Burning Desire

By TheRealRJune

292K 6.6K 176

21+ Konten dewasa, mohon kebijaksanaan pembaca ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ SLOW UPDATE, setiap 2 pekan. More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26

Part 21

3.7K 128 6
By TheRealRJune

10 hari kemudian.

Tiwi sedang duduk di lobby kantor Ian dengan map berisikan lamaran pekerjaan di tangan kirinya dan ponsel di tangan kanannya. Terlihat pesan dari Irene menyemangati gadis manis itu.

"Mba, ikut saya!" kata Dani lembut. Tiwi mengikuti Dani dibelakangnya.

"Itu manajernya, duduk aja disitu. Pak, jalan dulu, ya!" kata Dani menunjukkan meja Ian pada Tiwi lalu melambaikan tangannya.

Ian menyahut singkat dan mempersilahkan Tiwi duduk dan memulai wawancaranya.

Di tempat lain, Irene dan Donald sedang berbincang santai. Donald kini menjadi lebih ramah dan menjadi pribadi yang menyenangkan ketika berhadapan dengan Irene. Tidak seperti awal bertemu. Pembicaraan Donald biasanya hanya basa-basi, tapi dengan sifat Irene yang cerewet membuat obrolan mereka bercabang.

Terlebih beberapa hari belakangan, Donald lebih memilih makan di kantor bersama Irene. Ataupun kalau harus makan diluar, ia selalu mengajak Irene. Irene pun tak masalah. Selain lebih irit karna Donald yang membayar, juga selama ia selalu mengabari Ian tentang hal itu. Ian juga tak pernah mempersalahkan, pikirnya. Meskipun kenyataannya tak seperti itu.

Seperti hari ini, Ian menerima pesan singkat dari Irene yang mengatakan bahwa ia diajak untuk makan siang bersama Donald di salah satu restoran didekat kantor mereka. Wajahnya menegang. Ini sudah kesekian kalinya Donald mengajak Irene makan siang diluar. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar lalu membalas pesan tersebut dengan lembut. Ian tak suka Irene dekat dengan Donald.

Ian yang sendirian di kantor setelah selesai melakukan wawancara dengan Tiwi kini merasa bosan. Ia belum terlalu lapar. Ia memutuskan menelpon Fira.

Lama sambungan telpon berbunyi sampai suara imut itu berbicara.

'Hayoo? Syapah nih?' sapa Fira dengan penyebutannya yang belum lancar.

"Halo cantik! Ini ayah, sayang! Kok Fira pegang HP mama, nak? Mama kemana?" tanya Ian. Tak biasanya Dian memberikan ponselnya ke Fira tanpa pengawasan.

'A.. ayah!! ayah pain?' Fira tak menjawab pertanyaan Ian.

"Lagi kerja, sayang. Mama kemana, kok HP bisa sama Fira? Mama mana?" kata Ian lagi mengulang pertanyaannya.

'(suara tidak jelas) mama di.. kamal.. sama temen.. mama!!!' teriak Fira memanggil Dian.

Ian memusatkan pendengarannya pada suara lain dari ujung telpon itu. Tapi suara nafas Fira jauh lebih nyaring karna ia meletakkan ponsel itu dekat dengan mulutnya.

'Mama! Ayah.. tepon..' kata Fira dengan sangat lucu.

"Halo, Fira? Biarin sayang, ayah ngomong sama Fira aja. Temen mama siapa, nak?" Ian mencoba mengobrol dengan Fira. Namun anaknya itu sudah keburu berlari ke kamar sang mama.

'Eh, sayang, kan tadi mama suruh main diluar. Kenapa masuk?' suara Dian terdengar terkejut.

'Ayah.. ayah tepon..' kata Fira mengangkat ponsel Dian.

'A.. ayah? Ayah telpon? Ke HP mama? Mana? Mana sini HPnya!' Dian merebut ponsel dari tangan Fira lalu berjalan ke arah dapur. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskan kasar.

'Halo?' sahut Dian.

"Iya, mah. Dari mana? Kok Fira yang angkat telpon?"

'Oh, dari kamar. Lagi beresin lemari. HP nya ditinggal sama Fira buat nonton Upin dan Ipin.'

"Tumben nggak ditungguin anaknya pakai HP? Ayah kasih ijin Fira nonton di HP kan karna mama janji sambil ngawasin, kok ini nggak?" cerca Ian pada Dian.

'Lagi rapihin lemari sebentar, makanya tadi Fira ditinggal. Baru sekali juga lho, Yah, sewot banget!' jawab Dian mulai emosi.

"Sekali ini, besok sekali. Nanti keseringan, teledor ngurus anak!" suaranya meninggi.

'Kamu apaan, sih! Sekarang udah berani ngebentak,marahin istri kayak begitu? Jauh dari keluarga malah jadi kasar kamu?!' bentak Dian tak kalah nyaring.

"Aku ini ngasih tau ke kamu! Kok balik marah? Nggak ada sopan-sopannya sama suami!" suara keduanya makin meninggi seiring makin banyaknya kalimat yang keluar dari mulut keduanya.

Seorang wanita melihat Dian dari depan kamarnya lalu mengajak Fira bermain keluar. Jangan sampai Fira mendengar perkelahian orang tuanya.

'Kalau kamu ada masalah dikerjaan jangan dilampiasin ke istri, dong! Mikir!' hardik Dian terakhir kemudian menutup panggilan.

"Halo? Halo, mah?!" Ian meneriaki sambungan telpon yang telah terputus.

Ian juga tidak tahu kenapa dia marah tanpa alasan pada Dian. Ia kesal karna Dian memberikan ponselnya pada Fira tanpa pengawasan. Tapi alasan itu tidak cukup untuk membentak Dian. Ian tak pernah meninggikan suaranya pada Dian sebelumnya.

Atau mungkin karna beberapa hari ini ia tak bertemu Irene? Juga Irene yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Donald, membuat amarahnya menumpuk? Entahlah. Yang pasti, rasa kesal membuat Ian untuk pertama kalinya meninggikan suaranya pada Dian. Ian berjalan menuju lantai 3 untuk beristirahat. Ia tak nafsu untuk makan.

Beberapa hari setelah wawancara dengan Tiwi, Ian masih berusaha untuk meyakinkan pusat agar mau mengembalikan Irene ke kantornya dan menempatkan Tiwi bersama Donald. Namun sayang, bagi pusat justru lebih baik jika Irene tetap di kantor Donald. Pekerjaan Irene baik dan Donald kini lebih mudah untuk bekerjasama setelah memiliki admin yang kompeten. Laporan yang diterima kantor pusat cukup memuaskan, semua teroganisir dengan baik. Bagi mereka, kinerja Donald dan Irene sebagai tim sangat bagus. Sehingga akan memusingkan Donald, pengembang perumahan, tim pemasaran dan pelanggan jika harus berganti admin. Apalagi sebentar lagi akan dimulai proses merenovasi rumah lama yang belum terisi.

"Berikan status training saja dulu pada karyawan yang baru, pak Adrian. Setelah 3 bulan bisa di evaluasi kinerjanya, lalu nanti kita bicarakan mengenai pertukarannya dengan Irene."

Begitu keputusan akhir yang diterima Ian setelah berjuang meyakinkan orang pusat. Kini ia bingung lagi bagaimana menjelaskan pada Irene ia tidak bisa menepati janjinya.

"Irene kecewa nggak, ya?" gumam Ian seraya mengirim pesan singkat pada Irene untuk mengajaknya keluar malam ini. Tak butuh waktu lama, Irene membalas pesan itu dengan persetujuan.

Malam ini Ian mengajak Irene menonton film di bioskop. Seperti biasa, Ian menunggu di depan gang. Tak lama dilihatnya gadis cantik berlari kecil dan segera masuk ke mobilnya. Memeluknya sebentar dan memuji cantiknya Irene malam itu lalu segera beranjak sebelum ada yang melihat keduanya.

Ian menyampaikan permasalahan kepindahan Irene. Meski Irene mengatakan bahwa ia menerima keputusan pusat, namun kecewa diwajahnya tak dapat ditutupi.

"Berarti kerjaku bagus, dong?" ujarnya malah ketika Ian menyampaikan alasan pusat.

Ian tahu Irene kecewa seperti dirinya tapi usahanya menutupi itu semua membuat Ian gemas.

"Positif banget mikirnya, ya. Coba kalau istri... eh, kalau Dian, beda cerita pasti." katanya terbata.

Irene tersenyum kecut mendengar Ian hendak menyebut "istriku" di depannya. Tapi ia juga sadar, bahwa memang Dian adalah istrinya.

"Nggak perlu diralat juga, dong. Emang kenapa kalau istri kamu?" tanyanya.

"Ah, nggak apa-apa." Ian tak mau membicarakan Dian lebih jauh.

"Lho, aku pingin tahu!" ujar Irene menatap Ian.

'Dasar perempuan, seneng banget cari ribut dan sakit hati!' Hardik Irene dalam hatinya.

Dengan tak nyaman Ian membicarakan Dian. Sebenarnya ia tidak ingin terdengar seperti menjelekkan istrinya, tapi memang jika dibandingkan, Irene bersikap lebih baik.

"Maksud aku gini, kalau kamu pikirannya, tuh, selalu baik. Aku tau kamu kecewa, marah, kesel, tapi kamu masih bisa ambil positifnya, kerjaan kamu dibilang bagus. Kalau Dian, mah, boro-boro. Pasti aku udah disalahin sama dia. Hari ini aja aku berantem sama dia."

"Berantem? Kenapa?"

"Bukan masalah gede, kok."

"Iya, kenapa?" Ian menghela napas berat lalu menceritakan panggilannya dengan Dian siang tadi.

"Kamu harus minta maaf!" kata Irene sesaat setelah Ian beres bercerita.

"Dia udah sering nggak sopan sama aku, sebagai suami aku harus negur, kan?" tanya Ian tidak terima.

"Iya, tapi kamu tetep harus minta maaf dan jelasin baik-baik maksud baik kamu. Aku nggak mau, ya, kamu berantem sama istri kamu. Kamu harus jelasin dan minta maaf sama dia. Kalau gak kayak gitu, nanti dia mikir aneh-aneh."

"Ah, ku jelasin atau nggak dia juga bakal tetep mikir aneh-aneh."

"Kamu mau diinget sama dia sebagai suami yang kasar? Seorang cowok nggak boleh, lho, meninggikan suaranya ke cewek, apalagi statusnya istri."

"Ya, bukan gitu maksudnya. Sesekali kasih teguran keras biar kapok."

"Kamu, ih!" balas Irene memukul lengan Ian pelan.

"Aw!! Sakit, sayang. Iya, iya, nanti malam aku telpon minta maaf sama dia."

Mobil Ian sudah terparkir rapi tepat saat ia selesai menjawab Irene. Ketika bersiap turun, Irene mengalihkan dirinya menatap Ian.

"Kalau someday aku ngelakuin kesalahan seperti itu, kamu juga bakal kasar sama aku?" tanyanya.

'Pertanyaan bodoh ini! Cewek kok demen cari masalah aja, sih!' kembali hatinya menghardik dirinya sendiri.

Ian membalas tatapannya lembut.

"Kamu ngomong apa, sih? Nggak mungkin, lah! Mana bisa, sih, aku kasar sama kamu."

"Kenapa nggak bisa? Kamu aja bisa kasar ke istri kamu." suara Irene mulai serius. Ian tahu, saat ini ia tidak bisa salah menjawab.

"Karna kamu bukan dia. Kalau kamu ngelakuin kesalahan, aku yakin itu nggak sengaja. Dan cara kamu menyelesaikannya pasti juga beda sama dia. Sifat keras kepalanya Dian itu, adalah kekurangan dia, bukan kamu." ujar Ian tersenyum. Irene tidak puas dengan jawaban yang ia terima.

"Jadi itu salah istrimu karna memang itu kekurangannya? Bukannya suami harus bisa menerima dan memahami kekurangan istrinya?"

Ian masih diam.

"Kalau kamu masih nggak bisa menerima kekurangan istri kamu, apa kabar aku yang cuma pacar, bukan deh, selingkuhan kamu? Kekurangan aku juga banyak." sambung Irene tanpa memutuskan tatapannya yang tajam pada mata Ian.

"Sayang, maksud aku bukan kayak gitu. Aku tahu semua orang punya kekurangan, tapi semua orang juga punya kelebihan. Satu kekurangan Dian itu bukan berarti aku nggak menerima, cuma nggak terbiasa, meskipun aku sudah menikah sama dia,"

Ian menghela napasnya.

"Kamu harus tahu, aku nggak peduli sama kekurangan kamu. Karna kamu punya banyak kelebihan. Kekurangan kamu nggak akan ada apa-apanya. Kita nggak usah bahas ini lagi, ya? Aku mau nikmatin waktu aku berdua sama kamu."

Irene mendengus kencang. Tangannya tergenggam kuat. Ia mencoba menahan dirinya dan tersenyum pahit pada Ian lalu melepas sabuk pengamannya. Ian bingung harus bagaimana. Irene turun dari mobil dengan napas berat.

"Iya, ayo turun!" ajak Irene manis. Ia menutupi kekesalannya.

Ian segera turun dan menghampiri Irene. Meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Sejak memasuki kawasan mall, menaiki eskalator, membeli tiket film hingga mereka masuk ke dalam studio tak sedetikpun tangan mereka terlepas. Irene juga sudah sedikit lebih rileks.

Mereka menikmati film romansa remaja Bandung tahun 90-an dengan fokus. Menikmati berondong jagung karamel dan minuman coklat sembari sesekali bercanda dan tertawa bersama.

Setelah film selesai diputar keduanya meninggalkan studio dengan terus tertawa.

"Kalau pacaran anak SMA kota Metropolitan emang lucu-lucu gitu, ya? Terus kata-katanya puitis, romantis, gitu?" kata Irene bergelayut manja dilengan Ian.

"Tapi nggak semua kayak gitu, kali. Kepentingan film aja itu, mah." balas Ian.

"Yakin, sih, soalnya kamu aja nggak ada romantisnya sama sekali nggak kayak aa' yang di film."

"Dih, aa'? Terus kamu mau jadi apa? Ee'?" ejek Ian yang langsung dibalas Irene dengan cubitan kecil di sisi perutnya. Keduanya tertawa sepanjang jalan sampai menuju tempat parkir. Mereka berencana makan malam di lalapan pinggir jalan.

Hanya beberapa meter dari mobil mereka, seorang wanita mendatangi Ian dan Irene tepat didepan mereka.

"Pak Adrian?" sapa wanita itu.

Ian dan Irene sontak menatap wanita berhijab dihadapan mereka. Keduanya mengerutkan dahi, namun untuk alasan yang berbeda. Irene menatap penuh tanya karna ia tak mengenal wanita itu. Sementara Ian menatap terkejut karna mengenal wanita itu dengan sangat baik.

"Oh, Ariska! Hai!" sapa Ian dengan cepat melepaskan tangan Irene dari lengannya. Irene yang terkejut melangkah mundur.

"Apa kabar, pak? Ini, istri bapak?" tanya sang wanita melirik Irene yang langsung membuang muka.

"Baik, Ariska. Kamu gimana?" Ian menghindari pertanyaan itu. Tapi Ariska tak menyerah.

"Baik, pak. Istrinya ikut kesini? Saya kira tetep di Jakarta. Akhirnya, biar bisa ngawasin bapak, ya? Halo, Bu? Saya Ariska, mantan admin pak Adrian." Ariska menjulurkan tangannya hendak bersalaman dengan Irene yang masih membuang mukanya. Ia tidak ingin terlihat dikenali Ariska.

Ian segera menghalangi tangan Ariska dengan berdiri di depan Irene.

"Bukan, kok. Istri saya di Jakarta sama anak saya. Kamu sama siapa? Suami kamu?" Ian mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Irene memunggungi keduanya.

Ian dan Ariska mengobrol sebentar. Irene yang mendengarkan pembicaraan itu mulai merasa tak nyaman. Bagaimana tidak, Ariska terus memancing Ian untuk membicarakan Dian dan Fira. Seperti sengaja berusaha menekankan bahwa Adrian adalah seorang pria beristri dan beranak satu. Mungkin Ian bisa saja tak menjawab pertanyaan Ariska mengenai Dian tapi ia tidak bisa tidak menjawab pertanyaan tentang Fira. Yang pada akhirnya tetap membicarakan Dian.

"Sudah malam, pak. Anak saya udah ngantuk banget, tuh." ujar Ariska menunjuk seorang lelaki yang sedang menggendong balita. Ian tersenyum pada suami Ariska.

"Hati-hati dijalan, ya!" Ian menyalami Ariska. Sambil menyambut jabatan tangan Ian, Ariska membisikkan sesuatu ke Ian. Namun suaranya cukup untuk sampai terdengar ke telinga Irene.

"Bapak juga, hati-hati. Kurangin jajannya. Nggak kasihan sama istri?"katanya tersenyum pada Ian. Rahang Ian menegang.

"Mari, mba!" Ariska pamit dengan lirikan sinis ke Irene. Ian tak berkata apa-apa.

Setelah Ariska hilang dari pandangannya, Ian membalikkan badannya mencoba meraih tangan Irene namun ditepisnya kasar.

"Hei? Ayo pulang!" ajak Ian lembut. Irene berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Ian terpatung. Segera ia menyusul Irene.

Ian masih berusaha menggenggam tangan Irene meski selalu ditepis. Ian mengerti Irene sedang kesal saat ini.

"Buruan!" kata Irene singkat sesaat setelah ia tiba di sisi mobil. Intonasi suaranya sedikit meninggi. Bukannya membuka pintu mobil, Ian malah mendatangi Irene.

"Hei, kamu kenapa, sayang?"

"Nggak apa-apa. Buruan, ayo!" jawab Irene ketus.

"Aku nggak mau buka pintu kalau jawaban kamu kayak gitu."

Irene hanya diam. Menarik knop pintu berkali-kali dengan kasar.

"Sayang, kamu kenapa? Jujur!" kata Ian dengan sangat lembut.

Tak ada jawaban. Hanya suara knop pintu yang terus ditarik Irene yang terdengar. Untunglah parkiran saat itu tidak terlalu ramai.

"Sayang!" Ian menghentikan tangan Irene lalu menggenggamnya. Irene mencoba melepaskannya namun Ian terlalu kuat.

"Aku tanya, kamu kenapa?"

"Udah tahu kenapa, masih nanya juga?!" bentak Irene. Ia tidak berencana membentak Ian. Ia melakukannya untuk menutupi suaranya yang hampir tercekat.

Ian menatap sekeliling sebentar memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua.

"Suara kamu kecilin, nggak enak di denger orang." Irene mengalihkan pandangannya menatap dinding kosong dibelakang Ian.

"Aku nggak tahu kamu kenapa, makanya aku tanya. Kamu kenapa tiba-tiba kayak gini?"

"Nggak tahu?! Kamu nggak tahu aku kenapa?"

"Aku bukan dukun. Aku ngga bisa tahu isi pikiran kamu. Jadi, kalau aku tanya kenapa, itu karna aku memang nggak tahu. Kalau aku bilang nggak tahu, artinya aku nggak tahu." suara Ian mulai tegas. Irene masih diam.

"Sayang..?" panggil Ian lagi mencoba menatap mata Irene.

"Ini kedua kalinya ada orang yang mikir aku istri kamu. Tapi kenapa aku ngerasanya beda. Aku dengernya beda. Yang dulu, aku dengernya seneng, bahagia. Yang ini sakit banget." jawab Irene. Suaranya makin tercekat. Ia berusaha keras untuk tidak menangis sekarang.

Ian menatap Irene bingung.

"Sayang?"

"Oh, aku tau." sambung Irene sebelum Ian menanggapi perkataannya.

"Karna yang dulu kamu akuin aku sebagai "istri" kamu. Dan kalo yang ini gak. Yah, what do i expect, kan? Selingkuhan kok mau di akuin."

"Sayang..."

"Nggak apa-apa, kok! Aku biasa aja! Tapi," Irene menatap Ian tajam seakan ada laser yang akan keluar dari kedua mata indah itu.

"Tapi itu, itu maksudnya apa dia bilang kurangin jajan? Jajan apa? Emang aku perek? Kamu suka jajan di PSK? Aku keliatan banget selingkuhannya, ya?" bombardir pertanyaan Irene semakin meninggikan suaranya.

"Nggak, sayang, kamu ngomong apa, sih? aku nggak pernah kayak gitu!"

"Terus maksudnya apa?! Aku bukan selingkuhan pertama kamu? Kamu udah sering selingkuhin istri kamu, ya? Wah!" Irene menatap Ian dengan tatapan tak percaya.

"Aku nggak ngerti juga, dia kenapa ngomong gitu. Beneran, aku nggak pernah jajan, nggak pernah selingkuh. Aku baru begini sama kamu." jelas Ian.

"Nggak mungkin, ya, dia ngomong gitu tanpa alasan. Dia jadi admin kamu lama, lho. Dia tahu semuanya pasti! Jujur sama aku!"

"Aku jujur, aku nggak pernah sewa PSK atau punya selingkuhan. Semenjak menikah dan punya anak aku nggak pernah sama sekali kepikiran untuk itu. Kamu orang pertama yang buat aku jatuh cinta kayak gini."

Irene menatap Ian. Matanya berkaca-kaca. Ia menghela napas dalam.

"Beneran?" suara Irene melembut. Wanita terlalu mudah luluh dengan gombalan.

"Bener!"

"Aku percaya sama kamu, tapi kalau sampai aku tahu kamu bohong, liat aja! Nggak akan aku maafin!" ancam Irene kembali mencoba membuka knop pintu mobil. Dengan cepat Ian menekan buka kunci pintunya.

Irene kini duduk dengan wajah masam. Ian menatap Irene dan bergumam pelan.

"Maafin aku, aku harus bohong sekali ini. Aku nggak bisa kehilangan kamu." Ian segera menyusul Irene kedalam mobil.











*bersambung again....... tapi kayaknya part ini lebih panjang sedikittttt dari biasanya. Hmmmm

Oh iya di part sebelumnya kan author bikin target 100 vote, dan ternyata banyak yang gak mau nge vote huhuuuu syedihhh tapi gapapa aku gak pemaksaan kok orangnya

Jadi, untuk part ini dan selanjutnya author akan update seperti biasa huhuuuu gemes.

Author mau ucapin terimakasih buat yang masih setia dari 3 tahun lalu ngikutin story ini. Author ngerasa berguna sekali hahaha

Selamat membaca!!!

Yuk di vote dan komen, berikan kritik dan saran untuk cerita ini dan jangan lupa share ke temen temen readers kalo menurut kalian cerita ini bagus❤️

Silahkan follow akun instagram author di @/rnthi atau di twitter @/bucinnyaelsa ya kita bisa ngobrol bareng atau sharing bareng

Terimakasih semua be healthy and be happy ya 🖤🖤

Continue Reading

You'll Also Like

315K 12.7K 32
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
178K 12.6K 27
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
4.5M 33K 29
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
995K 47.8K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...