"Apa maumu, huh? Itu hanyalah kertas biasa, bisa saja kau membuatnya. Aku memiliki bukti kuat kalau Hyeji melakukan kekerasan pada anaknya! Aku akan balik melaporkan ibumu yang gila itu pada polisi atas kasus penganiayaan. Jadi berpikirlah baik-baik, Kim Seokjin." Matanya menyalang meski ucapan wanita itu terdengar goyah.

Seokjin menampik, beriringan dengan amarah yang kian memuncak, ia kembali berkata, "Kau pembunuh Nyonya. Kau ingin membunuh Yoongi dan membawaku pergi bukan? Kau sengaja menabrak kami?!"

Belum cukup, Seokjin lantas menunjukkan kertas itu secara tegas. "Ini adalah bukti bahwa kau telah melakukannya, kau seorang pembunuh."

"Tidak. Bukan itu."

"Lalu apa? Mengapa Nyonya tega melakukan ini? Huh? Apa alasannya?" Seokjin menurunkan intonasi, ia sedikit menyadari bahwa jika terlarut dalam emosinya sendiri hanya membuat masalah semakin kusut tak keruan, maka dari itu ia mencoba memahami sudut pandang Nyonya Song.

Dalam mobil, mereka berdua sama-sama terdiam cukup lama. Seokjin yang menanti sebuah jawaban, pun Nyonya Song yang tengah berpikir dengan kepala menunduk—bersandar pada kemudi.

Hari terbilang cukup dingin, seluruh kota tertutupi benda putih dan para pengemudi di samping mobil mereka mengendarai dengan hati-hati agar tidak tergelincir. Tak ada sinar matahari, jelas karena musim salju telah turun dan bisa dibilang hari ini suhu berada pada titik yang paling rendah.

Meski demikian, dua orang di dalam tak merasa kedinginan walau mesin mobil tidak dinyalakan. Penyebabnya ialah dari diri mereka sendiri yang tengah bersitegang, meluapkan emosi hingga tubuh memaksa jantung bekerja lebih keras, memompa darah hingga tekanannya lebih cepat, kemudian membakar energi hingga berakhir pada suhu tubuh yang semakin naik.

Yah, kau tahu, orang-orang mudah berkeringat saat mereka marah.

Dan itu yang mereka rasakan kini.

Jadi, nampak akan memberikan penjelasan, Nyonya Song berkata seraya mengangkat pandang. "Ibu hanya ingin menyelamatkanmu, Jin."

"Dari apa?"

"Ibumu. Min Hyeji. Aku tak bisa melihat kau yang sudah dianggap sebagai anakku sendiri tersiksa seperti itu, Jin. Hatiku sakit melihatnya ...." Lirih Nyonya Song, terlihat ia memukul-mukul dada sebelah kiri. Tersirat rasa sakit hati yang dialami. "Aku hanya ingin kau hidup bahagia, bersamaku. Maka dari itu aku melakukannya."

Seokjin terdiam, kata-kata itu sedikit menohok dirinya, kemudian ia kembali berujar, "Tapi semua ini salah, Nyonya." Dengan alis yang tertekuk, ia semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Nyonya Song.

"Dengar. Seokjin." Sedikit gagap ia berbalik ke kanan, menghadap ke arah Seokjin sembari menggenggam erat. "Maafkan ibu, ya? Aku tahu aku salah, tapi semua ini demi kebaikanmu."

Setelah memandang raut wajah Nyonya Song, Seokjin hanya menghela napas pendek tanda tak percaya, pupilnya bergetar, tersimpul jelas rasa kecewa di muka, "Kebaikan?" Lalu ia menggeleng tegas, "Kau salah Nyonya Song." Ia tak terima.

Kini semua terlihat jelas.

Seokjin berhak untuk kecewa, berhak untuk marah kala wanita itu berkata demikian. Hatinya hancur.

Demi kebaikan katanya?

Omong kosong.

Lalu apakah cara untuk memberi Seokjin kebahagiaan ialah dengan menghancurkan keluarganya? Membuat ibu kian membenci Seokjin hingga ingin membunuh Yoongi?

Wanita ini tidak waras.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?! Huh?! Wanita itu gila! Dia berlaku kasar padamu! Aku hanya ingin menyelamatkanmu Kim Seokjin! Aku hanya ingin kita—"

"Bersama? Dengan usaha agar adikku terbunuh? Kau yang gila. Nyonya ...."

".... Kau percaya pada pemikiranmu sendiri, kau merasa bahwa pemikiranmulah yang terbaik dan itu kesalahan besar."

Pada kenyataannya, Nyonya Song terdiam sambil terisak di sana. Ia tak mampu membalas perkataan Seokjin selain kembali mengalihkan pandangan, memegang kemudi dengan kedua tangan yang sedikit bergetar.

"Nyonya, tolong ... Akuilah sekarang, berikan padaku semua foto-foto yang masih kau simpan. Lalu aku akan anggap semua ini—"

"Aku tidak salah. Semua yang kulakukan benar. Aku sama sekali tidak salah. Kim Seokjin. Aku tidak gila." Napas Nyonya Song terdengar memburu, tatapannya nyalang ke hadapan sebelum memutar kunci agar mesin hidup, ia secara tiba-tiba menginjak gas dengan kasar.

Seokjin terlihat kebingungan, "Kita akan ke mana Nyonya?" Meski dengan suara getir ia berkali-kali bertanya pada Nyonya Song meski pada akhirnya tak digubris.

"Nyonya?"


"Nyonya Song!"




Tak peduli pada Seokjin, wanita di sisi kirinya kini kian menekan pedal gas lebih keras. Mobil itu bertambah laju, menuju jalanan lengang yang nampak sepi, sedangkan malam sebentar lagi datang.

Mereka menjauh dari keramaian.

"Nyonya Song! Hentikan mobil ini atau aku akan melompat keluar!" Ancam Seokjin, ia mencoba membuka pintu namun sia-sia. Nyonya Song telah menguncinya.

Ketegangan makin terasa saat Nyonya Song bertanya, "Lalu setelah mengetahui ini, apa yang akan kau lakukan? Kembali pada mereka bukan?" Dengan deru napas yang terdengar jelas dan kasar.

"Dengar—nyonya, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Kau hanya perlu—"

"Tidak. Tidak bisa. Kau harus bersamaku, sayang. Aku ini ibu yang baik lagi pengertian untukmu bukan? Kau harus ikut denganku! Jangan kembali pada mereka!"

Seokjin rasa, degup jantungnya semakin tak keruan. "Kau wanita gila, Nyonya Song."

Sedang Nyonya Song kembali tertawa, merasa lucu dengan cemoohan yang Seokjin lontarkan. Tak dapat menahan kemarahan lagi, lantas ia justru membuka jendela mobil bagi keduanya, berimbas pada udara dingin masuk dengan paksa—Seokjin terhenyak akan udara yang menerpa wajah tanpa segan.




"Mari, mati bersama. Kim Seokjin."



Belum sempat menyadari apa yang ada di hadapan, Seokjin rasa kini tubuhnya melayang di udara untuk beberapa saat. Mobil itu kiranya terbang, kemudian menukik tajam ke bawah sebelum pada akhirnya ia menyadari bahwa kini ....


Mereka jatuh ke sebuah sungai yang hampir membeku.





Seokjin hendak berteriak keras namun ia tak bisa. Tenggorokan tercekat, dadanya terasa naik dan itu menyesakkan. Sebelum pada akhirnya pemandangan permukaan air sungai terlihat jelas di hadapan—menyadari akan ada hantaman, ia melindungi wajah sebisa mungkin.

Dan benar saja, kaca depan bagian mobil pecah sebagian karena tekanan air yang kuat, serpihannya mengenai pelipis kiri Seokjin yang ternyata tidak tertutupi oleh lengan kanan.

Air merangsek masuk seketika, sangat cepat dikarenakan kedua jendela mobil yang dibuka. Seokjin merasakan keadaan genting kini tengah ia alami. Degup jantung barangkali mendorong brutal tulang rusuknya. Ia berusaha kuat untuk melepas sabuk pengaman dengan sebelah tangan, berharap itu berhasil meski pada nyatanya sia-sia.

Jika saja lengan kiri Seokjin dapat bergerak bebas tanpa rasa sakit, ia sudah membuka sabuk pengaman sedari tadi serta melompat keluar mobil meninggalkan wanita gila ini tenggelam di air yang dingin sendirian.

Tidak bisa.

Setengah badan Seokjin kini telah kaku, air dingin itu telah merendamnya.

Air sungai tanpa disadari kini telah merendam hingga bagian dada, terasa sesak dan rasa dingin yang berkali-kali lipat menikam tubuh Seokjin. Dalam serak ia berkata, "Nyonya—, To-tolong, kau harus segera pergi—" Ia menahan dingin sembari tetap berusaha membuka sabuk yang mengekang susah payah. Tangannya mulai mati rasa, ia mencondongkan kepala ke atas, Seokjin kesulitan meraup udara meski untuk sekadar bernapas karena kini air mulai naik, bersamaan dengan bongkahan es yang telah mencapai leher mereka.

Sedang wanita itu hanya terdiam, tak mendengarkan selain menatap nanar.

Ia justru tersenyum, namun sedih.

Oke, mungkin untuk kali ini Seokjin harus membebaskan dirinya terlebih dahulu. Hal yang pertama dilakukan ialah harus tetap tenang, jangan panik meski kini air semakin naik dan merendam seluruh tubuh. Jadi, meraup udara rakus, kemudian ia berusaha menahan napas selama mungkin—berharap jikalau nanti ada sebuah keajaiban datang, sabuk tersebut bisa terbuka. Semoga.

Tapi semua itu terlampau sulit.

Sangat.

Karena air yang dingin justru membuat Seokjin kehilangan udara lebih cepat, seiring perasaan panik menyerang, serta keadaan gelap mengerubungi sekitar—hanya tersisa cahaya dari lampu mobil yang memantulkan dasar sungai.

Ia takut.

Berkali-kali ia memukul bagian pengunci, menarik paksa dengan seluruh kesadaran yang ada.

Sesak.

Paru-paru Seokjin tak lagi kuat untuk menahan, perlu ada pasokan udara yang memenuhi agar karbondioksida tidak tertimbun di sana. Ia hanya bisa meringis, berusaha untuk tetap sadar meski pada akhirnya rasa sesak itu menjadi sakit tak tertahankan.

Tubuhnya yang kedinginan bertitah pada Seokjin, didesak 'tuk segera mendapatkan udara, hingga udara yang tersisa dalam dada keluar secara percuma—membuat Seokjin terbatuk perih dengan mata terpejam.

Sontak air berbalik masuk tak tertahankan, mengisi ruang udara melalui mulut dan hidung, rongga paru-parunya kini telah terpenuhi air. Leher serasa tercekik kuat, ia tak mungkin mengelak.

Seokjin tak mengerti, semakin air itu masuk—memenuhi tubuhnya, semakin sering pula ia ingin meraup udara. Ketidakberdayaan yang kini ia rasakan sangat menyakitkan dan membuat Seokjin menyadari bahwa kini ....

Ia takkan bisa selamat.

Rasa perih karena air yang tak segan masuk melalui rongga hidungnya kian menjadi, belum lagi air yang tertelan, menyisakan pandangan yang memburam serta telinga mendadak tuli karenanya.

Seokjin tak bisa lagi 'tuk berusaha, bahkan untuk bergerak pun sulit.

Cahaya yang temaram kini terlihat meremang, gelembung udara yang dikeluarkan semakin sedikit, tubuhnya tak mampu lagi bergerak. Lengan yang sedari tadi menggenggam erat pengunci sabuk pengaman telah terkulai begitu saja.

Dalam keadaan kritis, hatinya tak bisa menerima kenyataan.

Ia tak ingin mati dalam keadaan seperti ini.

Ia masih belum melihat Yoongi serta sang ibu.

Maka setidaknya untuk terakhir kali, dimana ia berada pada ambang batas kesadaran, Seokjin masih ingin berharap lewat satu embusan napas yang tersisa.

"Tuhan, tolong ... Aku tak ingin mati seperti ini ...."

"Aku sangat menyayangi mereka, aku ingin melihat mereka meski hanya sebentar." Katanya, dengan mata yang tertutup perlahan.

Kemudian, keadaan semakin hening.


Mungkin, untuk kali ini ....



Seokjin rasa ....




Tuhan tidak mengabulkan keinginannya.[]




























Last chapter will be updated soon! See ya!

Don't forget to stream Dynamite, Army! 💜💜

-Hal.

Continue Reading

You'll Also Like

188K 29.3K 53
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
1.2M 63.2K 66
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...
76.3K 3.5K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
71.3K 3.9K 21
seorang gadis bernama Gleen yang berusia 20 tahun, membaca novel adalah hobinya, namun bagaimana jika diusia yang masih muda jiwa nya bertransmigrasi...