ABHATI

By Lalaa_po

351K 46.5K 2K

[TAMAT]✓ Ratih Fairuza Malik adalah seorang mahasiswi dengan kehidupan yang begitu kacau. Sejak insiden pembu... More

Disclaimer
Prolog
1 | Orang Asing
2 | Putra Mahkota
3 | Pelarian
4 | Pawitra
5 | Bhumi Mataram
6 | Pemuda Bercapil
7 | Seruling Merdu
8 | Kepingan Memori
9 | Awal yang Buruk
10 | Srikandi
11 | Purnama di Atas Langit Pawitra
12 | Busur Panah
13 | Sosok Berjubah Hitam
14 | Time Traveller
15 | Time Traveller (2)
16 | Kembali ke Dunia Itu
17 | Pelarian kedua
18 | Pembunuh
19 | Sayatan Luka
20 | Sebuah Kekecewaan
21 | Bhumi Sambhara Budhara
22 | Si Cantik Bermahkota Emas
23 | Kematian Raja Garung
24 | Raja Muda
25 | Jamuan Kerajaan
26 | Mimpi Buruk
27 | Keputusan Akhir
28 | Kelompok Bayangan
29 | Pernikahan Dua Dinasti
31 | Puri Pratama
32 | Hilangnya Kepercayaan
33 | Siasat Baru
34 | Malapetaka
35 | Sarang Harimau
36 | Penghianat
37 | Hukuman Mati
38 | Busur Bajra
39 | Pertemuan Tak Terduga
40 | Dua Saudara
41 | Dimensi yang Berbeda
42 | Bangkitnya Kekuatan Hitam
43 | Raseksa Penunggu Hutan Undir
44 | Pengabdian dan Kesetiaan
45 | Penyerangan
46 | Perebutan Takhta
47 | Akhir Kisah
Epilog

30 | Perjalanan ke Medang

4.5K 725 24
By Lalaa_po

Ini adalah hari ke-tiga sejak ia disekap di sebuah ruangan lembap dan gelap. Luka lebam di sebagian wajahnya belum sepenuhnya pulih ditambah dengan penampilannya yang lusuh. Pakunjaran yang dingin sedikit membuat dirinya menggigil, namun di dalam sana ia duduk bersila sambil memejamkan mata. Karena hanya itulah yang dapat ia lakukan.

Tiba-tiba suara gebrakan dengan keras terdengar dari luar tahanannya. Sejak kedatangannya, hanya suara itulah yang sudah terbiasa ia dengar selain suara decitan tikus. 

"Makan ini!"

Pria yang terpaksa membuka kedua matanya karena terganggu itu hanya menatap sekilas ke arah prajurit yang datang. Pakunjaran yang gelap hanya menjatuhkan bayangan remang-remang sehingga ia kesulitan melihat wajah si prajurit.

kemudian pandangannya turun ke bawah, tepatnya ke arah makanan yang diberikan padanya. Panji tidak berkomentar sedikit pun, hanya meliriknya sekilas saja, ia bahkan tidak tertarik untuk mengambilnya. Memang, makanan-makanan basi seperti itu sengaja diperuntukkan untuknya.

Kemudian ia tidak menghiraukan langkah prajurit yang berjalan menjauh dari sana, meninggalkannya dengan kesepian, yang mungkin kini telah menjadi teman barunya. Dipandanginya secerca cahaya yang menerobos masuk melalui sebuah celah kecil di antara batu bata merah. Celah itu sangat kecil, bahkan tidak akan muat untuk ukuran pergelangan tangannya. Tidak ada jalan keluar dari sini.

"Ternyata inilah rumah asliku." Ia sedikit mendengkus,  "Kurasa kau benar ibu, kehidupan kerajaan sangat mengerikan."

***

Ratih merenggangkan tubuhnya sambil menguap. Ia mencoba mengerjapkan kedua matanya bekali-kali sambil menatap lurus ke langit-langit. Beberapa kali ia terus bengong sampai saat secara tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.

Dan saat itu juga kedua mata yang tadinya sayup-sayup seketika terbelalak lebar.

"Whoaaa! Aku tidur dengan siapa!" Ia berteriak histeris sambil melompat dari ranjangnya. Saat membalikkan badan, ia tidak mendapati siapa pun di sana. Dan untuk memastikannya ia mencoba untuk mengecek ke bawah tempat tidur dan sesekali menoleh ke sana kemari.

"Sialan..." ia menghela napas sambil mengelus dada.

"Apa yang kemarin itu cuman mimpi ya?" Tanpa sadar ia menunduk, mencoba memerhatikan sebuah benda kecil yang tersemat di jari manisnya. "huh?" Ia mengusap permata yang ada di cincin itu dan itu semua benar-benar nyata, bukan mimpi. Bahkan untuk ciuman itu.

Saat kecil ia selalu bermain sebagai putri disney, dan memimpikan akan seorang pangeran datang menjemputnya. Namun siapa sangka, ia akan mendapat sebuah first kiss dari seorang pangeran sungguhan.

Tapi ke mana perginya dia?

Terdengar suara pintu diketuk tiga kali, sontak Ratih menoleh ke arah pintu itu. ia merapikan rambut dan kainnya sebelum mempersilahkan orang itu untuk masuk.

"Ngapunten Ndoro..." Itu adalah Nirma, ia berjalan tergesa-gesa. Selalu begitu setiap saat.

"Ada apa?"

"Ndoro harus segera bersiap untuk perjalanan ke Kerajaan Medang."

"Tapi kenapa buru-buru sekali?" Tanya Ratih.

"Ampun Ndoro, ini perintah Raja"

Kemudian seperti biasanya, beberapa dayang akan mulai berjalan masuk untuk menyiapkan dirinya.

***

Di halaman utama keraton Syailendra.

Suasana pagi itu cukup disibukkan oleh beberapa persiapan pelepasan tuan putri tersayang mereka, Pramodawardhani. Deretan kuda bangsawan, prajurit dan tandu penuh memadati mulai dari gapura masuk hingga halaman utama.

"Kau bisa tinggal di sini lebih lama, putraku," ucap Maharaja Samaratungga pada Rakai Pikatan.

Rakai menangkupkan kedua tangannya, "Maaf Yang Mulia, tapi banyak hal yang harus diurus di kerajaan."

Samaratungga manggut-manggut sambil mengelus janggutnya. "Dimana Pramoda?"

Tidak lama kemudian Ratih datang, penampilannya sangat cantik seperti biasanya dengan kain berwarna coklat keemasan dan rambutnya yang sebagian dicepol sebagian lagi dibiarkan tergerai. Sayangnya Rakai hanya meliriknya sekilas saja.

"Selamat pagi Ayah," sapa Ratih. Ia melemparkan senyumnya.

"Cantik sekali kau putriku. Sayangnya aku harus melepasmu." Pria tua itu mengusap kepala Ratih, terlihat dari cara menatapnya, seperti ada sebuah perasaan tidak rela dari sana.

Ratih menoleh ke Rakai yang berdiri tidak jauh dari sana, pria itu hanya datar tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Kemudian gadis itu kembali mengalihkan perhatiannya ke kedua mata yang sedang sendu itu.

"Ayah jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku." Ia tersenyum meyakinkan.

Melihat senyuman manis putrinya itu turut mengundang rasa kebahagiaan di hatinya. Rakai terdiam cukup lama menyaksikan hubungan antara ayah dan anak tersebut, ia terus mengguman dalam hati.

"Bagaimana mungkin mereka bertingkah seolah tidak ada yang terjadi, apakah mereka sengaja menutupi semua ini," gumannya.

"Jika seperti ini, kau sangat mirip Ibumu."

Kemudian Raja Samaratungga mengeluarkan sebuah benda yang sudah ia persiapkan untuk diberikan pada Pramodawardhani.

"Terimalah ini, ini satu-satunya peninggalan Ibumu, Dewi Tara. Dahulu dia sempat berpesan padaku untuk menyerahkan ini saat kau sudah menikah," ucapnya sambil menyerahkan sesuatu kepada Ratih. 

"Terima kasih Ayah, aku akan menjaganya dengan baik," jawabnya.

Ratih menerima sebuah kotak kecil yang diberikan ayahnya, ia tidak tahu apa isi yang ada di dalam kotak tersebut.

Ia harus segera melakukan segala upacara pelepasan sebelum di giring masuk ke tandunya oleh beberapa dayang. Namun sebelum ia beranjak dari sana, ia ingin Nirma untuk ikut dengannya. Dan tentu saja Nirma menyanggupinya dengan senang hati.

Rombongan pun mulai bergerak, para prajurit kerajaan Syailendra menunduk hormat sambil membuka jalan. Sedangkan Ratih terus memandangi sosok pria tua yang berdiri melambaikan tangannya dari jauh. Perlahan-lahan sosok itu semakin jauh sampai saat melewati gapura utama barulah sosok itu memburam.

Ada sedikit rasa bersalah setiap melihat kedua mata pria itu. Bayangkan, bagaimana perasaan seorang ayah saat melepaskan putrinya. Walau Samaratungga bukan ayahnya yang asli, namun ia selalu dapat merasakan kehangatan sosok ayah dari dirinya.

Lehernya cukup penat terus menoleh ke belakang untuk memandangi sosok itu, akhirnya ia kembali menoleh ke depan sambil mengembuskan napas panjang.

Bagi Ratih waktu selalu berjalan cukup cepat di sini, atau hanya dirinya yang merasa akan hal itu. Banyak hal yang berubah dari hidupnya semenjak ia datang ke dunia ini. Bahkan ia tidak ingat sudah berapa lama hidup di sini sejak pertama datang dulu.

Sepertinya sangat lama...

Dan semakin lama ia semakin tidak ingin pergi...

Tapi jika mengingat sikap Rakai yang diberikan padanya, rasanya ia tidak melihat perasaan cinta sedikitpun dari mata pria itu. Ia terus bertanya-tanya apa salahnya? Apa pria itu marah karena merasa dibohongi setelah tau dirinya adalah Pramodawardhani?

Ratih berjanji pada dirinya sendiri untuk segera menjelaskan semua itu pada Rakai, tapi entah kenapa sejak kemarin ia tidak pernah diberi kesempatan untuk bicara.

Ia duduk sambil memeluk lututnya, perlahan satu tangannya terangkat untuk memperlihatkan sebuah kotak pemberian ayahnya. Lebih tepatnya juga merupakan pemberian ibunya di dunia ini. Ia membukanya dan cukup terkejut juga saat melihat isinya adalah sebuah kalung emas. Lantas ia memasang kalung itu di lehernya dan saat menurunkan tanganya, ia melihat cicin itu lagi. Saat itu juga bayangan Rakai Pikatan terlintas di benaknya.

"Sebenarnya dia itu jodohku, atau jodoh Pramodawardhani?"

Entah kenapa setiap memandang cincin itu ia merasa bahwa dirinya bukan lagi Ratih Fairuza Malik, melainkan benar-benar sosok Pramodhawardani seutuhnya. Tapi ia segera menepis semua pemikiran ini. Ia adalah Ratih, dan tetap akan menjadi Ratih karena itulah kodratnya. Baik sedang berada di raga siapapun saat ini, ia adalah tetap dirinya. Ia tidak boleh lupa akan tugasnya selama berada di dunia ini. Ia akan selalu ingat makhluk menjengkelkan bernama Jeremiel itu dan semua tugas yang dilimpahkan padanya.

Jeremiel mengatakan bahwa ia akan kembali ke masa depan saat tugasnya telah selesai dan ia akan kembali ke dunianya yang sepi dan membosankan serta bertemu kembali dengan orang-orang yang ia benci. Bagaimanapun juga, mau tidak mau ia harus menelan semua kepahitan itu.

Sampai tiba saatnya nanti, entah kapan...

"Ndoro Putri!!"

Seketika Ratih tersadar dari lamunannya tatkala mendengar suara seseorang meneriakinya, lantas ia menelisik dari balik kain tandunya. Di sana terlihat seorang anak perempuan yang mulutnya sengaja di dekap oleh seorang wanita paruh baya di belakangnya, yang mana pastilah wanita itu adalah ibunya. Setelah melepaskan dekapan tangan dari mulut putrinya lantas ia mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat bahwa gadis itu harus diam.

Ratih tersenyum lebar melihat wajah gadis lugu yang kena teguran ibunya itu, sepertinya suara lantang yang memanggil namanya barusan adalah berasal dari gadis itu.

Ratih melambaikan tangannya seakan memanggil gadis itu untuk mendekat. Si gadis yang tadinya cemberut karena teguran ibunya seketika menyeringai lebar memerlihatkan giginya yang ompong. Ia berlari dengan langkah kecil mendekati Ratih, walau ibunya sudah mencegah, namun gadis itu tetap bersikeras.

Ratih memerintahkan untuk berhenti sebentar agar ia bisa turun. Saat si gadis berdiri di dekatnya, ia pun berjongkok untuk menyejajarkan posisinya dengan gadis itu.

"Ini untuk Ndoro Putri" Gadis itu memberikan setangkai bunga berwarna merah pada Ratih, ia pun meraihnya.

"Terima kasih"

"Kami semua akan merindukan Ndoro Putri" Gadis itu mengusap matanya, dari jauh ibunya tetap berdiri di sana sambil memerhatikan. Sesekali ibu gadis itu juga mengusap matanya. Bersamaan dengan itu datang segerombolan anak kecil sambil berlari yang menampakkan wajah sendu mereka.

"Aku juga akan merindukan kalian semua, jika aku kembali aku akan merangkaikan lebih banyak rangkaian bunga" Ratih menghamburkan pandangannya ke seluruh anak-anak itu.

Gadis itu tersenyum lebar, kedua matanya berkilauan.

Kemudian perjalanan harus dilanjutkan, sebelum Ratih naik ke tandunya, ia menyempatkan untuk mengusap lembut kepala gadis itu.

Dari kejauhan, Rakai melihat semua itu. Namun ia hanya duduk di atas kuda bersurai putihnya tanpa berkomentar. Dalam hati ia terus bertanya-tanya tentang sosok wanita itu, apakah mungkin wanita selembut itu mampu membantai seluruh pasraman. Segera ia menepis pikirannya dan menarik tali kekang kudanya untuk segera beranjak dari sana.

Hari menjelang malam, dan seperti biasanya para rombongan akan beristirahat dulu dengan sistem penjagaan bergilir. Ratih yang terlalu penat duduk seharian kemudian keluar untuk sejenak merenggangkan tubuhnya. Ia bertanya kepada para prajurit tentang keberadaan Rakai namun semua orang menjawab hal yang sama "tidak tahu"

"Ampun gusti Ratu, tapi Baginda Raja benar-benar tidak bilang ke siapa pun sedang pergi kemana."

"Tapi di tengah hutan malam-malam begini? Bukankah sangat berbahaya?."

Prajurit itu hanya diam menunduk dengan diliputi rasa bersalah. Lantas ia menyuruh orang itu pergi.

Tidak ada yang bisa Ratih lakukan lagi, ia hanya ingin menemui Rakai untuk membicarakan banyak hal. Entah kenapa pria itu mudah sekali menghilang secara tiba-tiba.

"Yang Mulia Ratu kenapa tidak beristirahat? Besok perjalanan akan dilanjutkan"

Ratih membalikkan badannya dan ternyata itu adalah Rakryan Darsana. Ia baru mengenal orang itu saat pernikahannya kemarin, dan yang ia tahu bahwa pria itu adalah orang kepercayaan Rakai.

"Eh...Rakry...an?"

"Paman saja cukup, Yang Mulia Raja juga terkadang memanggilku begitu," ungkapnya dengan tersenyum lebar, sesekali ia membungkukkan badannya setiap berbicara sepatah dua patah kata di depan Ratih.

Dibalik itu semua sebenarnya ia juga memandang Ratih sambil menilai. Ternyata benar yang dikata orang, wajah Pramodawardhani terlihat sangat asing, sangat tidak menyamai wajah kebanyakan gadis di negeri ini. Sangat jarang ada gadis yang memiliki mata dan rambut sedikit berwarna coklat serta warna kulit seputihnya dirinya. Kebanyakan wanita berkulit kuning langsat dengan mata dan rambut berwarna hitam legam panjang.

Mungkin benar apa kata orang, Pramodawardhani adalah kecantikan yang sulit dilukiskan.

"Aku sedang mencari Raka, eee... maksudku Yang Mulia Raja. Apa Paman Darsana tahu dimana raja?"

Darsana mengangguk, ia berucap tanpa menghilangkan senyum di wajahnya sama sekali, "Tentu hamba tahu, jika Anda berkenan, pelayan saya ini akan mengantarkan Anda pada Yang Mulia Raja." Kemudian seseorang yang sejak tadi berdiri di belakangnya maju satu langkah dengan wajah tertunduk.

Ratih menoleh ke arah pria di sebelah Darsana, pakaian yang dikenakan pria itu sama dengan para prajurit lainnya. Ratih mencoba memincingkan matanya untuk melihat wajah prajurit yang dari tadi terus menunduk itu.

"Yang Mulia Ratu?"

Ratih langsung mengalihkan perhatiannya dari prajurit itu. "Ah iya baiklah, tunjukkan aku jalannya."

Prajurit itu bersimpuh sebelum kemudian mempersilahkan Ratih untuk mengikutinya. Melihat gadis itu berlalu di hadapannya, membuat senyum Darsana semakin melebar.

***

Bulan purnama dengan bulatnya yang sempurna bersinggah di atas sana. Cahaya kuning keemasan terpancar menyinari seantero alam. Entah kenapa bulatnya kini terlihat lebih besar, auranya seakan mengisyaratkan suatu peringatan.

Ratih terus melihat bulan yang seakan memberi tanda padanya, ada suatu perasaan aneh merayapi benaknya. "Apa kau yakin ini jalannya?" Ia baru membuka percakapan setelah mereka berdua sudah berjalan cukup jauh dari rombongan. Namun semakin jauh rasanya Ratih semakin berjalan masuk ke hutan. Setiap menoleh ke belakang pun ia sudah tidak melihat cahaya perapian para rombongannya. Hanya ada pohon-pohon besar yang berselimut kabut tebal.

Tiba-tiba suasana sekitar berubah semakin gelap, Ratih mendongakkan kepalanya melihat bulan yang ternyata tengah ditelan awan hitam. Melihat fenomena itu Ratih bergidik ngeri.

"Mau ke mana kita sebenarnya?" Bukannya menjawab, pria di depannya itu malah hanya diam saja dari tadi, apa ia tidak bisa bicara atau bagaimana?

"Berhenti!" Teriaknya. Lantas pria itu berhenti dan membalikkan tubuhnya perlahan. Entah kenapa Ratih merasa suasananya semakin berubah menjadi sangat horror di sini, apalagi saat tiba-tiba mendengar tawa mengerikan pria itu.

***

"Ndoro Putri....Ndoro Putri..." Nirma terus memanggil dan mencari-cari Pramodawardhani di dalam dan sekitaran tenda istirahatnya, tapi ia tidak berhasil menemukan Pramodawardhani dimana pun. Padahal baru sebentar ia meninggalkannya untuk menyiapkan makan malamnya, namun sekarang sudah menghilang begitu saja.

Nirma semakin merasa cemas, kemana perginya wanita itu malam-malam begini? Lantas ia pun berlari menghampiri beberapa prajurit yang tengah berjaga.

"Ada apa?" Tanya dua orang prajurit yang melihat Nirma berlari dengan cepat menghampiri mereka.

"Ndoro Pramodawardhani tidak ada di tempatnya!"

Mendengar hal itu kedua prajurit ini pun sontak terkejut, "Yang benar saja!"

"I...iya...kalian bisa mengeceknya sendiri!"

"Waduh gawat! Bisa-bisa dipenggal kita!" ucap satu orang temannya dengan panik.

"Diam! kita kerahkan semua prajurit untuk mencari Gusti Ratu, kau laporkan saja ini pada Yang Mulia Raja."

Kemudian mereka semua terpencar begitu pula Nirma yang berlari kebingungan. Ia terus berdoa agar tidak terjadi apapun kepada orang yang sudah menjadi tanggungjawabnya.

***

"Si...siapa kau!" Ratih mundur beberapa langkah. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Bahkan ia juga semakin takut setiap pria itu tertawa menyeramkan dengan seringainya yang tampak buas.

"Kau tanya kita akan kemana? Tenang saja karena aku akan mengantarkanmu pada ajalmu!" Mendengar ucapan barusan ia merasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik sebelum kemudian berdegup dengan cepatnya.

Ratih berteriak histeris saat pria itu mengeluarkan pisau dan bergerak dengan cepat ke arahnya. Kedua matanya merah dan terlihat sangat tajam seakan ingin menerkamnya. Tanpa basa-basi lagi Ratih segera membalikkan badan dan melarikan diri dari sana.

(Srek srek srek)

Daun-daun kering di sepanjang jalan hutan membuat suara langkah kaki mudah terdengar. Begitu pula dengan suara langkah pria itu yang rupanya terus mengejarnya, sial kenapa malah jadi seperti ini? Tidak peduli apapun yang terjadi Ratih akan terus berlari sekuat tenaga dan sekencang-kencangnya agar bisa selamat.

Tapi rasanya kemungkinannya selamat sangatlah kecil, karena kini ia benar-benar tersesat di tengah hutan yang diselimuti kabut malam. Tidak peduli mau ke arah mana, ia akan selalu berlari.

Bersamaan dengan itu degup jantungnya terus memompa dengan cepat, agak susah jika harus berlari dengan kain seperti ini. Membuatnya terus saja tercekat-cekat sejak tadi.

(Srek...srek...)

Suara langkah itu terdengar begitu menakutkan, ia bahkan tidak berani untuk menoleh ke belakang sama sekali. Oh rasa ketakutan ini benar-benar membuatnya ingin menangis.

(Bukk!)

Ratih terjatuh karena tersandung sebuah akar pohon besar, lengannya tergores hingga berdarah, Ia meringis kesakitan bahkan nyaris sampai mengeluarkan air mata. Namun sepertinya rasa takutnya lebih mendominasi dari pada rasa perih dari lengannya itu. ia segera membalikkan badan dan terus bergerak mundur sampai punggungnya menempel di sebuah batang pohon. Ia mencoba berdiri.

Keringatnya terus bercucuran bersamaan dengan derasnya air mata yang membanjiri pipinya. Kedua matanya seakan tidak bisa berkedip sama sekali melihat sosok di depannya yang terus berjalan perlahan mendekatinya dengan mengacungkan sebuah pisau yang sedari tadi digenggamnya.

Langkahnya yang sengaja dibuat perlahan-lahan itu semakin membuat kematiannya terasa menakutkan. Kemudian suara tawa itu kembali menggelegar.

"Jangan...kumohon jangan...." Ratih menggelengkan kepalanya dengan cepat. Kedua matanya tertuju pada mata pisau yang mengkilat di bawah cahaya rembulan. Di lengan pria itu juga Ratih melihat sebuah luka yang membentuk tanda aneh.

Namun saat melihat mata pria itu, tidak ada sedikit pun rasa belas kasihan terpancar dari sana, malah kedua mata itu terlihat sangat beringas, serasa ingin sekali cepat-cepat menghabisinya.

Siapa orang ini? kenapa ia ingin sekali menghabisinya?

Jangankan bertanya, memastikan dirinya masih hidup untuk mendapat jawabannya saja rasanya tidak mungkin. Otaknya benar-benar membeku saat ini, ia tidak bisa berpikir jernih untuk bisa melarikan diri sama sekali. Karena berusaha seperti apapun untuk melarikan diri, pasti orang itu akan menangkapnya.

Seluruh tubuhnya bergetar hebat, kakinya sudah seperti tertancap di bumi saja tidak bisa digerakkan sama sekali, padahal ia tahu bahwa semua itu karena ketakutan. Namun bagaimana pun ia mencoba melawan ketakutan itu rasanya itu malah mencekik dirinya sendiri. Ia sering mengalami insiden hampir mati berkali-kali, namun yang ini terasa sangat menyeramkan apalagi saat tahu tidak ada yang bisa menolongnya.

Di tengah kelamnya malam ia dapat mendengar suara napasnya yang tersenggal-senggal berpacu dengan degup jantungnya. 

Kedua matanya terbelalak lebar menatap mata pria itu, dekat...dekat...dan semakin dekat. Sambil menyeringai ia mengarahkan ujung mata pisaunya ke jantung Ratih. Nyaris tertusuk, kalau saja Ratih tidak sempat menahan pergelangan tangan pria itu dengan sekuat tenaga. kini pisaunya itu hanya berjarak beberapa senti dari dadanya.

Apakah ini adalah akhir hidupnya? Akhir dari segalanya?

Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini? 


Continue Reading

You'll Also Like

4.3K 856 30
Peradaban kerajaan Nusantara? Tentu saja kakak adik bernama Lokamandala Nalendra Putra dan Batari Nalendra Putri tidak terlalu peduli dengan semua it...
4.3K 404 6
jisung x seungmin cause why not. stray kids fanfiction. bxb. short-chaptered. written in bahasa.
516K 54.3K 31
Dewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agr...
KASHMIR By B.O.S🚀

Historical Fiction

382K 24.9K 121
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...