ABHATI

By Lalaa_po

351K 46.5K 2K

[TAMAT]✓ Ratih Fairuza Malik adalah seorang mahasiswi dengan kehidupan yang begitu kacau. Sejak insiden pembu... More

Disclaimer
Prolog
1 | Orang Asing
2 | Putra Mahkota
3 | Pelarian
4 | Pawitra
5 | Bhumi Mataram
6 | Pemuda Bercapil
7 | Seruling Merdu
8 | Kepingan Memori
9 | Awal yang Buruk
10 | Srikandi
11 | Purnama di Atas Langit Pawitra
12 | Busur Panah
13 | Sosok Berjubah Hitam
14 | Time Traveller
15 | Time Traveller (2)
16 | Kembali ke Dunia Itu
17 | Pelarian kedua
18 | Pembunuh
19 | Sayatan Luka
20 | Sebuah Kekecewaan
21 | Bhumi Sambhara Budhara
22 | Si Cantik Bermahkota Emas
23 | Kematian Raja Garung
24 | Raja Muda
25 | Jamuan Kerajaan
26 | Mimpi Buruk
27 | Keputusan Akhir
28 | Kelompok Bayangan
29 | Pernikahan Dua Dinasti
30 | Perjalanan ke Medang
32 | Hilangnya Kepercayaan
33 | Siasat Baru
34 | Malapetaka
35 | Sarang Harimau
36 | Penghianat
37 | Hukuman Mati
38 | Busur Bajra
39 | Pertemuan Tak Terduga
40 | Dua Saudara
41 | Dimensi yang Berbeda
42 | Bangkitnya Kekuatan Hitam
43 | Raseksa Penunggu Hutan Undir
44 | Pengabdian dan Kesetiaan
45 | Penyerangan
46 | Perebutan Takhta
47 | Akhir Kisah
Epilog

31 | Puri Pratama

4.7K 744 49
By Lalaa_po

Awan hitam masih lekat menutup sang rembulan, suara serangga malam saling beradu untuk mengisi setiap kekosongan di dalam hutan.

"Lepas!" Ratih berusaha sekuat tenaga menahan agar pisau itu tidak sampai mengenainya. Namun di sisi lain orang itu terus saja menekan agar gadis itu dapat segera mati. Dengan begitu tugasnya akan segera selesai.

"Mati saja kau!"

Tidak dapat dipungkiri, Ratih memang tidak cukup kuat untuk menahannya, terlebih lagi ia juga sudah menguras sebagian tenaganya saat berlari tadi.

Tiba-tiba pria itu menarik kembali lengannya, membuat Ratih sontak melepaskan pegangannya dari tangan pria itu. Kemudian si pria terlihat semakin geram hingga ia sekali lagi mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebelum menusukkan pisau itu pada Ratih.

"Ucapkan selamat tinggal Yang Mulia," ucapnya dingin tanpa ampun.

"Aaaa..." Ratih memejamkan kedua matanya sambil berteriak. Kedua tangannya sontak menutup wajahnya yang menunduk gemetaran.

Tiba-tiba hening, tidak ada yang terjadi setelah itu. Namun Ratih tetap tidak berani membuka matanya sampai terdengar bunyi sebuah benda terjatuh ke tanah. Lantas ia memberanikan diri membuka mata.

Ternyata itu tadi adalah suara pisau yang jatuh ke tanah. Ratih cukup terkejut, apa pria itu mengurungkan niat untuk membunuhnya. Namun ia lebih terkejut lagi saat melihat darah keluar dari mulut pria itu. Kedua matanya masih menyala merah namun tubuhnya terlihat kaku untuk digerakkan. Tidak berselang cukup lama laki-laki itu langsung tumbang dalam posisi tengkurap.

Saat pria itu tumbang, seketika bayanganya tergantikan oleh wujud sosok Rakai Pikatan. Rakai yang berdiri di sana seketika menurunkan busurnya dan pandangan mereka berdua pun saling bertemu dalam jarak yang tidak cukup jauh. Tidak berselang cukup lama, kemudian Rakai melihat tubuh yang kini tergeletak di tanah.

"Bawa pria itu, pastikan dia belum mati." perintahnya pada dua orang prajurit yang menemaninya. Dengan sigap para prajurit itu langsung bergegas mengangkat tubuh pria tadi dan menggotongnya pergi.

Ratih menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia masih syok akan semua kejadian yang ia alami. Dan ini juga pertama kalinya ia melihat seseorang terbunuh di depannya. Anak panah Rakai menancap dengan sempurna di punggung pria itu. Dan ia terpaku memerhatikan bagaimana para prajurit itu membawa tubuh pria itu pergi sampai-sampai ia tidak sadar Rakai sudah berdiri di depannya.

Seperti paranoid, Ratih masih ketakutan saat menoleh ke arah Rakai, ia bahkan masih sedikit mundur-mundur saat pria itu terus berjalan mendekat.

"Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau baik-baik saja?" Rakai berucap cepat, nadanya terdengar sangat khawatir. Ia memegang kedua bahu gadis itu dan sedikit mengguncang tubuhnya. Saat melihat wajahnya, gadis itu terlihat sangat ketakutan. Ia tidak bisa berkata apapun, hanya menatap kedua mata pria itu seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tidak bisa.

Pria itu melepaskan tangannya lalu memerhatikannya dari ujung kepala hingga kaki. Ia juga melihat pundak gadis itu yang masih naik turun karena sesegukan. Ia dapat melihat bagaimana air mata mengalir di pipinya.

Awan hitam perlahan berlalu pergi dan kedua mata coklat yang terlihat ketakutan itu perlahan berkilauan saat tertimpa cahaya rembulan.

Rakai merasakan getaran hebat dari gadis itu saat mencoba menyentuhnya lagi, lantas ia menarik tubuhnya agar lebih dekat.

"Ak...ak...aku...." Ratih mencoba mengatakan sesuatu dengan gelagapan, kedua matanya terus mengerjap sambil melihat ke sana kemari. Namun tiba-tiba Rakai menghentikannya dengan menempelkan jari telunjuk di bibir Ratih.

"Shhh..." desisnya.

Kemudian Ratih tidak memiliki alasan lagi untuk berbicara, ia hanya diam membiarkan Rakai menarik tubuhnya lebih dekat sampai hampir merangkulnya. Satu lengannya diletakkan ke punggung gadis itu. Dan Ratih yang hanya diam saja dari tadi lantas dimintai untuk melingkarkan lengannya di bahu Rakai. Kemudian pria itu sedikit berjongkok untuk meletakkan satu lengannya lagi di belakang lutut Ratih.

Setelah memposisikan kedua lengannya, lantas Rakai berdiri sambil mengangkat tubuh Ratih. Melihat hal itu Ratih sedikit terkejut dengan apa yang sedang dilakukan pria ini.

"A...a...apa yang kau lakukan? Turunkan aku!" Mungkin karena tubuhnya yang sudah lemas jadi sedikit pula tenaga untuk perlawanannya.

Namun seakan pura-pura tidak dengar, pandangan pria itu tetap lurus ke depan sambil menggendong tubuh Ratih. Ia tidak menghiraukan segala yang diucapkan gadis itu. ia tetap berjalan ke arah kuda setianya, Pandewayu.

Dengan ditemani cahaya rembulan, seketika suasana berubah menjadi romantis. Dalam posisi itu Ratih jadi dapat melihat wajah Rakai dari dekat. Garis rahangnya yang terlihat tegas serta mata hitam cemerlang seperti mata elang. Pria itu sangat tampan jika dilihat dari dekat. Dan dekat dengannya seperti ini membuat Ratih teringat akan waktu itu, saat dimana si pria belum berubah dulu.

Rakai membantu Ratih untuk turun dengan sedikit berjongkok. Ia menurunkan lengan yang memegang kaki gadis itu sehingga ia dapat menjejakkan kakinya ke tanah dengan aman. Kemudian ia membantu gadis itu untuk naik ke atas kuda tanpa bicara sama sekali.

Setelah keduanya naik ke atas punggung Pandewayu dengan posisi Ratih di depan, lantas Rakai membiarkan kepala gadis itu menempel di dadanya karena ia terlihat sangat kelelahan. Setelah itu barulah Rakai siap memacu kudanya untuk segera pergi dari tempat itu.

***

Ratih membuka mata perlahan dan mendapati dirinya sudah terbaring di atas sebuah dipan bambu panjang. Bau-bauan seperti ramuan tercium cukup menyengat. Ratih mencoba mengangkat tubuhnya dan memerhatikan keadaan sekitar, dinding ruangan ini sepenuhnya terbuat dari kain-kain dengan beberapa kayu penyangga. Terdapat berbagai macam ramuan di atas sebuah meja bambu dengan berbagai macam tanaman herbal di sana. Sepertinya ia tengah diobati di sini.

Tidak lama kemudian masuk seseorang dari balik tirai kain yang menjadi pintu penutup tenda ini. Seseorang itu adalah wanita berusia paruh baya dengan kain berwarna serba putih melilit tubuhnya. Wanita itu sedikit terkejut saat melihat Ratih sudah siuman. Tangan kanannya membawa sebuah cawan berisi cairan berwarna hijau kental.

"Selamat Pagi Gusti Ratu Pramodhawardani," ujar wanita paruh baya itu sambil membungkukkan badannya.

"Pagi?"

Ratih segera turun dari sana dan berjalan menuju daun pintu yang tertutup oleh kain. Tabib wanita itu sempat mencegah agar Ratih tetap di atas pembaringannya, namun Ratih terlalu memaksa untuk melihat ke luar. Akhirnya ia pun sampai di daun pintu lantas menyibak kain di depannya hingga terpaan cahaya matahari yang menyilaukan datang menyambutnya. Di luar sana seluruh prajurit terlihat sangat disibukkan dengan pembongkaran tenda-tenda istirahat yang lainnya, sepertinya mereka akan segera melanjutkan perjalanan pagi ini juga.

Tepat di belakang Ratih, tabib itu ikut keluar sejurus kemudian, ia memohon pada Ratih agar ia kembali masuk ke dalam dan tabib itu dapat mengobati luka Ratih yang belum pulih. Mau tidak mau Ratih harus menurutinya, walau keinginan hati sebenarnya adalah mencari tahu siapa orang yang telah menyerangnya semalam.

Ratih kembali duduk di atas dipan bambu itu sambil dibantu oleh sang tabib, kemudian tabib itu menyerahkan cawan berisi cairan yang sedari tadi ia bawa pada Ratih.

"Minum ini dulu Gusti Ratu."

Terlihat sedikit keraguan terpancar di mimik wajah Ratih sebelum menerima cawan tersebut, tapi ia tetap menerima dan meneguk isinya.

"Uhuk...uhuk...." Ratih menyudahi minumnya, lantas memberikan cawan kosong itu pada sang tabib, "Pahit sekali," ucapnya sambil mengernyitkan dahi.

tidak lama kemudian datang seseorang sambil membawa nampan berisi tanaman herbal.

"Tabib, apa tanaman ini yang kau maksud?" ucap orang itu sambil terus menatap ke arah barang bawaannya. Barulah saat mendongakkan kepala, ia cukup terkejut melihat Ratih yang duduk di sana.

"Hai Nirma," sapa Ratih.

Dengan tergesa-gesa Nirma segera menyerahkan nampan itu pada tabib yang berdiri di sebelah Ratih.

"Bagaimana keadaan Ndoro?" Tanyanya penuh cemas.

"Bagaimana Ndoro Putri bisa berada di tengah hutan seperti itu? Semalaman saya terus mencari Ndoro, syukurlah Yang Mulia Raja berhasil membawa Ndoro kembali, walau saat itu dalam keadaan pingsan."

"Aku...."

Belum sempat Ratih mengatakan sesuatu, suaranya sudah terpotong oleh teriakkan seorang prajurit yang memberitahukan bahwa Yang Mulia Raja akan segera memasuki ruangan itu. Benar sekali, tidak lama kemudian Rakai masuk sambil ditemani beberapa orang petinggi kerajaan. Juga ada Rakryan Darsana di sana.

Semua orang di ruangan tersebut menundukkan kepala mereka kecuali Ratih, kemudian tanpa di komando orang-orang itu berjalan ke luar sambil membukkukkan badan mereka di depan Rakai.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rakai seketika.

"Aku baik," ia sedikit berdehem di ujung kalimatnya. Suaranya sedikit serak karena meminum ramuan tadi.

"Katakan apa yang kau lakukan di tengah hutan dan siapa orang yang menyerangmu itu?" tanyanya sejurus kemudian.

Ratih tidak langsung menjawab, ia sedikit melirik ke arah Rakryan Darsana yang berdiri di belakang Rakai. Pria itu terlihat mengalihkan pandangannya saat Ratih meliriknya.

"Aku sedang mencarimu Yang Mulia, dan seseorang menawarkan bantuannya padaku" ia berucap sambil terus melihat ke arah Darsana. Kemudian melanjutkan.

"Orang itu bilang bahwa dia akan mengantarku bertemu denganmu, lantas ia menyuruh seseorang bawahannya untuk mengantarku, dan orang yang tidak ku kenal itu ternyata diam-diam berencana membunuhku dengan sebuah pisau saat ia mencoba menjebakku di tengah hutan."

"Tunggu...siapa orang pertama yang kau maksud?"

"Rakryan Darsana"

Semua orang menatap ke arah Darsana seketika, begitu juga Rakai.

"Aku yakin, dia pasti yang telah menyuruh prajurit palsu itu untuk membunuhku!" ucapnya dengan sedikit emosi.

"Semua yang kau ucapkan itu tidak benar Pramodhawardani," nada berat Rakai barusan adalah sebuah ucapan yang tidak pernah ingin Ratih dengar, awalnya ia berharap Rakai akan mendukungnya, bukan malah sebaliknya.

"Kau tidak percaya padaku?" ia menatap Rakai dengan tatapan tidak percaya dengan apa yang barusan keluar dari mulut pria itu. Lantas ia turun dan berjalan dengan cepat ke hadapan Darsana.

"Katakan yang sebenarnya Paman! Kau sendiri yang saat itu menawarkan bantuanmu, dan kau juga mengatakan bahwa prajurit itu adalah bawahanmu, bukan begitu?"

"Tidak"

"Apa?" Ratih merasa dipermainkan, emosinya semakin memuncak di sini.

"Kau berbohong Paman! Katakan yang sebenarnya, kau pasti yang menyuruh orang itu membunuhku! Kenapa kau lakukan itu Paman!"

"Tentu saja, untuk apa aku melakukan itu pada Ratu kerajaan Medang? Aku tidak pernah melakukan itu Yang Mulia, bahkan seharian kemarin aku tidak bertemu dengan Ratu Pramodhawardani. Aku selalu bersama Yang Mulia Raja sejak kemarin siang."

"Bohong! Kau bohong!"

"Cukup!" Rakai melerai keduanya, kemudian ia berbalik ke arah Ratih, "Dia benar Pramodhawardani, Rakryan ada bersamaku kemarin malam. Tidak mungkin dia bertemu denganmu."

Ratih seakan menahan air matanya, ia benar-benar mengatakan yang sebenarnya namun tidak ada satu orang pun yang percaya padanya.

"Kita hanya akan tahu jawabannya langsung dari pelaku itu nanti, jika dia memang belum mati," ujar Rakai.

Kemudian Ratih teringat kalau semalam Rakai memerintahkan para pengawalnya untuk membawa pria itu, ia sepertinya memang tidak membiarkan pria itu untuk mati.

"Persiapkan dirimu, kita akan melanjutkan perjalanan tidak lama lagi," setelah mengucapkan kata-kata barusan lantas Rakai membalikkan badannya dan pergi meninggalkan tempat itu.

Ratih terus memandang punggung pria itu sampai hilang dari pengelihatannya, disusul oleh beberapa orang yang tadi masuk bersamanya.

Darsana tidak langsung beranjak, ia menyempatkan diri memberi hormat pada Ratih sebelum pergi. Namun di balik senyumnya yang palsu itu Ratih sudah beranggapan bahwa ada yang tidak beres dengan tingkah orang itu.

Ratih tidak membalas senyumnya, ia mengalihkan wajahnya sambil berdecak kesal.

"Hah? Apa-apaan itu tadi? Apa dia mencoba untuk mempermainkanku? Kenapa Raka juga sama menyebalkannya!" gumannya pada diri sendiri saat ruangan itu sudah kosong dan hanya ada dirinya.

***

Perjalanan dilanjutkan dan Ratih terus memikirkan semua kejadian semalam, seakan semua itu tidak bisa lepas dari benaknya. Ia bahkan masih ingat bagaimana ia berlari ketakutan hingga terjatuh. Kejadian itu nyaris saja membuatnya tiada kalau saja Rakai tidak menolongnya.

Lebih tepatnya menolongnya untuk yang kesekian kalinya.

Dari balik kain penutup tandunya Ratih dapat melihat suasana yang tadinya hutan dengan pohon-pohon tinggi berubah menjadi pemukiman-pemukiman kecil. Sepertinya mereka sudah memasuki area desa. Ratih sedikit menyikap kain itu dan melihat bentuk-bentuk rumah yang tidak begitu familiar, tertu saja ia masih mengenali jalan ini. Dulu Laras pernah mengajaknya jalan-jalan sampai ke pusat pasar Mataram. Dan saat itu juga merupakan saat pertama ia bertemu dengan Rakai.

Di sepanjang jalan terlihat semua warga desa yang tadinya tengah bekerja tiba-tiba terpaksa menghentikan segala aktivitas mereka untuk tunduk dan hormat pada pemimpin mereka. Beberapa anak kecil juga terlihat penasaran dengan rombongan tersebut. Mereka ingin melihat wajah Ratu baru mereka.

Akhirnya gapura utama kompleks kerajaan Medang sudah dilewati, ini adalah pertama kalinya Ratih melihat kemegahan bangunan kerajaan Medang. Dulu saja ia hanya melihat tembok terluarnya dan itu pun selalu sambil bersembunyi dari para prajurit kerajaan.

Ratih segera turun saat tandu sudah menjejak ke tanah. Ia melangkahkan kaki sambil diiringi para dayang kerajaan. Kerajaan ini tidak jauh berbeda dengan Syailendra, hanya saja mungkin pada corak bangunannya mengingat dua kerajaan memiliki keyakinan yang berbeda.

Ratih harus melakukan beberapa upacara bersama Rakai terlebih dulu sebelum melangkah masuk. Setelah itu mereka berjalan bersama menaiki satu persatu anak tangga.

"Sugeng Rawuh Gusti Ratu Pramodhawardani," ucap seorang pria paruh baya menunduk padanya.

"Dia adalah Panglima Kerajaan Abdiwasepa," jelas Rakai saat mengenalkan orang di depannya itu.

Ratih menunduk dan tersenyum pada orang itu.

Kemudian pandangannya bertemu dengan seorang wanita yang tidak familiar baginya. Walau penampilannya terlihat berubah namun itu tidak memungkiri bagaimana ingatan Ratih terhadap orang itu.

"Laras, kau..." ucap Ratih saat berdiri tepat di hadapan gadis itu. Ia memandangi Laras dari ujung kepala hingga kaki. Ia tidak banyak berubah, hanya saja penampilan dan gaya berpakaiannya.

Gadis yang disapanya barusan hanya diam saja, ia berkali-kali mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

"Aku tidak percaya ini Laras," ucap Ratih sambil membuka tangannya hendak memeluk Laras. Wajahnya berseri-seri diliputi perasaan bahagia karena setelah sekian lama akhirnya mereka dapat bertemu kembali.

"Aku juga tidak percaya," jawabnya sinis. Ia tidak membalas sambutan pelukan Ratih.

Seketika senyum Ratih memudar, perlahan ia menurunkan kedua tangannya dengan perasaan kecewa. Laras yang ia kenal dulu tidak seperti ini, dulu dia sangat ramah dan baik hati. Tapi kenapa sekarang berubah seakan tidak berperasaan?

Ratih mencoba mengalihkan pembicaraan, ia sesekali menoleh ke sana kemari, "Em...dimana Resi Adwaya?"

Mendengar hal itu seketika Laras menoleh dan menatap tajam ke arahnya, "Apa kau mencoba mempermainkanku? Jangan pura-pura tidak tahu!" Kata-katanya terdengar sangat dalam dan penuh emosi. Mendengar hal itu Ratih semakin kebingungan.

"Tunggu...Apa maksudmu?"

"Kau..." Laras mengacungkan jari telunjuknya di depan dada Ratih.

Rakai segera menghentikan Laras, ia memegang pundak Laras dengan satu tangan, ia mencoba untuk menahan gadis itu.

"Dia adalah Ratu kerajaan ini, bersikaplah lebih sopan terhadapnya," tegurnya. Seketika itu Laras terdiam.

"Dan Pramodha..." ia menoleh ke arah Ratih. "Larassati adalah Srikandi kerajaan ini."

Ratih tertegun, ia mengangguk sambil kembali menatap mata gadis itu, di dalam sana terlihat aura kebencian yang terpancar dan sengaja ditujukan untuknya. Namun Ratih tidak tahu apa alasan di balik kebencian itu.

"Sekarang, ikut denganku" Rakai meminta Ratih untuk berjalan mengikutinya. Namun sebelum beranjak ia masih melihat Laras untuk terakhir kalinya, walau dia memalingkan pandangannya ke tempat lain, Ratih masih menatapnya begitu lama hingga ia berjalan mengikuti Rakai.

Diiringi para dayang kerajaan, Ratih berjalan mengikuti langkah Rakai yang memimpin di depan. Ia tidak tahu kemana Pria itu akan membawanya, yang jelas ia cukup menikmati pemandangan taman-taman sari kerajaan yang berada di sepanjang jalannya.

Taman kerajaan ini mungkin tidak seluas milik kerajaan Syailendra, namun berbagai macam tanamannya juga tidak kalah indah. Ada banyak sekali macam-macam bunga berwarna-warni yang mana tidak bisa ia sebutkan namanya, yang jelas mereka semua sangat indah.

Rakai Pikatan langsung berjalan menuju Puri Pratama, puri baru di lingkungan Keraton yang diperuntukkan bagi Ratih. Letaknya di ujung terjauh sebelah kiri dari gerbang Keraton. Dan perjalanan ke sana harus menempuh taman sari kerajaan terlebih dahulu.

Ratih langsung terkesima melihat kemegahan bangunan itu, jika dilihat dari luar bangunan itu terlihat berdiri sendiri dengan taman-taman mengelilingi setiap sisinya hingga memutar.

Rakai mengajak Ratih untuk melihat bagian dalam puri itu, ternyata bagian dalamnya hanya berisi satu ruangan berupa sebuah kamar. Untuk sebuah ukuran satu bagunan, kamar ini bisa terbilang sangat luas, mungkin dua kali lipat luas kamarnya yang sebelumnya dengan ukiran-ukiran arsitektur yang sangat khas dan menarik. Sama juga seperti kamarnya di Syailendra, di ruangan ini terdapat ruang lain yang disekat untuk pemandian dengan kolam pemandian sendiri.

Rakai memberi isyarat kepada para dayang untuk pergi. Kini hanya ada mereka berdua di ruangan itu.

"Kau jangan berpikir kita akan berbagi kamar seperti sebelumnya," ucap pria itu dengan nada datar.

Ratih memandang Rakai dengan penuh tanda tanya.

"Tempat ini bernama Puri Pratama, yang mana dikhususkan untukmu. Aku memiliki kamar dan ruang kerjaku sendiri di keraton utama. Jika kau butuh sesuatu, para dayang dan prajurit akan selalu berjaga di sekitar puri ini."

Rakai memandang gadis itu cukup lama, sebelum ia membalikkan badan dan beranjak pergi dari sana.

"Tunggu..." Rakai menoleh lagi saat gadis itu tiba-tiba menahan tangannya.

"Kau berhutang sebuah jawaban padaku."

Rakai membalikkan tubuhnya dan memasang mimik wajah yang siap mendengarkan.

"Kenapa kalian semua memperlakukanku seperti ini?"

"Apa maksudmu?"

"Kau berubah, Laras berubah dan aku tidak mengerti apa yang membuat kalian berubah menjadi membenciku seperti ini. Jika harus jujur, memang aku benar-benar kehilangan ingatanku saat di pasraman dulu. Dan aku akui aku salah saat meninggalkan kalian semua. Tapi ketahuilah itu semua adalah perintah Resi Adwaya, aku tidak punya pilihan lain selain melaksanakannya," jelasnya panjang lebar.

Rakai hanya memandanginya dengan ekspresi datar, kedua lengannya ditanggupkan ke depan, ia tidak bereaksi baik terkejut atau apapun.

"Sudah? Hanya itu yang ingin kau jelaskan padaku?"

Ratih mengangguk ragu. Rakai menurunkan tangannya, "Sejak dahulu kedua wangsa selalu berselisih, dan kau sendiri berasal dari Wangsa Syailendra, aku rasa cukup wajar jika banyak orang yang tidak menyukaimu di sini. Terlebih dengan semua yang telah kau lakukan pada pasraman."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."

"Dengarkan aku pramodawardhani," ia mulai berjalan maju, dan Ratih melangkah mundur sedikit demi sedikit.

"Jangan harap kau bisa dengan mudah membodohi kami semua, mana mungkin seorang putri kerajaan Syailendra secara tiba-tiba bisa berada di wilayah Sanjaya?"

"Kau datang ke pasraman menyamar sebagai salah satu murid untuk mencari tahu keberadaan Putra Mahkota Dinasti Sanjaya bukan? Dan saat kau sudah mengetahui bahwa akulah Putra Mahkota itu lantas kau pergi dan meluncurkan rencana jahatmu untuk membunuhku dengan mengirim orang-orang suruhanmu, benar begitu?"

Saat itu juga Ratih teringat akan ucapan Rakai saat menemuinya di taman kerajaan Syailendra, saat itu Rakai terdengar mencemooh saat menanyakan apa dia terkejut melihatnya masih hidup. Ternyata itulah alasannya mengatakan hal itu.

"Apa yang kau katakan ini Raka! Kau jangan asal bicara!" teriaknya, bersamaan dengan itu Rakai semakin memojokkan Ratih.

"Liciknya lagi, kau juga belum puas dengan semua itu. Kau tega membantai seluruh orang pasraman di tengah malam dengan membakar seisi pasraman hingga rata menjadi abu."

Ratih menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia syok mendengar semua rentetan kejadian yang terjadi tepat saat dia pergi. Kemudian ia baru teringat kenapa sikap Laras terlihat begitu marah saat ia menanyakan tentang Resi Adwaya. Kedua matanya terbelalak, "Tapi untuk apa aku melakukan semua itu?" tanyanya bingung.

"Tentu saja untuk menguasai kerajaan ini agar dapat kau satukan di bawah pandji kerajaan Syailendra. bukankah itu yang kau mau." Kini Ratih benar-benar terjepit di antara tembok dan tubuh Rakai.

Ratih mendorong dada Rakai cukup kuat hingga dapat melepaskan diri, "Hentikan! Aku tidak melakukan semua itu Raka! Pasti ada yang telah menjebakku!" sergahnya.

"Kenapa kau tidak pernah mau percaya padaku?" Matanya mulai berkaca-kaca.

"Para pasukan berjubah hitam itu sendiri yang membongkar kedokmu! Dan semua bukti mengarah padamu Ratih!"

Rakai langsung tersadar, ia sedikit lama tertegun saat tidak sengaja memanggilnya Ratih. Ia hanya masih tidak bisa melupakan bagaimana gadis itu masih membawa sebagian perasaannya.

"Lalu, untuk apa kau menikahiku?"

Tidak lama kemudian Ratih membuka suaranya. Rakai yang termenung sesaat tiba-tiba tersadar dan menoleh ke arahnya.

Kedua mata Rakai terbuka lebar.

"A-aku tidak tahu apa maksudmu melakukan semua ini. Tapi, hubungan yang kau bangun ini sudah salah. Kau bahkan tidak memiliki perasaan cinta, apalagi membangun rasa kepercayaanmu padaku," suara Ratih mulai bergetar.

Kemudian ia memejamkan mata. Sambil menarik napas panjang ia kembali membuka suara.

"Baiklah, untuk menghilangkan semua tuduhan ini, Aku bersedia untuk mengatakan yang sebenarnya."

Rakai diam mendengarkan. Ia ingin tahu bagaimana gadis itu mencoba untuk menjelaskan semuanya padanya.

"T-tapi, sebelum itu aku harap kau tidak menganggapku membual atau apapun itu. Aku ingin kau benar-benar mau mendengarkan dan percaya."

"Cepat katakan!" bentak pria itu.

Seketika Ratih terperanjat, "Baiklah baiklah" Ia menelan ludah.

"Sebenarnya aku tidak berasal dari dunia ini. Sebelumnya aku hidup di sebuah zaman yang berjarak lebih jauh dari zaman ini. A-aku ... Berasal dari masa depan."

Rakai mengernyitkan dahinya.

Kemudian Ratih melanjutkan, "Di masa depan aku mengalami sebuah peristiwa yang nyaris membunuhku, kemudian tanpa sengaja jiwaku terlempar ke masa lalu dan membuatku hidup di tubuh Pramodawardhani. Aku-"

"Cukup!" Rakai memalingkan wajahnya. Sambil memutar bola matanya malas, ia terlihat bosan mendengarkan cerita Ratih.

"Bualan macam apa ini? Kau pikir aku anak kecil yang mudah kau kelabui?"

"Aku tidak ingin mendengarkanmu lagi." Nadanya terdengar datar dan begitu menusuk. Setelah itu ia segera membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan langkah lebar keluar dari ruangan itu.

Ratih mencoba untuk memanggil Rakai kembali, namun pria itu tidak mau mendengarnya.

Dengan langkah cepat Ratih berlari menuju daun pintu yang perlahan menutup, ia terjatuh tepat di depan pintu itu, ternyata ia dikunci dari luar.

Berkali-kali ia mencoba berteriak, namun itu semua sia-sia. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah pria itu yang semakin menjauh.

Ratih berdiri membelakangi daun pintu sambil bersandar, perlahan tubuhnya turun dan terus turun hingga terduduk di bawah sana. Ia menarik semua kata-katanya tentang lebih enak hidup sebagai bangsawan, nyatanya semakin ke sini masalah semakin banyak menghampirinya, mulai dari orang-orang yang ingin membunuhnya sampai dijebak seperti ini.

Ia tidak tahu sampai kapan akan bertahan hidup jika seperti ini.

Ia tahu bahwa Resi Adwaya adalah orang yang sangat berarti bagi Rakai, ia sangat menghormati guru itu. Ia tidak bisa membiarkan Rakai terus berpikiran bahwa ialah yang telah meluluh ratakan seisi pasraman. Ratih yakin, pasti semua ini ada hubungannya dengan perubahan sikap Laras juga. Tidak salah lagi, Laras pasti memiliki pemikiran yang sama dengan Rakai.

Ia segera bangkit dan menghapus air mata di sudut matanya, tidak ada gunanya menangis seperti ini. Ia harus segera mencari tahu tentang kebenarannya.

Jelas, ini semua adalah siasat yang dilakukan oleh seseorang untuk menjebaknya. Siapapun orang itu, dia telah bermain-main dengan orang yang salah.

Continue Reading

You'll Also Like

366K 35.2K 40
Mungkin, masa lalu yang dapat menyembuhkannya Book I Start: 26 Maret 2020 End : 19 Mei 2020
124K 10.6K 30
Reyhan si mahasiswa pintar namun bar-bar bertransmigrasi kedalam tubuh seorang gadis pacar seorang most wanted namun sayangnya banyak yang gak suka k...
1.4K 200 30
Ian kehilangan keluarganya dalam kecelakaan pesawat dan selalu hidup dalam rasa bersalah. Hal itu membuatnya bertekad untuk kembali ke masa lalu meng...
1.4K 531 23
Di usianya yang ke-24 tahun, Apsarini Savela yang biasa dipanggil Sasa, tidak menyangka hidupnya akan sangat berantakan karena terjerat utang di 40 a...